info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Bu, kenapa harus ada orang miskin?

Sani Novika 12 April 2014

Lonceng berdentang kencang dua kali, anak-anak berhamburan keluar kelas. Mayoritas dari mereka berlari-lari menuju belakang perpustakaan. Di sana, ada dua buah bangunan terbuat dari bambu dan beratap pelepah kelapa, tempat perut-perut warga sekolah mengadu, kantin kami yang sangat bersahaja. Mie pecel dan nasi uduk berderet-deret terbungkus daun pisang, menerbitkan air liur.

Di tengah keriuhan anak-anak makan mie pecel pedas saat istirahat, terlihat seorang laki-laki senja mengais-ngais plastik. Kulitnya sudah lama kehilangan zat colagen hingga berkeriut-keriut keriput. Itulah Mbah Garwito, umurnya konon sudah 104 tahun. Beberapa anak mengerubunginya, Mbah Garwito tersenyum menunjukkan gusi yang kehitamanan dihantam nikotin, sudah tak ada lagi jejak tumbuhnya para gigi di sana.

Anak-anak senang berdekatan dengannya, Mbah Garwito walaupun sudah renta, tapi masih cukup energik. Beliau senang bercerita pengalamannya saat berjuang melawan penjajahan Belanda dan Jepang, mulai dari Blitar tanah kelahirannya,kemudian ke Yogya, Bandung sampai ke tanah Ragem sai mangi wawai , Tulang Bawang Barat.

Beliau juga senang menyanyi lagu berbahasa Belanda, Jepang, lagu perjuangan sampai lagu campursari, walaupun dengan pengucapan yang tak lagi jelas tapi anak-anak sangat terhibur dan senang berlama-lama di dekat Mbah Garwito.

Aku turut mendengarkan cerita Mbah hari itu tentang pengalaman beliau menonton ludruk di Surabaya. Anak-anak tertawa tergelak, saat mbah menyanyikan salah satu lagu ludruk tentang sindiran terhadap penjajah Jepang. Keningku berkerut, sambil mengunyah peyek kacang, berusaha mencerna cerita beliau yang dibawakan dalam bahasa Jawa, mengingat-ingat pembendaharaan bahasa Jawaku yang masih berbilang jari.

Setelah lagunya selesai, mbah pamit untuk melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan sampah plastik, anak-anak terlihat enggan, dengan bujukan besok datang lagi akhirnya anak-anak bubar juga.

Mbah melambai tangan padaku, mengambil tongkat besi dan kembali mengais-ais plastik. Aku melambai balik dan memutar badan kembali ke kelas. Tiba-tiba terdengar beberapa anak terpekik, tak disangka, perpaduan tanah merah yang licin akibat hujan semalam dan tubuh ringkih membuat mbah kehilangan keseimbangan dan terperosok ke lubang sampah selebar 3 x 4 meter.

Mbah menggapai-gapai namun apa daya, tubuhnya tak kuat untuk memanjat keluar dari lubang tersebut. Beberapa anak laki-laki tergopoh, berpegangan tangan membantu mbah ke luar dari lubang.

Beramai-ramai murid-muridku mengantarkan Mbah Garwito kembali ke rumahnya yang hanya berjarak sekitar 20 meter dari sekolah. Aku menunggu dengan sabar di ruang kelas, aku biarkan mereka sedikit terlambat masuk kelas, karena buatku aplikasi karakter menolong yang dilakukan anak-anakku sekarang tidak kalah pentingnya dengan teori di kelas.

Dengan berpeluh dan muka semerah tomat masak diterpa teriknya mentari dataran rendah Lampung, anak-anak muridku masuk ke kelas. Aku merasakan aura yang berbeda dari mereka. Seems gloomy.

“Loh kenapa kalian? Kok terlihat sedih?”

“Bu, mbah melasi tenan, sampai jatuh-jatuh begitu, plastiknya hanya laku dua ribu perak, sanguku loh bu tiga ribu sehari, lebih besar dari mbah” Ungkap Gilang, salah satu muridku terlihat sedih.

“Bu, kenapa harus ada orang miskin? Bukannya tuhan itu penyayang? Kok membiarkan ada orang miskin?”Tanya Ela

Aku tercekat, pertanyaan cukup kritis dari anak kelas lima.

Aku menarik nafas, curi-curi waktu untuk berfikir sejenak.

“Kalian kalau lihat keadaan mbah yang seperti itu, perasaan kalian bagaimana?”

“Sedih bu” Koor anak-anak

“Terus kalau kalian sedih, apakah ada yang ingin kalian lakukan?”

“Marahin pemerintah bu, membiarkan rakyatnya miskin” Hendra mengacungkan tangannya berapi-api.

“Iya bu, benar itu bu” temannya yang lain ikut tersulut

HAHAHAHAHA

Aku terbahak. Rupanya anak-anak ini sudah begitu terpengaruh media kita yang selalu menyalahkan pemerintah sebagai solusi favorit bagi setiap permasalah yang ada.

“Kenapa harus menyalahkan orang lain? Kenapa harus selalu menunggu orang lain berbuat baik?”

Anak-anak terdiam.

“Kalian sebagai orang yang tinggal dekat dengah mbah, ada tidak yang ingin kalian lakukan kalau melihat mbah seperti itu?”

“Mau bantu buuuu” koor anak-anak.

“Bantu? Bagaimana caranya?"

“Iya bu yo, nanti aku kalo makan sama iwak (ikan) ta’ kasih mbah, biar makan enak”

“Iyo bu, nanti kalu aku minum es, gelas plastiknya ta’ kumpulin biar mbah ndak susah nyari”

 “Bagus anak-anak, nah itulah juga jawaban dari pertanyaan kalian, kenapa ada orang miskin? agar manusia di dunia ini bisa saling membantu, kalau semua orang tuhan ciptakan berkecukupan, manusia akan hidup sendiri-sendiri dan tidak peduli dengan yang lainnya”

Anak-anak mengangguk-angguk.

“Iya bu, kalau membantu orang kan kita berpahala juga kan bu? Kalau tidak punya pahala, kata pak ustad ndak masuk surga”

Aku tersenyum.

Panas terik memang sedang memanggang tanah Bangun Jaya tanpa ampun, ah.... tapi di dalam kelas ini terasa sejuk.

“Bu, kalau begitu tuhan paling sayang sama negara kita ya bu, soalnya aku liat di tivi kan katanya di Indonesia banyak orang miskinnya”

Ahahahaha “Nak-naaaaaaak”.


Cerita Lainnya

Lihat Semua