info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Kekerasan Dalam Mendidik dan Dampak Turunannya

Rian Ernest Tanudjaja 25 Februari 2012

Sering di forum diskusi dengan masyarakat, secara informal mereka mengatakan, “Kita ini orang NTT memang keras Pak. Kita ini bicara dan perilakunya keras tetapi hati kami lembut.” Seolah-olah ingin mengatakan bahwa ‘keras’ adalah jalan hidup yang memang sudah dari ‘sananya’. Bahwa ‘keras’ adalah hal yang wajar dan tidak bisa diubah, serta tidak merugikan.

Malamnya, sambil melamun-lamun di kamar, aku berpikir, “Apa iya hanya masyarakat daerah Indonesia bagian tengah dan timur yang keras?” Lalu aku berkesimpulan bahwa tidak hanya mereka yang ‘keras’. Saya pribadi berpendapat kita bangsa Indonesia sebenarnya termasuk ‘keras’. Hanya kadarnya saja yang berbeda. Mau bukti? Lihat saja tayangan di televisi, lihat konflik-konflik yang terjadi. Konflik antar kampung, antar suku, antar agama, konflik antar selebriti, argumentasi panas dan kurang etis di gedung parlemen dan di studio stasiun televisi, dan sebagainya. Terlepas dari etnis, suku, daerah asal, kita adalah bangsa yang tergolong “keras”. Para pembaca yang budiman, apabila Anda sepakat dengan saya, silahkan lanjutkan membaca tulisan ini.

Di tempatku mengajar, ada semboyan “di ujung rotan ada emas”. Tampaknya sudah tidak perlu saya jelaskan pada itu artinya. Atau masih perlu? Mungkin membantu memperjelas Anda apabila saya susun ulang kalimatnya menjadi “pukullah anak Anda agar mereka dapat menjadi pribadi unggul”. Awal mendengar ungkapan ‘rotan dan emas’ tadi, saya tertawa. Namun dalam perjalanan mengajar siswa SDN Daepapan, aku merasakan betapa dahsyatnya akibat dari ‘rotan dan emas’ itu.   

Memoriku melayang pada hari pertama aku sekolah. Aku masih menjadi guru dengan pengalaman mengajar 3 hari yang kudapat selama pelatihan Indonesia Mengajar. Saat sampai di SDN Daepapan, banyak siswa yang antusias menyambut guru baru mereka. Tapi banyak juga yang agak malu-malu (bahkan cenderung takut). Pada saat itu aku belum tahu alasan ketakutan mereka.

Untuk mendekatkan pribadiku dengan mereka, aku mencoba memanggil salah satu siswa kelas 2 yang sedang berlarian bermain. Setelah menanyakan namanya kepada siswa lain, aku mencoba memanggil. Kupanggil satu kali, dia tidak berani mendekat, hanya mematung di tempat. Dua kali. Tiga kali. Sampai lima kali. Akhirnya kuhampiri dia. Langkah pertama aku berjalan, dia langsung menangis meraung. Aku kaget bukan main. Mengapa siswa ini menangis ketakutan? Teman sekelasnya membantu menjelaskan dengan mengatakan, “Si Reki takut Pak pukul dia.” Ya Tuhan, apakah di otaknya sudah terprogram bahwa: guru panggil + guru menghampiri = tempeleng di kepala? Seingat saya, pengiriman saya ke dusun ini adalah untuk menjadi guru dan bukan debt collector!

Hari lain, aku memberikan pelatihan baris-berbaris kepada siswa. Awal datang disini, upacara bendera tidak berjalan. Jadilah aku melatih dasar baris-berbaris kepada seluruh siswa. Mereka sangat cepat menangkap hal ini. Di SD-ku sekarang, setiap kali bubar sehabis upacara, mereka akan melakukan balik kanan sambil mengucapkan: “S!”—kaki kiri melintang di depan kaki  kanan; “D!”--tumit kanan digeser 180°ke kanan; “N!”—badan diputar 180° ke kanan dan kaki kiri digeser menempel kaki kanan; “Daepapan”—tangan dan kaki diayun membuat gerakan bubar jalan. Sederhana memang, tapi harap maklum, saya hanya guru yang bangga melihat perkembangan mereka, sekecil apapun perkembangan itu.

Pada saat melatih ada siswa yang melakukan kesalahan—hal yang wajar. Saat berniat untuk menghampirinya dan memberikan pengarahan, terdengar beberapa celotehan siswa, “Tuh, Pak Rian sebentar pukul” Lagi-lagi, aku kaget. Kenapa kekerasan begitu lekat dengan pengalaman mereka?

Ada lagi, saat kusebarkan angket di kelas 5 yang saya ajar (saya adalah wali kelas 5, mengajar seluruh matapelajaran kecuali Olahraga, Seni Budaya Keterampilan dan Pendidikan Kewarganegaraan). Ada sebuah pertanyaan yang kuberikan, “Apabila ada teman sekelas mengalami kesulitan belajar, apa yang harus dilakukan?” Pertanyaan ini kuberikan untuk mengetahui, seberapa jauh pengamalan kerjasama (cooperation) dalam pembelajaran materi. Jadi sesungguhnya jawaban yang kuharapkan adalah semacam: “Membantu dia agar dia dapat mengerti pelajaran yang diberikan guru”; “Mengajaknya belajar kelompok” dan jawaban lain senada. Nyatanya, ada murid yang memberikan jawaban bernada ‘rotan dan emas’: “Harus dipukul dari Pak Guru atau dari Ibu Guru.” Latar cerita ini bukanlah barak militer. Bukan kamp pelatihan teroris. Latarnya adalah institusi pendidikan bernama sekolah.

Untunglah semenjak kedatanganku di sini, hampir tidak pernah kulihat praktek kekerasan. Peristiwa itu terjadi satu kali di depan mataku. Saat itu, aku sedang melatih upacara bagi siswa. Karena lelah dan ingin agar guru lain juga ikut berperan, aku memberi kesempatan guru lain untuk mendidik siswa yang sedang kuajar. Lalu pandangan kualihkan dari siswa ke lapangan, karena berbicara dengan guru lain. Tidak lama, tidak sampai satu menit. Kulihat siswa kembali, si pemimpin upacara sudah menangis dan dikelilingi 2 guru lain. Ternyata dia telah membuat kesalahan dan diberikan tempeleng oleh guru tersebut. Mencelos hati ini. Campur aduk perasaannya. Aku masih baru disini, dan ingin menghindari konfrotasi dengan guru yang sudah ada. Di sisi lain, ada hak anak yang ternoda. Sepulang sekolah, anak itu aku panggil dan kujelaskan bahwa yang dilakukan guru itu adalah salah, dan saya berjanji tidak akan membiarkan guru manapun memukul dia lagi. Menyaksikan kekerasan dalam mendidik siswa adalah dilema saya dan teman-teman Pengajar Muda yang lain. Banyak teman-temanku yang sering menangis di dalam toilet karena tidak kuat melihat siswanya dipukul oleh guru lain hanya karena permasalahan sepele. Saat kami mengkritik praktek tersebut, jawaban-jawaban generik seperti “Sudah, ini memang cara kami mendidik” atau “Dipukul saja agar tidak manja dan tidak kurang ajar terhadap guru” sering kami dengar. Guru seperti ini mengidap amnesia berat bahwa ‘anak-anak tetaplah anak-anak’.

Malangnya bagiku pribadi, praktek kekerasan ini sedikit banyak mempengaruhi pembelajaran di kelas. Sering siswa cenderung adem ayem saja melakukan pelanggaran disiplin, misalnya: tidak membuat PR, tidak membawa catatan, terlambat masuk sekolah, dan sebagainya. Hal ini karena mereka mengetahui bahwa ada guru yang tidak akan memukul mereka, sekeras apapun pelanggaran yang mereka buat. Dari hasil diskusi dengan masyarakat setempat, siswa itu bisa jadi lebih memilih untuk melakukan pelanggaran disiplin (terutama tidak membuat PR) dan dipukul oleh gurunya. Toh menurut mereka, dipukul memang sakit, tapi kan sakitnya tidak lama (khususnya bagi anak yang dari rumah juga sudah biasa dipukul oleh orangtua). Anak itu adalah pribadi yang polos, namun sudah memiliki alur pemikiran sendiri. Tugas orangtua dan guru adalah memastikan alur itu terus ada dalam koridor yang tepat.

Saya dan rekan Pengajar Muda lain yang menjalankan prinsip tanpa kekerasan kemudian menemui kendala akibat sistem ‘rotan dan emas’ ini. Kami dihadapkan dengan beberapa siswa yang konsisten melanggar disiplin. Ada juga kasus siswa yang terpapar ‘rotan dan emas’ tidak peka saat kami sedang ‘tegas’ di kelas (bahasa halus untuk menjelaskan sebuah kondisi dimana kami sedang marah terhadap siswa). Di siswa yang tidak terpapar ‘rotan dan emas’, sikap aksi-diam dari guru saja sudah membuat siswa ketakutan setengah mati, tersadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Untuk siswaku yang sudah terpapar ‘rotan dan emas’, aksi-diam ini sama sekali tidak efektif. Mengapa? Karena sudah sering terpapar dengan kekerasan membuat ambang batas definisi ‘tegas dan marah’ dari guru terhadap mereka menjadi melambung tinggi. Mereka menjadi baru mengerti kalau guru itu marah apabila sudah ada tempelengan melayang, dan makian keluar.

Menurut hemat saya, dampak lain dari ‘rotan dan emas’ adalah raibnya kreativitas siswa. Sebuah literatur mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah melahirkan insan yang: menjadi pemecah masalah dan kreatif. Hal ini sulit dibantah. Meskipun terdapat banyak sekali spesialisasi ilmu di dunia: hukum, teknik, kedokteran, ekonomi, desain, dan sebagainya; kita semua akan menemui berbagai permasalahan dalam kehidupan nyata dan kita dituntut untuk mampu menyelesaikan masalah tersebut, bahkan sering menciptakan solusi dan sistem baru untuk menangani masalah yang belum pernah kita temui sebelumnya. Alas, kreativitas menjadi faktor krusial dalam kesuksesan seseorang. Dan kekerasan dengan kejamnya menghancurkan faktor krusial ini.

Dengan terbiasa memukul anak agar dia melaksanakan perintah dan arahan yang diberikan guru, maka siswa akan terprogram untuk bertindak setelah mendapatkan ‘rangsangan’—dalam hal ini adalah pukulan. Akibatnya jelas, tanpa adanya rangsangan atau kekerasan (dalam bentuk verbal maupun fisik), siswa tidak akan berinisiatif melakukan tugas dan kewajibannya, yakni belajar. Inisiatif yang sudah mati akan mematikan kreativitas. Jadilah siswa yang hanya selalu menunggu dan menunggu. Menunggu diberikan kekerasan maksudnya.

Apabila sistem ini tertanam di perilaku sejak usia dini dan berlanjut terus hingga dewasa, bayangkanlah manusia yang tidak memiliki inisiatif dan kreativitas. Bayangkan kantor dinas, kantor walikota, kantor bupati, kantor gubernur, pusat layanan publik yang berisi orang-orang hasil konsep ‘rotan dan emas’ yang tidak memiliki inisiatif dan kreativitas. Roda pelayanan masyarakat, roda ekonomi berjalan dengan tempo sangat lambat. Kita menjadi bosan dengan ketidakefisiensian, ketidakkompetenan dan praktek ‘magabut’ alias makan gaji buta. Saya tidak mengatakan bahwa permasalahan barusan hanya disebabkan oleh ‘rotan dan emas’. Namun faktor itu tampaknya menjadi kontributor terbesar.

Jadi mari kita hilangkan kekerasan dalam pendidikan. Marilah kita lahirkan pendidikan yang ‘memanusiakan manusia’ dan bukan ‘merobotkan manusia’. Mari kita lahirkan pendidikan yang ramah dan menyenangkan pada anak, membuat mereka penasaran dengan ilmu baru dari hari ke hari. Sebuah pembelajaran yang merangsang rasa ingin tahu, menumbuhkan inisiatif dan pada akhirnya melahirkan manusia kreatif yang mampu menyelesaikan permasalahan dalam hidup mereka, hidup masyarakat dan hidup bangsa ini!


Cerita Lainnya

Lihat Semua