info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

The Story about Satriana

Sekar Nuswantari 27 Februari 2011

Hari itu hari Sabtu, satu-satunya hari dimana ada pelajaran PKn. Materi yang akan kubahas adalah organisasi, kali ini yang akan diperkenalkan adalah organisasi sekolah. Dalam struktur organisasi sekolah, terdapat Kepala Sekolah, Komite Sekolah, guru-guru kelas, guru mata pelajaran, guru honorer sampai penjaga sekolah. Untuk lebih memperdalam pemahaman materi, sekaligus melatih kemampuan berbicara murid-muridku, aku memberikan tugas wawancara pada mereka. Mereka harus mewawancarai orang-orang yang masuk ke dalam struktur tersebut, mengenai definisi organisasi sekolah dan mengenai tugas mereka masing-masing.

Aku bertanya pada mereka, “Kenapa kalian harus bisa mewawancai orang, anak-anak?”. Seperti biasa, semua mengacung dan menjawab sesuka hatinya. “Kalian harus berani mewawancarai orang, karena jika kalian sudah besar, dan kalian bertemu dengan bupati, gubernur, wakil presiden atau presiden sekalipun, kalian bisa”. Begitu terangku. Dan secara tak terduga, muridku Irfan mengangkat tangannya dan menyeletuk, “Ah, tidak  bisa Bu. Kamu mungkin ketemu mereka, kami tidak. Kamu dekat, kami jauh”. Deg. Aku benar-benar terkesiap. Memoriku sontak membawaku ke beberapa bulan lalu, pada masa pelatihan Indonesia Mengajar di Ciawi, Bogor.

Di sana, sering sekali Pak Anies berbicara tentang jarak itu. Masyarakat yang dekat dengan pusat kemajuan, katakanlah masyarakat Pulau Jawa, memandang Sulawesi Barat hanya sejauh 2 jam perjalanan dengan pesawat. Tapi Pulau Jawa di mata masyarakat Sulawesi Barat, adalah suatu tempat di antah berantah. Sungguh jauh. Apalagi bertemu dengan Wakil Presiden, membayangkan saja tidak. Angin segar itu berhembus ketika aku sedang rapat dengan Bupati Majene, Kalma Katta. Beliau berkata kalau Wapres akan hadir di Majene untuk peresmian salah satu universitas di Majene. Beliau mengundang Pengajar Muda untuk menghadiri pertemuan itu.

Tanpa pikir panjang aku meminta ijin beliau untuk membawa muridku turut serta. Karena ini adalah pertemuan dengan wapres, maka aku hanya diijinkan untuk membawa satu orang muridku. Satu orang dari sekian banyak anak SD yang ada di Majene. Satu-satunya anak SD di Sulawesi Barat yang akan hadir di pertemuan nanti.

Sesungguhnya aku ingin membawa semua muridku untuk betemu Boediono, wakil presiden Republik Indonesia. Tapi aku hanya boleh membawa satu orang saja. Akhirnya aku memutuskan untuk membuat suatu kontes membuat surat yang ditujukan untuk pemimpin negeri ini. Murid-muridku sangat antusiasi ketika aku menanyakan siapa dari mereka yang ingin kuajak bertemu dengan wapres. Sehingga mereka juga sangat antusias menulis surat untuk wapres. Surat-surat dari mereka lucu-lucu. Semuanya menampilkan keluguan anak-anak SD.

Ada surat yang isinya berterima kasih karena dapat bertemu dengan wapres. Ada surat yang meminta wapres untuk mendirikan perpustakaan desa dan koperasi sekolah, karena pada jam pelajaran banyak anak yang menangis karena pulpennya direbut oleh murid laki-laki. Ada surat yang memintaku untuk ditempatkan di SD 39 Manyamba selama dua tahun. Bahkan ada yang meminta pada Boediono untuk selalu memperjuangkan pendidikan.

Tapi ada satu surat yang berisi, kurang lebih seperti ini : Assalamualaikum Wr. Wb Apa kabar Pak? Saya harap bapak baik-baik saja. Terima kasih ya Pak sudah mau datang ke Majene. Pak, saya ucapkan selamat pada Bapak karena Bapak telah berhasil menjadi wakil presiden. Waktu kecil Bapak pasti bercita-cita menjadi wakil presiden, dan sekarang sudah terwujud. Saya juga bercita-cita jadi dokter Pak. Doakan agar saya bisa jadi dokter ya Pak. Pak, saat ini kejahatan sedang merajalela. Saya harap Bapak berhati-hati. Sekian surat dari saya, saya ucapkan Wassalamualaikum Wr. Wb Dari Satriana, kelas 5 SDN 39 Manyamba

Berkat surat itu, Satriana kupilih untuk bertemu dengan Wapres pada tanggal 19 Februari 2011. Kami berangkat sore hari pada hari Jumat tanggal 18 Februari 2011 untuk bermalam di Majene, karena acara temu wapres berlangsung pada pagi hari sehingga sulit bagi kami untuk turun gunung dan datang tepat waktu pada acara tersebut jika tidak bermalam di Majene.

Satriana tampak cukup senang di perjalanan. Dia sangat excited. Pagi harinya dia bangun dan mandi paling pagi. Pukul 9 pagi kami pergi ke SMA 2 Majene, tempat diselenggarakannya acara dialog umum dengan wapres. Pengamanannya cukup ketat. Di sepanjang jalan banyak polisi dan Satpol PP. Di dalam SMA 2, banyak Paspampres dengan seragam hitam mereka. Bahkan kami harus melewati pintu deteksi logam seperti di bandara dan melewati pemeriksaan. Yang datang tanpa undangan, jangan harap bisa masuk. Banyak acara sambutan. Dari gubernur, dari bupati, dari professor yang universitasnya akan diresmikan, sampai dari wapres sendiri. Setelah acara sambutan tersebut, tiba sesi tanya jawab.

Semua pemangku kepentingan pendidikan diijinkan untuk bertanya, berhubung di sana hadir pula Menteri Pendidikan, M. Nuh, maka semua keluh kesah tentang pendidikan dapat langsung didengar olehnya. Perwakilan SMA, SMK dan Aaliyah. Perwakilan Mahasiswa. Sampai perwakilan guru diberi kesempatan untuk bertanya. Di akhir sesi, kesempatan diberikan kepada Indonesia Mengajar. Aku pun maju untuk memberikan pertanyaan. “Pertanyaan yang akan saya ajukan, diawali dari sebuah cerita singkat Pak”.

Kemudian aku pun bercerita tentang tugas wawancara sampai pada terpilihnya salah seorang muridku untuk ku bawa ke acara tersebut. “Alhamdulillah, saya berhasil membawa murid saya hari ini Pak. Satriana, tolong berdiri sayang”. Dengan malu-malu, Satriana berdiri di kursinya di belakang sana. “Satriana juga membawa kenang-kenangan berisi suratnya dan surat teman-temannya Pak. Yang sangat ingin dia berikan untuk bapak”.

Tanpa direncanakan, wapres dan audience meminta Satriana untuk maju ke depan bersamaku. Wajahnya pucat. Dia gugup dan malu berada di khalayak ramai, apalagi ada seorang wapres di antaranya. “Jarak yang asalnya dianggap begitu nyata, ternyata sekarang jarak itu tidak begitu jauh lagi setelah Satriana dapat hadir di sini bertemu dengan Bapak. Pertanyaan saya adalah, apa langkah pemerintah untuk mendekatkan pusat kemajuan terutama di bidang pendidikan dengan anak-anak di daerah terpencil, seperti Satriana dan teman-temannya?”.

Usai memberikan pertanyaan tersebut. Aku bersiap kembali ke tempat duduk. Namun tanpa disangka-sangka, wapres sendiri yang meminta kami untuk maju. Dia ingin bertemu langsung dengan muridku dan menerima kenang-kenangan yang dia bawa. Sungguh aku sangat terharu. Bersama-sama kami melangkah ke podium.

Di sana, di hadapan wapres, Satriana memberikan suratnya dan bersalaman dengan wapres. Wapres memberikan nasihat pada Satriana untuk terus giat belajar dan jangan putus sekolah, agar cita-citanya menjadi dokter tercapai. Wapres juga berkata, “Kamu akan menjadi orang besar, Nak”.  Kemudian dia mencium kening Satriana. Decak kagum dan jepretan kamera terdengar di mana-mana. Setelah bersalaman dengan wapres, kami pun kembali ke tempat duduk kami. Banyak pertanyaan dari wartawan, ucapan selamat dan ajakan foto di kanan kiri kami.

Tapi semua itu tak terdengar oleh Satriana. Aku yakin, yang ada dalam hatinya adalah rasa bangga dan syukur. Bahwa dirinya, seorang anak SD dari pelosok tanah air, satu-satunya di Sulawesi Barat, yang sampai saat ini dapat bertatap muka langsung dengan wakil presiden Indonesia.

(Terima kasih Pak Bupati telah mengundang dan mengijinkan kami bertemu dengan wapres, terima kasih muridku Irfan H., karena telah melontarkan pernyataan yang menyentil sehingga aku membuat kontes menulis surat, terima kasih Fauzan atas ide pertanyaan yang begitu cemerlang. Dan terima kasih paling tinggi, pada Allah SWT, yang melancarkan semuanya.)


Cerita Lainnya

Lihat Semua