Belajar dari Pinky Pig

Senza Arsendy 11 Agustus 2014

Banyak sekali perbedaan antara Jakarta dengan Rote. Salah satu perbedaan nyata yang terlihat—tak usah perlu waktu lama menemukannya adalah banyaknya hewan  yang berkeliaran. Hewannya beragam, tidak sekedar ayam—seperti yang biasa saya lihat di Jakarta. Namun juga ada anjing, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan tentunya yang paling spesial: babi.

Ohmygod! Seumur hidup saya nggak pernah lihat yang namanya babi hidup dengan mata kepala sendiri, di Rote bahkan aroma babi tetap bisa dirasakan dengan mata tertutup. Oke, setahun masih lama ya?

Hewan tersebut jarang yang tinggal di kandang. Sengaja saya bold untuk menegaskan bahwa hewan tersebut memang jarang yang tinggal di kandang—atau barangkali memang sebenarnya mereka tidak punya kandang (?). Mereka bebas berkeliaran dimana saja.

Maka menjadi sangat wajar jika:

1.      Suatu sore ketika saya sedang menelpon salah satu rekanan PM untuk sekedar bertukar kabar tentang proses adaptasi di penempatan, tetiba seekor babi hitam mendekat ke saya karena di dekat saya ada jatuhan buah sirsak. Ini masih biasa.

2.      Saat perjalanan pulang dari desa penempatan teman lainnya saya dihadang oleh segerombolan kerbau yang ingin menuju tempat pemandiannya. Oleh karena jumlahnya yang tidak sedikit, terpaksa saya harus menunggu. Ini dia seni kemacetan di Rote: kemacetan karena antrean hewan yang jalan melintang di jalan menuju tempat pemandiannya. Luar biasa! Salah! Ini juga masih biasa.

3.      Ketika pagi—sehabis memakai baju untuk mengajar, saya mencari suara ngemooan sapi yang saya dengar sepanjang saya memakai baju. Saya temukan sumber suaranya. Di luar rumah. Persis posisinya di depan kamar saya. Jumlahnya lima ekor sapi, mulai dari induk dan anakan. Oke, ini memang mengejutkan namun ini juga masih biasa.

4.      Dalam setiap perjalanan saya, saya selalu harus mengenakan alas kaki. Bukan saja untuk menghindari debu atau pasir melainkan juga kotoran hewan yang berserakan dimana-mana. Yeah, I found “kotoran hewan”  in the hopeless place *iramalaguRihanna*. Lagi, ini masih biasa.

5.      Usai sahur, ketika saya ingin kembali masuk ke kamar. Saya melihat pintu rumah terbuka dan babi besar berwarna pink sudah ada di ruang tamu. Saat itu sekitar jam empat pagi waktu Indonesia tengah. Ini mulai luar biasa. Bukan karena sang babi berwarna pink, melainkan karena saat ini hewan sudah mulai berani masuk ke dalam rumah di pagi buta.

6.      Saat sedang ngabuburit—menunggu buka puasa sambil laptopan di kamar, tetiba ada suara grasak-grusuk di kamar saya. Saya bangun dari kasur dan ENGINGENG............. babi besar berwarna pink itu masuk ke kamar saya. Ini baru masuk kategori luar biasa! Huft, masih nggak percaya bisa-bisanya si babi itu berani masuk ke kamar.

Ya sesungguhnya kejadian yang saya alami di atas sangat wajar terjadi karena memang hewan di Rote berkeliaran dimana saja.

***

Usai peristiwa babi masuk kamar, saya menjadi sangat sensitif dengan bebunyian. Tidur saya seringkali terbangun jika mendengar bebunyian. Setiap mendengar bebunyian saya refleks teriak “husssssh........ hushhhhhh.......”

Alhamdulillah saya masih bisa mengontrol perilaku tersebut. Saya hanya teriak “hush” jika bunyi yang saya dengar adalah bunyi nggak jelas. Belum pernah panggilan “Pak Senja” dari Bapak/Mamak saya bales dengan teriakan “hush”. Duh nggak kebayang, jangan sampe.

Bagi saya, bayang-bayang babi masuk kamar lebih mengkhawatirkan dibandingkan pemandangan kelelawar terbang yang biasa saya lihat di atas kamar saat saya sedang mencoba tidur malam. Maka dari itu, setiap usai ibadah sesekali saya panjatkan doa agar sang babi pink besar atau babi dalam bentuk apapun tidak ada yang masuk ke kamar saya.

Suatu sore, (mungkin) Tuhan mengabulkan doa hambaNya yang sedang tertekan. Saya lihat Bapak sedang sibuk dengan tali tambang dan kaki babi. Dari jauh saya berteriak, bertanya apa yang sedang Bapak lakukan. “Babinya nakal, belakangan dia suka masuk rumah. Kemarin dia gigit karung padi. Biar saya ikat saja kakinya supaya dia tidak nakal.” Jawab Bapak sambil mengencangkan ikatan tali di kakinya.

Sejujurnya saat mendengar itu perasaan saya campur aduk. Di satu sisi tentu senang karena tidak perlu lagi khawatir dia masuk kamar. Di sisi lain ikut sedih melihat sekarang ruang gerak si babi jadi terbatas. Tambah sedih ketika dia meraung-raung usai Bapak selesai mengikat kakinya. Meraung-raung persis seperti anak kecil tidak dikasih uang jajan (anak kecil baca: Senza Arsendy).

Babi Pink—atau yang saya beri nama Pinky Pig ini memang agak unik. Pinky Pig berbeda dengan kebanyakan babi di Rote. Jika kebanyakan babi di Rote mencari makanannya di hutan atau berkeliaran merusak kebun, Pinky Pig biasa diberi makan. Pinky Pig akan menggedor-gedor pintu dapur jika hingga waktu makannya—pagi dan Maghrib, Bapak tidak kunjung membuatkannya makanan: pur yang dicampur air. Sesekali Pinky Pig juga bertindak semena-mena jika makanan tak kunjung datang. Seperti misalnya inisiatif mencari makanan sendiri dengan masuk ke dalam rumah. Mama pernah bilang bahwa ruangan yang saat ini menjadi kamar saya, sebelumnya adalah tempat Mama menyimpan padi. Itulah yang menjadi alasan mengapa Pinky Pig terus-menerus berusaha masuk ke kamar saya.

Oooh pantes!

***

“Ada keluarga baru di rumah!” Jawab Yundri—adik saya yang saat itu datang menjemput saya di kontrakan usai saya ber-Lebaran di kota.

“Hah? Siapa?” Saya penasaran karena sebenarnya Mama sedang tidak hamil waktu saya pergi meninggalkan desa untuk ber-Lebaran.

Nggak mungkin kan baru ditinggal seminggu tetiba Mama yang sebelumnya nggak hamil lalu hamil bahkan sudah lahiran.

“Babinya sudah lahiran! Anaknya delapan.”

Ya kan benar. Nggak mungkin Mama dalam waktu seminggu hamil dan kemudian melahirkan 8 anak.

***

Sesampainya di rumah dan menyimpan kembali barang di kamar, saya langsung menuju kandang babi. Saya sumringah melihat kedelapan anak babi yang mayoritas berwarna pink seperti induknya. Anak-anak babi tersebut benar-benar lucu dan menggemaskan. Saat saya lihat, anak-anak Pinky Pig sedang berkumpul. Kata Yundri mereka seperti itu untuk menghangatkan tubuh mereka yang baru keluar beberapa jam lalu. Melihat mereka berkumpul membuat mereka terlihat tambah menggemaskan.

Nggak heran boneka anak babi banyak laku dibeli. Kenyataan memang menunjukkan bahwa anak babi beneran lucu. Sekali lagi, ANAK BABI bukan IBU BABI.

Saya kemudian meminta Yundri untuk mengeluarkan anak-anak babi tersebut karena saya ingin melihatnya dari dekat. Tak puas melihatnya, saya juga ingin memegangnya. Saat Yundri ingin memindahkan salah satu anak babi ke tangan saya, anak babi tersebut mengeluarkan suara, mungkin menangis (?) karena salah pegang. Tetiba Pinky Pig yang sedang tertidur bangun dan berusaha mendekat ke sumber suara tangisan anaknya. Sayangnya, karena kakinya masih terikat di pohon samping rumah Pinky Pig tidak bisa mendekat ke kandang anaknya.

“Awiii!” Saya kaget ketika melihat Pinky Pig bangun dari tidurnya, berusaha mendekati sumber suara anaknya.

Ternyata dia sepeduli itu sama anaknya. Hm, maklum kali ya yang namanya Ibu.

Yundri membawa kedelapan anak babi  tersebut ke tempat Pinky Pig diikat. Langsung setelah anak babi tersebut diturunkan, Pinky Pig semacam “merapihkan” area tinggalnya dengan bantuan moncongnya yang khas. Setelah itu, ia kembali menidurkan badan di area yang sudah “dirapihkannya”. Anak-anak Pinky Pig dengan cepat mendekati puting ibunya untuk menyusu. Melihat ini saya menjadi benar-benar terharu. Babi yang selama ini membuat tidur saya tidak nyenyak ternyata sepeduli itu dengan anak-anaknya. Berkali-kali saya lihat anak babi menginjak-nginjak badan hingga wajahnya, namun si Pinky Pig pun tidak marah.

Fix saya jadi kangen juga sama Mama saya yang di Jakarta. Sekedar ingin bertemu aja kok. Nggak nginjek badan atau muka apalagi menyusu.

Sambil melihat anak-anak babi menyusu, saya mendengarkan cerita Yundri tentang proses kelahiran kedelapan anak babi tersebut. Yundri bilang satu malam sebelum saya tiba, sekitar jam 11 malam Pinky Pig mulai terlihat sibuk merapihkan area tinggalnya. Beberapa potong kain—yang sebenarnya sampah, ia pindahkan ke area tinggalnya. Setelah menumpuk beberapa sampah, Pinky Pig membaringkan diri di atasnya dan mulai melahirkan. Satu per satu anak Pinky Pig keluar. Sebenarnya saat itu jumlahnya hanya tujuh. Jen—adik saya yang saat itu juga belum tertidur memberikan nama ke anak-anak babi tersebut. Oleh karena ada tujuh anak, Jen memberikan nama Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Ternyata tetiba Pinky Pig mengeluarkan satu lagi anaknya. Jen kebingungan memberikan nama. Akhirnya “Libur” disematkan ke anak babi yang paling bungsu.

Mendengar cerita Yundri tentang proses melahirkan Pinky Pig sambil menyaksikannya menyusui anak-anaknya membuat saya agak sedikit menyesal karena tidak pulang lebih awal. Di sisi lain sebenarnya mendengar kehebatan Pinky Pig melahirkan kedelapan anaknya tanpa bantuan—dengan sebelumnya menyiapkan sendiri area persalinan dan menyaksikan langsung kepedulian Pinky Pig pada anak-anaknya membuat saya jadi terharu.

Berlebihan? Hm, nggak ah!

Mungkin rasa haru saya bertambah karena saya tidak memprediksi bahwa Pinky Pig “sebaik” itu. Selama ini Pinky Pig terlihat malas dan keberadaannya merisaukan saya. Maksudnya merisaukan saya jika sedang tidur.

Nyatanya di balik itu semua, Pinky Pig seperti Ibu pada umumnya yang peduli dengan anak-anaknya. Tidak heran jika hari-hari kemudian saya sering melihat Pinky Pig galak ke anjing dan ayam di rumah yang berusaha menggoda anak-anaknya.Ya, satu lagi pembelajaran saya dapat di Rote. Kali ini saya belajar dari seekor babi bernama Pinky Pig.

Mungkin Mama-Mama yang (belakangan di berita) suka jahat sama anak-anaknya bahkan sampai membunuh mereka, harus banget belajar dari si Pinky Pig: Babi Pink yang sayang anak.


Cerita Lainnya

Lihat Semua