Belajar Mencintai Indonesia

Rifian Ernando Lukmantara 11 Agustus 2013

Mengajarkan nilai-nilai nasionalisme dan rasa cinta kepada tanah air Indonesia memang bukan perkara mudah, terutama pada anak-anak. Hal-hal tersebut terlalu abstrak apabila hanya diajarkan melalui teori serta materi yang terdapat dalam buku pelajaran. Terlebih hanya diajarkan melalui ceramah kelas yang terkadang justru membuat murid semakin bingung. Oleh karena itulah akhirnya saya memutuskan untuk memutarkan sebuah film saat akan mengajar pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di kelas V mengenai ‘Menjaga Keutuhan NKRI’.

Film ‘Denias, Senandung di Atas Awan’ saya pilih sebagai pengantar bagi anak-anak untuk mengenal negara dan saudara sebangsa setanah airnya. Ada dua alasan yang melatarbelakangi pemilihan film tersebut, pertama film tersebut mampu mengenalkan pada anak-anak bahwa di ujung timur nusantara sana terdapat juga saudara-saudara sebangsanya yang memiliki kondisi fisik, budaya, dan bahasa yang sangat berbeda. Kedua, film ini juga menggambarkan kondisi pendidikan yang penuh ironi tak mampu menghalangi seseorang untuk menggapai cita-citanya.

Banyak anak murid saya yang tertawa terbahak-bahak pada adegan permulaan film yang menggambarkan kondisi kehidupan suku pedalaman pegunungan tengah Papua. Honai-honai sederhana yang hanya terbuat dari kayu dan atap rumbia, orang lalu lalang tanpa busana, kaum lelaki yang hanya menggunakan koteka, hingga bentuk fisik khas suku Melanesia yang sangat berbeda dengan orang-orang Sumatera telah membuat mereka semua tertawa bahkan terheran-heran. Tak jarang terucap kata “Ihhh...” dan “Hiii...” manakala mereka menyaksikan saudara-saudara sebangsa mereka di Papua yang memang tidak menggunakan busana dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Ternyata perasaan asing dan aneh yang dirasakan anak-anak tersebut tidak berlangsung lama. Beberapa saat kemudian saat adegan robohnya sekolah Denias akibat terjangan angin muncul, beberapa anak pun mulai menampakkan mimik wajah sedih. Sekolah Denias yang berbentuk gubuk kayu sangat sederhana tanpa dinding dan perabotan kelas nampaknya mampu menggugah perasaan iba pada diri anak anak. Bahkan Ikbal, salah satu murid saya sampai menitikkan air mata yang belakangan diketahui teman-teman sekelasnya dan mereka pun berama-ramai menertawainya.

Selesai menonton saya pun membuka diskusi dan mulai bertanya satu persatu kepada mereka tentang apa pelajaran atau makna yang dapat diambil dari film tersebut. Beramai-ramai mereka menjawab pertanyaan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa mereka harus bersyukur karena memiliki sekolah yang bangunannya lebih baik, ada yang mengatakan bahwa mereka harus menghormati saudara-saudara di Papua sana walaupun secara fisik mereka berbeda, dan lain sebagainya.

Ya, bagi saya anak-anak memang perlu dikenalkan secara nyata pada kondisi saudara-saudara sebangsa dan setanah airnya. Sebisa mungkin kita dekatkan mereka pada kehidupan saudara-saudaranya yang tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalaupun tak mampu membawanya langsung ke Papua, maka melalui film setidaknya sudah mampu memberikan gambaran yang cukup nyata tentang siapa dan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia di sudut-sudut nusantara. Sekalipun kehidupan disini tak sebaik yang diimpikan, setidaknya mereka kini mampu lebih bersyukur dengan kondisi kehidupan yang ada. Terkadang kita memang perlu melihat secara lebih dekat dan nyata, agar mampu menumbuhkan rasa syukur dan cinta pada tanah air Indonesia. Layaknya Soe Hok Gie pernah berkata, “Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat”.


Cerita Lainnya

Lihat Semua