Punishment, is it necessary?
Sekar Nuswantari 12 Desember 2010
Sabtu, 4 Desember 2010, sepulang sekolah
Hari ini hujan turun dari pagi. Seperti dugaan, aku adalah guru pertama yang datang di sekolah. Disusul Pak Hamid, guru kelas 6, yang datang tak lama kemudian. Karena kami cuma berdua, seperti biasa aku masuk kelas 5.
Selesai mengabsen, aku meminta salah seorang murid untuk mengerjakan PR Matematika di depan kelas. Ketika murid tersebut mengerjakan PR di depan kelas, banyak murid laki-laki yang mengejek. Suasana kelas sangat gaduh. Berkali-kali aku meminta mereka untuk tenang, tidak mempan. Sampai akhirnya Satriana, murid perempuan yang mengerjakan soal, kembali ke tempat duduknya lalu menangis karena sakit hati diejek.
Bukan pertama kali ada murid menangis di kelas 5, terutama murid perempuan. Jika bukan karena diejek, dipukul, ditendang atau didorong murid laki-laki. Padahal pada hari pertama aku masuk kelas, murid-murid telah membuat janji untuk tidak melakukan itu semua. Namun, memang aku belum membuat kesepakatan mendetail tentang aturan kelas, reward dan punishment. Karena secara teknis aku belum menjadi wali kelas 5, sehingga aku belum memegang otoritas penuh atas kelas tersebut.
Kembali ke cerita di atas. Akhirnya aku berkata pada mereka, sebagai bentuk konsekuensi atas tindakan mereka itu, aku hari ini tidak mau masuk kelas 5 dan mengajar mereka. Karena berkali-kali mereka melakukan kesalahan yang sama. Aku berkata, aku tidak akan mau masuk kelas 5 jika mereka masih mengulangi kenakalan-kenakalan yang merugikan orang lain seperti itu.
Tak lama setelah aku masuk kelas 4 untuk mengajar, terdapat segerombolan anak kelas 5 di pintu. Dengan malu-malu mereka masuk dan mendekat. Ira, berkata “Bu maafkan..” . Setelah Ira, ternyata murid-murid laki-laki yang tadi berulah juga datang minta maaf. “Bu, saya mengaku salah. Saya minta maaf. Ibu ngajar lagi ya..”, kata Rahmat meminta maaf. Sambil berucap maaf dia menangis. Well, hati guru mana yang tak luluh ya melihat muridnya yang tengil menangis minta maaf? Setelah semua minta maaf, mereka berjanji untuk tidak membuat temannya menangis di kelas, apapun bentuknya. Jika sampai terulang lagi, maka aku tidak akan mengajar lagi di kelas 5. Konsisten, aku tetap tidak masuk kelas 5 hari itu, dan dengan sangat berat hati memlihat kelas 5 kosong tak ada guru. Tapi tak apalah, agar mereka menyadari adanya konsekuensi atas tiap tindakan yang mereka lakukan.
Pelajaran yang diambil hari ini adalah, ya bentuk hukuman itu perlu. Asalkan bentuk hukuman itu disetujui oleh guru dan murid. Dan sebisa mungkin hukuman yang diberlakukan bukan hukuman fisik. Karena berdasarkan pengalaman dengan mereka, mereka malahan ingin dihukum lari keliling lapangan ketika mereka melakukan kesalahan. Jika begitu, hukuman menjadi kehilangan makna.
Ketika nanti aku menjadi wali kelas 5 yang resmi, bersama dengan murid aku harus membuat set peraturan kelas, beserta reward dan punishment nya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda