Kisah Ratetaring
Sekar Nuswantari 27 Maret 2011
Kisah Ratetaring
Pada hari Sabtu yang lalu, tanggal 26 Maret 2011, akhirnya aku berkesempatan juga untuk mengunjungi suatu daerah di Manyamba atas. Namanya Ratetaring. Banyak sekali kisah yang kudengar tentang daerah ini. Tentang perjalanan yang jauh dan sulit ditempuh. Tentang sekolahnya yang minim guru dan murid. Tentang kesuburan tanahnya yang saat ini sedang musim durian. Tentang makula, atau pemandian air panas. Tentang sungainya yang besar dan sangat sejuk airnya. Sampai tentang kemistisan daerah yang masih sangat kuat.
Pada tulisan ini, aku ingin berbagi tentang itu semua.
Kisah Perjalanan
Anak-anak kelas 5 sudah berkumpul di sekolah dari jam7 pagi tadi. Bahkan beberapa dari mereka datang ke rumah untuk menjemput ibu guru yang kesiangan ini. “Ayo Bu! Kita berangkat cepat ke Manyamba!!”. Semuanya begitu bersemangat. Begitu juga denganku. Tak sabar rasanya menempuh petualangan yang selalu dibicarakan orang itu. Akhirnya aku dan muridku ke sekolah. Banyak sekali anak kelas lain yang iri dan bilang kalau mereka ingin ikut serta ke atas. Memang kabarnya, di SD 39 Manyamba belum pernah belajar ke luar sekolah, jadi jalan-jalan keluar adalah sesuatu yang baru untuk mereka.
Di sekolah tampak Pak Agus, guru olahraga, sudah tiba. Berarti kami tinggal menunggu Pak Sideng, Kepala Sekolah. Aku sangat berterima kasih karena mereka mau ikut menemaniku mengawasi anak-anak. Karena selain aku tidak tahu jalan ke sana, aku tidak sanggup mengawasi ke-25 anakku untuk pergi ke tempat seperti itu. Terlalu beresiko.
Setelah menunggu satu jam, Pak Sideng pun datang pada pukul 8. Mendengar suara motornya saja anak-anak sudah meloncat kegirangan. “Pole Pak Sideng!!!”. Datang Pak SIdeng, teriak Yusrang yang berjaga di luar sekolah.
Aku pun membariskan dan mengabsen muridku. Ternyata hanya 21 anak yang ikut. Sayang sekali, yang lain sakit dan ada yang tidak mendapat izin dari orang tuanya. Setelah berdoa dan mengingatkan untuk saling menjaga teman, kami pun berangkat ke Ratetaring.
Aku berjalan paling belakang, berjaga agar tidak ada muridku yang ketinggalan. Perjalanan kami dari Galuh Sangalla masih terasa ringan, memang mendaki. Kami berjalan dengan kemiringan sekitar 450, tapi jalanan masih termasuk bagus untuk dilewati. Sekitar 400 m dari sekolah, kami memasuki daerah Manyamba tengah. Rumah-rumahnya tidak serapat daerah tempat tinggalku. Di sini jalanan semakin mendaki. Makin terus ke atas, kami memasuki daerah Pettaweang. Di sini jalan mulai membesar dan rumah-rumahnya rapat. Ada salah seorang muridku yang tinggal di sini, Hasnur namanya. Aku kagum padanya. Setiap hari dia berjalan kaki sekitar satu jam dari rumahnya untuk ke sekolah dan membutuhkan waktu dua jam ketika pulang. Dan dia tidak pernah mengeluh.
Keluar dari Pettaweang, kami menuju daerah Lumbe. Memang jalan menuju Lumbe tidak mulus, tapi motor masih bisa lewat. Dan biasanya para petani, termasuk bapak, memarkir motornya di Lumbe untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Dari sini, perjalanan mulai menantang.
Perjalanan yang kami tempuh mendaki dengan kemiringan sekitar 600. Jalanannya adalah batu lepas. Tapi sepertinya sebentar lagi jalanan akan membaik karena sedang terdapat proyek perbaikan jalan menuju Lumbe. Pemandangan sepanjang jalan sangat indah. Kami berada cukup tinggi, dan tidak ada pohon yang menghalangi pandangan kami. Sehingga jika melihat kanan, hamparan gunung hijau nan tinggi berderet-deret di samping awan. Dan jika kita memandang lurus, kita dapat melihat laut terhampar luas berbaur dengan langit.
Memang dasar aku adalah anak kota manja, melalui perjalan mendaki terus-menerus seperti itu lelah sekali rasanya. Sebenarnya bukan lelahnya, tapi rasa sakit di bagian betis ini yang aku malas. Tapi gengsi mengalahkan capai dan sakit, aku tidak mau kalah dari anak-anak dan guru-guru lain. Hihi.. sempat mendapat pujian dari anak-anak, “Kuat jalan kau Bu Guru!”. You don’t know the truth kids.. hehe
Akhirnya kami sampai di Lumbe. Di sana ada sebuah bale-bale yang digunakan untuk tempat beristirahat. Masih ada setengah perjalanan lagi yang harus ditempuh. Setelah cukup beristirahat kami lalu berangkat lagi menuju Ratetaring.
Perjalanan selanjutnya tidak mendaki lagi, tapi menurun, karena kami sedang melewati bukit. Jalanan yang kami lalui curam dan becek. Ini berarti, pada saat pulang nanti kami masih harus mendaki lagi. Sekitar 20 menit berjalan, Pak Kepala Sekolah menawarkan jalan kompas. Yaitu jalan memotong sehingga kami bisa menghemat 1 km. Kami pun masuk hutan. Jalan yang kami lewati sempit dan penuh batu besar. Kami dinaungi pohon-pohon lebat di atas kepala kami, dan gemericik air sungai yang membelah hutan. Kami berjalan dengan jurang di samping kanan kami. Dan beberapa kali kami harus berjalan menyeberangi sungai kecil. Sepatuku yang sudah usang semakin tidak berbentuk. Berkali-kali sepatuku terbenam lumpur, bahkan pernah sampai semata kaki dan sulit untuk ditarik keluar. Malunya aku ketika aku terpeleset karena sepatuku yang tidak bergigi lagi melewati jalanan lumpur yang licin. “Jatuh Bu Guru? Hati-hati”, kata anak-anak di belakangku. “Hadeeuuuh.. jatuh..”, kata rekan guru di belakang sana. Sumpah rasanya tidak sakit, tapi malunya itu, haha... Aku sangat kagum dengan kemampuan anak-anak berjalan di sana. Mereka berjalan dengan cepat, mereka meloncat dari batu ke batu. Bahkan banyak di antara mereka yang hanya memakai sandal ataupun telanjang kaki.
Ketika akhirnya kami keluar hutan, sampailah kami di Ratetaring setelah menempuh perjalanan selama 2 jam jalan kaki. Hamparan rumput hijau menyambut kami. Tak jauh dari sana aku melihat perkampungan. Lega sekali rasanya akhirnya sampai juga. Setibanya di sana, tak sabar aku ingin melihat sekolah di sana, SD 49 Ratetaring. Kepala sekolah nya adalah Pak Azis, tetangga depan rumahku. Luar biasa perjuangan yang beliau tempuh setiap harinya hanya untuk mencapai sekolah.
Di sekolah, aku melihat Bu Mersi, PNS yang baru terangkat, yang juga tinggal dengan Pak Azis jika dia sedang turun. Bu Mersi adalah orang Tana Toraja. Suaminya adalah orang Jawa, dari Pati, yang sekarang sedang bekerja di Malaysia. Bersuamikan orang Jawa, dia pun bisa Bahasa Jawa. Sehingga aku memanggilnya Mbak dan sering mengobrol dengan Bahasa Jawa dengannya. Dia terkejut melihatku dan rombongan ada di sana. Memang kami datang tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Dia tampak sangat senang melihatku, karena di sana dia memang kesepian tak ada teman. Apalagi kendala bahasa, di mana orang Ratetaring menggunakan bahasa Mandar gunung, bukan bahasa Mandar asli seperti di pinggiran, sehingga lebih sulit untuk dimengerti.
Setelah dari sekolah, kami pergi untuk melihat makula atau pemandian air panas. Jalan ke sana tidak begitu jauh sebenarnya, tapi kami harus menyebrang sungai. Sungainya lebarnya sekitar 10m. Anak-anak begitu semangat melihat sungai, mereka langsung terjun dan berenang di sungai. “Bu guru, bu guru lihat!”, kata mereka sambil menyelam ke air. Bahkan ada yang salto. Tapi air panas masih ada di depan, jadi mereka tidak lama berenang di sana. Aku dan Bu Mersi menyebrang sungai. airnya sampai paha kami. Celanaku basah semua. Tahu begini aku menyiapkan baju ganti.
Tidak lama berjalan, sampailah kami di air panas. Kolam air panas ini terletak di tengah hutan. Tidak besar dan sayangnya tidak terawat. Bau belerang begitu kuat di sana. Kami hanya sebentar di sana, karena perut kami semua sudah keroncongan. Saatnya makan siang.
Kami makan siang di pinggir sungai. Banyak anak membawa bekal sendiri. Yang membawa bekal lebih berbagi dengan temannya yang tidak membawa bekal. Mereka makan setelah puas berenang. Mamak sudah menyiapkan bekal istimewa. Mamak masak ketupat banyaaaak sekali untuk bekal kami, untuk ank-anak dan guru-guru lain juga. Lauknya ada ikan goreng, sambal dan batenjoro (semacam serundeng). Makanan ala kadarnya itu terasa begitu nikmat kami makan bersama. Makan siang ditutup dengan donat yang dibawa oleh guru lain. “Jangan banyak makan Bu, nanti tak kuat jalan pulang”. Dan benar, aku kekenyangan. Hahaha..
Kami singgah di rumah kenalan Pak Kepsek di sana, sekalian beristirahat menyiapkan tenaga untuk jalan pulang. Setelah makan siang (lagi) di sana. Kami pun pamit pulang kembali ke Galuh Sangalla.
Kisah Anak-anak
Satu hal yang aku sangat suka dari perjalanan ini adalah aku dapat mengamati perilaku anak-anak di luar sekolah. Apalagi, banyak kejadian yang tak terduga, yang dapat memperlihatkan sifat asli dari si anak. Aku dapat melihat siapa saja anak yang merasa kuat, kalau jalan selalu ingin di depan, tidak menunggu teman-temannya di belakang. Tapi lebih banyak lagi kejadian-kejadian yang menyentuh, yang membuatku bangga sekali dengan anak-anakku ini.
Lihatlah Armin, di sekolah dia termasuk anak yang pendiam. Anaknya memang baik, tidak pernah mengganggu teman dan selalu memperhatikan ketika aku menerangkan. Pagi ini sebelum kami berangkat, dia memberiku sepucuk surat. Ini suratnya.
(foto surat)
Jujur aku terharu sekaligus malu. Aku tak pernah memarahi Armin sejak aku jadi wali kelasnya, tapi ternyata dia termasuk anak yang merasa tak nyaman kalau aku marah di kelas.
Armin ternyata adalah anak yang sangat setia kawan. Dia membelikan minuman untuk Yusril di warung, karena Yusril tidak membawa uang ataupun bekal. Ketika di sungai pun, aku melihat mereka duduk di atas batu di tengah sungai, asyik makan bekal yang dibawa Armin berdua. Armin berjalan bersamaku sepanjang perjalanan. Dapat kurasakan dia ikut menjagaku agar tidak jatuh.
Lalu ada Yusrang, dia membantu membawakan tas teman perempuan, sampai dia terlihat seperti tempat gantungan tas. Dia membawa 4-5 tas milik teman-temannya. Lucu sekali kelihatannya. Anak laki-laki yang lain juga ada yang bergantian membantu Yusrang.
Begitu juga dengan Yusuf, bersamanya aku seperti memiliki bodyguard. Yusuf adalah anak yang aktif. Aku yakin dia mampun berjalan lebih cepat di depan. Tapi dia dengan sabar berjalan di belakang bersamaku. Jika ada teman yang kelelahan dan harus berhenti, dia pun ikut berhenti. Dia menemaniku dengan ceritanya yang dia ceritakan dengan antusias. Berjalan dengannya membuatku tidak merasakan lelah.
Kisah Sekolah
Bu Mersi tampak sumringah ketika aku datang. Aku bilang padanya aku ingin berkenalan dengan murid-muridnya. Aku senang sekali waktu beliau mengijinkan aku masuk ke kelasnya dan mengajar sebentar di sana. Dalam satu kelas, ada sekitar 10 anak. Ternyata ke-10 anak itu adalah gabungan dari kelas 5 dan kelas 6. Memang sedikit sekali murid di sana. Setelah berkenalan, aku mengajar Bahasa Indonesia. Mereka termasuk anak yang pasif. Tampak dari reaksi mereka yang mungkin canggung terhadap orang yang asing yang tiba-tiba masuk kelas mereka. Aku banyak mengeluarkan jurus-jurus mengajarku seperti wush, tepuk tangan 1 kali dan nyanyian di awal pelajaran. Reaksinya berbeda sekali dengan reaksi anak-anakku ketika aku mengajar mereka.
Aku meminta mereka untuk membaca. Dari sampel yang kudengar, mereka membacapun belum terlalu lancar. Padahal sebentar lagi mereka akan UN bagi yang kelas 6. Mungkin kendala bahasa adalah faktor utama. Tantangan pendidikan Indonesia memang sangat besar.
Hari itu hanya Ibu Mersi yang datang sekolah. Aku mengenal beberapa guru SD Ratetaring, dan mereka tinggal sekampung denganku. Yah, memang jauh dan berat sekali perjalanan dari rumah mereka ke sekolah. Entah apa solusi terbaik agar SD Ratetaring tidak kekurangan guru efektif.
Kisah Mistis
Jauh hari sebelum aku berangkat ke Ratetaring, bapak dan mamak sudah berpesan. Jangan kau makan dan minum sembarangan di sana. Sebenarnya aku tidak terlalu percaya hal-hal seperti itu, tapi lebih baik berjaga-jaga.
Ketika di sungai, salah seorang muridku menggigil kedinginan, Rahmat. Mukanya pucat sekali. Dia menangis menggerung-gerung. Kupikir karena badannya kurang sehat dan dia ikut berenang di sungai dengan teman-temannya. Aku bingung sekali apa yang harus dilakukan untuk menolongnya. Untungnya aku membawa kotak P3K dan minyak kayu putih. Bajunya kuganti dengan baju kering lalu aku menggosok badannya dengan kayu putih agar hangat. Anak itu baunya jadi seperti kayu putih karena aku banyak sekali membalur kayu putih di badannya. Ketika kami beristirahat di rumah warga, dia dibalut sarung dan selimut, dan masih menggigil.
Ketika dipaksakan untuk pulang, selepasnya kami dari desa Ratetaring, dia sudah sehat lagi seperti semula.
Ada lagi salah seorang murid perempuanku, Satriana. Bertepatan ketika kami akan meninggalkan desa, dia tiba-tiba berjongkok di tengah jalan, menangis sambil memegangi perutnya. Katanya perutnya sakit sekali. Ketika ditanya kenapa, dia bilang mungkin karena makan mie. Minyak kayu putih pun keluar lagi. Tapi sakit perutnya tidak membaik. Pak Kepsek meminta tolong pada dukun setempat untuk mengobati Satriana. Dukun itu mendoakan segelas air lalu minta Satriana meminumnya. Dia juga memegang perut Satriana dan membaca doa. Setelah itu dia seperti membuang sesuatu di udara dan meludah. Keadaan Satriana tidak langsung membaik. Dia sering meringis kesakitan dan kami pun banyak berhenti di sepanjang jalan pulang. Sesudah sampai kami di Lumbe, dia pun sehat kembali.
Ketika pada malam harinya Rahmat main ke rumah, dia bilang, di sungai tempat kami makan dia melihat sesosok bayangan putih berlari sangat cepat di atas sungai. Setelah itu dia merasakan dingin yang amat sangat sampai menggigil. Dia juga bilang, Satriana sakit karena dikerjai. “Ada setan yang mencubit perutnya, bu guru”.
Aku percaya, tak ada kekuatan yang lebih besar dari Allah SWT. Lahaula wala kuwwata Illa billah.
Masih ada 7 bulan lagi aku di sini. Berarti masih ada waktu 7 bulan lagi untuk terus berpetualang di Majene, Sulawesi Barat.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda