info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Kehilangan atau Sebuah Kehormatan?

Rizki Mustika 24 November 2013

5 November 2013. Ini Tahun baru Islam, jadi sekolah libur. Pukul 05.20, bersama Mak Iti aku sudah di atas cukong yang didayung Pak Sho. Cukong itu terbuat dari drum plastik yang dibelah dua, kemudian disatukan serupa canoe. Cukong sangat tidak stabil dan cuma bisa dinaiki 3-4 orang. Cukong didayung Pak Sho menuju klotok yang parkir agak jauh dari bibir pantai. Jika agak besar, klotok memang tidak bisa merapat. Akan kandas jika dipaksakan. 

Klotok itu milik Pak Sho. Setiap hari digunakannya mengantar Mak Iti yang akan ke pasar di Desa Daun. Disana Mak Iti menjual hasil laut dari Gili dan membeli barang-barang untuk dijual lagi. Klotok inilah yang menjadi angkutan umum kami menyebrang dari Pulau Gili ke labuan Pamona. Aku masih dengan setelah yang biasa. Kaos dan celana training. Siap mengancah-ngancah rawa. Dermaga mini kami belum juga jadi.  

Aku menumpang klotok pagi ini membawa satu misi. Membangun jembatan. Ya, selain kompor-kompor berjalan  kami juga kuli-kuli berbahagia, Kawan. Begini, Gili adalah satu pulau kecil yang masyarakatnya berbeda-beda daerah asal. Ada yang dari Tanah Jawa, Madura, dan Sulawesi. Mereka semua punya warna. Konon masing-masingnya terlalu kuat untuk bisa dicampur-baur jadi satu. Makanya, Dusun Gili sangat rentan polemik dan rawan konflik.

Kini, polemik itu sedang panas. Cukup kompleks. Jika diurut-urut akarnya klasik. Informasi yang beredar luas di dusun terlalu banyak reduksi dan ditambahi bumbu sana-sini. Awalnya oknum saja. Lama-lama semakin besar dan meruncing. Keberagaman warga Gili jadi seperti timbunan bensin di SPBU yang dibakar masa. Membuat makin garang apinya. 

Kupikir ini karena Dusun dan Desa kurang komunikasi. Jadi perlu ada jembatan. Perlu ada orang-orang yang jiwanya lurus dari Dusun Gili yang menerima informasi langsung dari Desa Sidogedungbatu. Sekembalinya, pelan-pelan mereka bisa menebar informasi  yang benar. Pelan-pelan bisa membenahi keruwetan yang terjadi di pulau kami sendiri.

Ini sudah mepet-mepet ke ranah politik. Entah karena tidak terlalu suka pada kotornya apa karena pengecut saja, dari dulu jarak dengan urusan politik selalu kujaga. Sikapku “cukup tau”. Kalaupun tergabung dalam organisasi atau kegiatan politik kampus, posisiku jauh di belakang pastinya. Makanya sejak bangun pukul 04.30 tadi, cukup lama sebelum naik cukong dan menumpang klotok,  aku teringat Galih dan Adit. Dua orang kawan PM VI yang jago urusan beginian.

Galih Ramadian anak politik angkatan 2008. Ia Ketua BEM FISIP UI periode 2011-2012. Dan Aditya Prasetya, anak pendidikan fisika angkatan 2007 UNILA. Dia juga aktivis BEM kampus. Bidangnya terkait advokasi dan perundangan seingatku. Kalau Galih yang politik hati sama otaknya, kelakuan sih rebel luar biasa! Adit  politik luar dalamnya. Hati, pikiran, sampai tampilan.

3 Juni 2013. Dari ruang Iphone kami kembali ke barak untuk makan siang. Meja panjang tempat kami biasa makan penuh. Aku duduk lesehan di teras pinggiran barak bersama Lukito Perkasa. Tadi pagi di perpustakaan barak, kami menyetrika sambil membahas serius suatu hal. Bahasan itu belum lagi selesai, jadi mesti dilanjutkan. Adit datang bergabung. Jadi bertiga kami lanjutkan obrolan.  Ini entah keberapa kali ngobrol dengan Adit. Obrolan bersama Adit selalu menarik. Adit pasti menghadirkan sudut pandang yang lain yang aku tak sampai kepikiran.     

12 Juni 2013. Pak Boediono berbaik hati menerima sowan-an kami. Di jalan depan istananya, Jalan Merdeka Selatan Jakarta Pusat, sekelompok orang sedang berdemo. Kedengarannya sebuah aksi tolak kenaikan harga BBM. Rubungan PM VI panik. Beberapa rusuh,

“Mana Adit? Mana Adit?? Tahan Adit! Tahan...!” Adit yang disebut-sebut ada di hadapanku. Menyingsingkan lengan, siap-siap turun ke jalan.

Adit seorang aktivis. Kalau lihat demo kami kuatir Adit langsung orasi, otomatis. Setiap hari selama camp, kalau Adit sudah bicara aku seperti melihat Bung Tomo. Semangatnya berasa sampai ke tulang. Mendengar ia bicara rasanya aku ingin ambil bendera, kuikat di kepala. Aku ingin lari ke rumpun bambu terdekat, kupotong runcing satu batang. Lalu teriak “Merdeka! Merdeka!”.

5 November 2013. Pukul 12.30 kami sudah di labuan, menunggu kalotok pulang ke Gili. Pertemuan dan diskusi kami dengan kepala desa dan sekretarisnya tadi berjalan baik. Sejak subuh sampai diskusinya selesai, aku tidak mengecek-ngecek handphone. Kupikir buat apa? Toh ruteku tak bersinyal. Tapi mungkin tanpa sadar aku melewati spot bersinyal. Dua pesan singkat telah masuk. Satu dari Ano, satu dari Naim. Keduanya sama, mengabarkan Adit telah pulang.

Tanganku gemetar. Menjalar ke ubun-ubun sampai ke kaki. Mataku panas. Berlinang, tapi kutahan biar tak jatuh jadi tangis. Aku benar-benar tidak percaya. Sebut aku bodoh, aku berharap ini pesan yang salah ketik atau salah kirim. Sebut aku jahat, aku sungguh berharap yang mereka maksud adalah Adit yang lain. Bukan Aditya Prasetya, saudaraku seangkatan. Bukan Aditya Prasetya yang kukenal jago urusan politik, yang aktivis sejati.

5 November 2013. Ini H-5 hari pahlawan. Kami kehilangan seorang kawan. Kehilangan? Kurasa bukan. Ini kehormatan. Sebuah kehormatan, kami pernah kenal jiwa yang semangatnya murni. Semangatmu kini masih terasa mengalir dalam darah kami. Sebuah kehormatan, kami pernah berjalan bersisian. Sungguh, tak akan selangkah pun jalan ini kami tinggalkan. Sebuah kehormatan, kami pernah berbagi mimpi. Mimpi itu tak akan hilang, kami yang akan wujudkan.

Sebuah kehormatan, aku telah belajar darimu untuk tidak membatas-batasi diri. Katamu, “Berlelah-lelahlah, hingga lelah itu lelah mengikuti”. Memang, kau tidak pernah berhenti berlelah-lelah. Hanya Tuhan yang kau biarkan menghentikan. Aku pun harusnya begitu. Kita harusnya begitu.

Dan tentang politik? Kurasa kau benar, Dit. Itu ranah yang menarik.  

 

photo by: Mas Budi

 

Sungguh kau telah menepati janji. Lelah pun telah lelah mengikutimu kini.

Replikatika, 7 November 2013


Cerita Lainnya

Lihat Semua