Melihat Tangis Mereka
Rusdi Saleh 10 Juni 2011
Ulangan semester kenaikan kelas selalu membawa cerita tiap gurunya,kadang kita bisa dibuat tertawa melihat jawaban-jawaban siswa kita yang “kreatif” atau justru bisa juga dibuat jengkel dengan kelakuan tidak terpuji anak didik kita.
Pagi itu saya sudah melaju dengan sepeda motor TVS menuju SD kedua saya, SD yang saya datangi dua kali seminggu. Hari ini adalah ulangan semester untuk mata pelajaran B. Inggris, karena saya adalah guru bidang studinya, maka saya pun harus mengawas dan mengambil berkas ulangan mereka untuk saya nilai.
Jarak saya menuju ke sekolah itu sebenarnya tidak begitu jauh, hanya saja jalannya aga sedikit memutar melewati deretan ladang karet pendduduk. Beruntung jalanan kering sehingga saya bisa sedikit ngebut dan tiba lebih awal, hanya sekitar 15 menit perjalanan, padahal biasanya bisa dua kali lipatnya jika dengan keepatan biasa atau jalanan lebih licin.
Setibanya di sekolah para guru sedang dengan aktivitasnya di ruang guru. beberapa mengisi raport, ada juga yang mengurus administrasi dan lainnya. Sementara di sudut lain, anak-anak sedang mengerjakan soal ulangannya, jam pertama adalah bidang studi lain dan guru bidang studi itu sedang mengawas lima kelas secara bergantian, berpindah dari satu ruang ke ruang lainnya.
Dua puluh menit berada ditempat itu, saya menengar beberapa suara murid di luar menandakan bahwa mereka sudah seleai mengerjakan soal ulangannya dan diperbolehkan istirahat. Sementarea saya sedang mempersiapkan soal bahasa Inggris yang belum di staples.
Dengan prinsip lebih cepat lebih baik, saya mempersilahkan anak kelas V masuk, untuk ulangan b. Inggris. Karena pun tidak ada yang mereka kerjakan ketika mereka istirahat. Jadi lebih saya mulai saja ulangan bahasa inggrisnya.
Disudut lain, seorang guru tadi keluar dengan emosinya dari ruang kelas 1, menyuruh murid kelas 1 yang hanya berjumlah 8 untuk keluar dari kelas dan berbaris dibawah tiang bendera. Sebuah tempat yang strategis untuk berjemur karena terkena sinar matahari langsung. Sesekali saya mengintip kedelapan bocah itu dari jendela kelas V sambil saya mengawasi anak-anak mengerjakan soal ujian.
Penasaran dengan apa yang sedang saya bertanya kepada murid lain yang berada di luar dan sudah selesai dengan jadwal ulangannya, dia menuturkan bahwa beberapa murid kelas 1 itu melihat kunci jawaban ulangan mata pelajaran tersebut yang tergeletak di meja guru.
Sesaat saya mengernyitkan dahi saya.. (mengernyitkan?? )
Saya masuk kembali ke kelas dan cukup tahu saja dengan apa yang terjadi dengan para murid saya tersebut.
Sudah hampir dua puluh menit kedelapan kelas 1 itu, yang notabene baru berumur 6-7 tahun berada diterik matahari. Selama itu sesekali guru tadi mendekat memberi sedikit “pencerahan” pada mereka. dengan sebuah rokok menyempil di dua jarinya. Sesekali dia menghirup rokok itu dan mengeluarkan asapnya. Saya hanya bisa tersenyum dibalik jendela kelas V.
Selepas guru itu pergi saya coba mendekati mereka, walau dari jarak yang cukup jauh melihat wajahnya satu persatu. Saya bisa melihat satu orang sudah menitikan airmatanya. Ingin rasanya membubarkan barisan mereka dan menyuruhnya masuk kelas. Dan Ingin rasanya memprotes kebijakan guru yang menghukumnya saat itu juga dengan menjemur anak-anak itu.
Toh mereka hanyalah bocah kecil kelas 1 dengan segala keluguannya, yang jika ditinggal gurunya akan jalan-jalan kesana kemari, dari satu meja ke meja lainnya ataupun kemeja guru dan (bisa saja) menemukan kunci jawaban itu, yang (mungkin) tidak sengaja ditaruh di meja kelas itu. Walupun mereka sengaja melihat kunci jawaban itu, tidak sepenuhnya mereka bersalah karena seharusnya ketika ulangan semeseter mereka diawasi, bukan ditinggal-tinggal oleh gurunya.
Sejenak berpikir kembali untuk mengurungkan niat itu, niat seorang guru baru yang baru saja 6 bulan mengajar di SD ini. Saya akan menunggu sampai berapa lama anak-anak itu dijemur.
Ulangan bahasa Inggris selesai. Mungkin hanya tiga puluh menit anak-anak mengerjakan soal yang saya sengaja buat untuk ulangan kali ini. Entah terlalu gampang mereka kerjakan, mereka yang ngasal menjawab atau murid saya yang sudah cukup cerdas menjawab soal-soal itu. Semoga saja pilihan yang terakhir adalah jawabannya.
Seketika itu pula, guru tadi menyuruh seluruh siswa keluar dan berbaris rapi di lapangan. Sementra saya masuk ruang kantor. Saya pikir mereka dikumpulkan untuk informasi terkait esok hari. Karena jadwal ulangan sudah habis. Di ruang guru saya mengemasi lembar jawaban B. Inggris tadi. Sesekali saya dan berberapa rekan guru lain mengintip di balik jendela, melihat situati di luar, penasaran apa yang sedang dilakukan oleh guru tadi kepada anak-anak.
Selesai dengan lembar jawaban tadi, saya pun beranjak keluar untuk mengabadikan “kejadian” luar biasa ini dengan kamera di handphone Sony Erricsson saya. Sungguh tidak tega sebenarnya mengambil gambar bocah-bocah itu, anak-anak didik saya, dijemur di bawah teriknya matahari. Terlihat sudah bertambah 1 orang yang menangis.
Sekejap kemudian mendapat instruksi yang “menyesatkan” menurut saya, barisan murid-murid lain dari kelas dua-kelas lima yang tadi dikumpulkan oleh si guru tadi mendekati kedelapan kelas 1 yang dicap bersalah oleh gurunya. Masih penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh kakak kelasnya terhadap adik kelasnya yang sedang dijemur, saya kembali mengeluarkan handphone dan kembali ingin mengambil moment ini. Sempat berharap mereka akan menyalami satu persatu murid-murid yang sedang dijemur itu, walaupun sebenarnya itu harapan yang sulit terjadi. Benar saja, dugaan saya salah, ternyata setiap murid mendapat “kehormatan” untuk menjewer kedelapan murid itu ditemani dengan tangisan keempat murid perempuan yang sedang dijemur tadi.
Bulu kuduk saya langsung merinding menyaksikan peristiwa ini, setelah memasukan handphone ke dalam saku celana, pelan-pelan saya mendekati mereka sambil menoleh ke arah ruang guru, yang kesemua guru hanya diam melihat kejadian ini. Hati kecil saya berkata bahwa ini bukanlah hukuman yang mendidik yang dilakukan oleh seorang guru. Semakin mendekat ke arah empat gadis kecil yang hari selasa lalu temani mereka ulangan matematika dan PKn. Saya kuatkan mereka satu persatu saya belai kepalanya dan saya hentikan deretan kaka kelas mereka yang dengan terpaksa akan menjewer kupingnya. Jujur saat itu, saya pun hampir menitikan air mata, Saya bubarkan acara “pengadilan massal” ini tanpa pernah menengok guru yang sedang terdiam melihat saya. Saya ajak mereka berdelapan ke kelas, masih dengan suara tangisannya.
Baru kali ini, hati nurani saya sebagai guru benar-benar terketuk melihat kejadian hari ini. Di dalam kelas saya hibur mereka, saya datangi satu perstu, kembali saya belai kepala mereka, saya peluk mereka dan membujuknya untuk berhenti menangis. Selama tujuh bulan tepat sya menjadi guru, peristiwa inilah yang semakin menguatkan diri saya bahwa butuh cinta dan keikhlasan untuk menjadi seorang guru.
Sejujurnya saya tidak ingin dibilang pahlawan oleh murid-murid saya, tapi menurut saya ini sudah kelewatan. Sama sekali tidak memberikan nilai pendidika untuk anak-anak, apalagi bagi murid kelas 1 yang dihukum tadi.
Setelah berdoa, saya bubarkan kelas 1 tadi, masih dengan isakan tangis mereka, karena saya tak bisa mencegahnya. Sementara ruang guru sudah kosong ditinggal penghuninya. Saya pun pulang dengan air muka yang berbeda dengan perjalanan pulang sebelumnya.
TBB, 10 Juni 2011
Setelah 7 bulan penuh menjadi guru.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda