Memasuki Gerbang Indonesia Mengajar
Sekar Nuswantari 12 Mei 2011
Sudah lama sekali rasanya masa-masa aku pergi menghadap ibuku untuk meminta ijin ikut Gerakan Indonesia Mengajar. Proses meminta ijin dan meyakinkan ibu merupakan perjuangan tersendiri untukku. Hari ini IM pusat sempat SMS menanyakan cerita itu. Baiklah, mari kita ingat-ingat lagi perjuangan pertamaku ikut IM ini.
Aku melihat pengumuman tentang IM ini secara tidak sengaja dari milis kuliahku, Teknik Industri 2005. Aku lupa judul email pastinya apa, tapi tentang berjuang di pelosok negeri. Aku buka karena cukup catchy. Well, pada awalnya aku hanya membacanya sepintas saja. Tapi ternyata isi nya terus terngiang walaupun email itu telah lama kututup.
Mungkin memang ini namanya jodoh. Tampaknya memang kondisiku saat itu benar-benar mendorongku untuk ikut Indonesia Mengajar. Itu adalah saat-saat aku ingin membuktikan diri kalau aku bisa bermanfaat untuk orang lain. Aku teringat lagi tentang email tentang panggilan mengabdi ke pelosok negeri itu.
Setelah membaca lagi, aku makin tertarik. Entah kenapa sepertinya ada dorongan yang begitu kuat untuk ikut mendaftar. Maka aku pun mencoba untuk bilang pada ibuku. “Ma, aku ikut program ngajar ya. Satu taun di pelosok.”. “Terus Nielsennya gimana?”. “Keluar ma.”. and the answer was straight no. Rasanya sedih sekali mendapat penolakan mentah-mentah seperti itu. Tapi aku tahu aku memang kurang persiapan. Pergi perang tanpa strategi.
Kemudian sambil memantapkan niat, aku semakin kembali menggali informasi mengenai program ini. Kubaca setiap detail persyaratan dan deskripsi pekerjaannya. Aku juga berkonsultasi dengan banyak orang, termasuk dosen pembimbing waktu kuliah untuk mengumpulkan informasi baik buruknya aku ikut IM ini. Aku juga mencocokan keikutsertaanku di IM dengan rencana jangka panjangku, yaitu melanjutkan studi S2.
Setelah kurasa amunisinya cukup, aku kembali lagi menemui ibuku untuk minta ijin. Kembali kuutarakan niatku untuk ikut IM disertai dengan penjelasan yang lebih rinci. Kali ini jawaban dari beliau bukan straight no. Tapi tetap ibuku mempertanyakan keputusanku ini. Pertanyaan andalannya adalah,”Apakah kamu bisa menjamin setelah IM bisa langsung dapat S2? Kalau memang mau S2 kenapa tidak sekalian saja langsung sekarang?”. Tidak ada yang pasti. Aku tidak bisa menjanjikan apakah aku akan langsung bisa lanjut sekolah atau dapat pekerjaan sepulangku tahun depan. Jawaban dari pertanyaan ini yang tidak bisa kujawab. Dengan berlinang air mata aku pun mundur lagi.
Kali ketiga aku meminta ijin ibuku adalah dengan cara membawanya ke sosialisasi program IM di ITB. Aku berharap dengan melihat sendiri, beliau dapat merasakan energi yang sama seperti yang aku rasakan. Aku tidak tahu itu apa, tapi energi itu terus menarikku untuk mendekat. Aku hanya berharap ibu dapat merasakannya juga.
Siang itu, seusai sosialisasi, ibu bertanya padaku,”Kapan resign?”. Alhamdulillah, ibu telah merestuiku. Restu beliau adalah kunci dari gerbang perjuangan ini. Terima kasih ya Ma, semoga dengan ikut IM ini, bisa menempa diriku menjadi orang yang lebih baik.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda