info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Perjalanan Anak Bangsa: Indonesia Mengajar (Chapter 12)

Ratih Diasari 1 Februari 2012

Senja tanggal di ubun bukit, terbawa angin menepi ke batu-batu. Tertimbun lumpur yang legam, mencakar kesunyian dari bulan. Hingga lelap matahari di ranjang pohonan menjadi sempurna. Sementara kita masih sibuk menyulam remang-remang dengan sabit yang dikalungkan di leher rumput-rumput. Bau tanah dan amis keringat, sesekali kita hirup bersama seiring dengan pekat yang berbisik tentang maghrib yang rubuh. Karena di kadang, sepasang sapi titipan adalah impian yang menyimpan seribu misteri.

Sebentar. Hidup ini ternyata memang hanya sebentar. Sebuah lagu terus dinyanyikan, dan hanya terdengar sebingar. Terhirup lama. Namun hanya sedikit yang berkepakan hinggap di kepala. Mentari telah ratusan kali terbit tenggelam. Angin telah bertiup memutar entah sudah berapa kali putaran. Nasrudin telah kembali dan tak pernah tahu berita apalagi yang muncul di layar kaca televisi.

Sejenak puisi karya Kamil Ibnu Masduki--Seribu Misteri, membawaku terbang pada demamku yang semakin tinggi. Cairan kental dari dalam hidung terus mengalir tak ada tanda-tanda mau berhenti. Tenggorokan yang semakin sakit menyelimuti tidurku di pagi yang dingin ini. Tidak ada dokter, hanya obat-obatan seadanya saja yang kubawa sepulang cuti beberapa hari.

Kukira penyakit-penyakit ini, tak akan mengidap pada badanku lagi. Semangat totalitas untuk mengajar dan memberikan yang terbaik, kukira cukup membasmi kuman penyakit yang lama telah berhenti. Namun ternyata dugaanku sungguh keliru. Cuaca yang ekstrim, panas membakar kulit atau mendung yang tiba-tiba menyelimuti, melanda desaku yang baru-baru saja bangkit dengan semangat perbaikan diri.

Penyakit ini sebenarnya wajar saja terjadi. Hanya demam, batuk, pilek dan tenggorokan yang sakit seperti kerasukan beberapa batang duri. Biasa terjadi pada orang yang lupa menjaga diri. Tak lama sebelum penyakit ini, aku tersengat gigitan kaki seribu atau kalajengking atau laba-laba yang entah gigitan siapa sebenarnya yang benar melukai. Kakiku bengkak tidak tertandingi. Baru beberapa hari saja sembuh dari sengatan, sudah kena lagi penyakit beringus yang sungguh menyiksa diri.

Begitulah tantangan tinggal di daerah pedesaan. Seharusnya tidak menjadikan kita lemah, berputus asa, atau sedih menantikan keajaiban. Hal ini seperti nikmat yang beberapa waktu lalu, sempat aku ceritakan. Pengantar materi “Harga Diri”, sebagai pembuka pelajaran Pendidikan dan Kewarganegaraan.

Berawal dari dongeng sekawanan katak yang hendak tamasya ke tengah hutan. Malangnya, dua diantara sekawanan jatuh ke dalam lubang diantara pepohonan. Tak diduga, ternyata lubang itu sangatlah dalam.

“Lebih baik kalian menunggu ajal saja. Tidak mungkin kalian akan berhasil keluar.” ,p> Kedua katak tersebut berusaha keluar, tapi selalu gagal. Akhirnya salah satu katak itu menyerah. Karena kelelahan akhirnya ia mati. Katak satunya lagi terus berusaha melompat. Teman-temannya terus berteriak, “Hentikan saja. Kamu tidak mungkin keluar.”

Katak itu malah semakin giat berusaha. Dengan susah payah, akhirnya ia berhasil. Katak lainnya takjub dan bertanya, “apa kamu mendengar teriakan kami?” Dengan memberikan isyarat, katak itu menjelaskan. Ia sebenarnya tuli. Tentu saja ia tidak bisa mendengar!

Dapatkah kalian membayangkan kalau katak itu bisa mendengar? Mungkin ia akan menyerah dan mati seperti katak satunya. Kekurangannya yang tidak bisa mendengar, ia syukuri dengan menerima seutuhnya akan keadaan dirinya. Katak menyadari benar untuk menerima diri apa adanya. Kekurangan membantunya untuk mencintai diri sendiri apapun keadaannya. Kalau sudah bersemangat, apapun yang dihadapi pasti bisa dilakukan dengan penuh percaya diri.

Belajar dari seekor katak yang terus mensyukuri nikmat, tentu membuatku malu untuk sekedar berhenti melakukan sesuatu. Tubuh ini selalu aku pompa, ku paksa untuk terus bergerak, bergerak, dan bergerak. Kau tahu kenapa? Karena anak-anak begitu semangat menerima pelajaran apapun yang aku berikan.

Tiada kegiatan sedikitpun yang kukerjakan dengan lambat. Tiada sedikitpun ocehan nakal anak-anak yang aku masukkan, sekedar hati rasa tertambat. Minggu-minggu awal pembelajaran, aku rasa semakin dekat.

Mereka begitu unik. Mereka begitu lucu. Anak-anak bergotong-royong untuk saling menyemangati. Mereka senang sekali menggangguku di pagi, sore dan malam hari. Anak SD, SMP maupun SMA terlihat sudah mulai gemar membaca. Apalagi semenjak aku membuka Rumah Baca di lingkungan yang sangat dekat dengan keberadaan mereka. Keberadaanku sebenarnya hanya memfasilitasi saja. Ku yakin niat membaca sebelumnya telah ada. Namun belum muncul, karena tidak adanya buku bacaan yang bisa mereka baca.

Polaku selalu begitu. Berangkat pagi hari untuk mengajar dan datang sore hari ke Rumah Baca untuk memberikan les atau sekedar memantau perkembangan mereka. Semangat mereka yang tidak ada habisnya, membuatku sungkan untuk bercerita tentang kerapuhan diriku akan cuaca yang semakin tidak bersahaja.

Les tambahan sebenarnya dimulai pukul empat, namun hampir semua anak kelas III sudah menyambangi rumahku dari pukul tiga. Mereka berdatangan lengkap dengan buku, pena, dan sepatu sekolah. Beberapa diantaranya malah mengenakan celana dan rok sekolah. Tidak lagi mempedulikan jeritan petir yang menyambar. Tidak lagi mempedulikan awan mendung setengah hujan. Mereka beramai-ramai menerobos semua alasan, yang menjadi penghalang pertemuan mereka dengan buku pelajaran. Kalau begini jadinya, alangkah teganya aku jika mengabaikan suara kecil anak-anak yang terus memanggil untuk belajar les tambahan.

Inilah obat mujarab yang telah mengobati rasa sakitku. Inilah pil penenang yang selalu menyelimuti hari-hariku. Tablet semangat yang dibalut rasa tulus ikhlas untuk senantiasa terus belajar.

Tak bisa kubayangkan apa jadinya, jika esok sudah pulang, kembali ke kandang. Lima bulan terlalu singkat untuk membantu menyelesaikan hal-hal yang seakan masih meradang.

Sebentar. Hidup ini ternyata memang hanya sebentar. Patahan ayat suci terus dilantunkan, dan hanya terdengar sebingar. Terhirup lama, namun hanya sedikit yang hinggap di kepala. Semua berkepakan, tersebar, entah bertebar hinggap dimana. Satu per satu kejadian telah dialami, beberapa sanggup untuk diselesaikan. Mentari telah ratusan kali terbit tenggelam. Angin terus bertiup entah sudah memutar berapa kali putaran. Pijaran bola lampu pada jam 6.00 tanpa disuruh secara reflek, telah bertebar dampingkan malam. Mengusir mentari yang sudah seharian memancar terangi alam kehidupan.

Berawal dari sepi yang geram di pojok gedung sekolah, kami suntuk mengeja aksara yang melintang dalam kertas-kertas di atas meja. Terjal huruf-hurufnya menghujam tanpa akhiran. Meradang sekedar menghalau gemetar apa bunyi makna isinya. Kemelut rindu membaca kata seakan rapuh di balik permainan setiap harinya. Aku tetap buta walau subuh datang membawa nafas waktu yang sudah cukup tersengal-sengal. Hingga di bingkai matamu, ku yakin ada cahaya yang akan berbinar tumbuh memancar. Walau itu bukan pelangi, tapi ku bersyukur hujan sudah mulai deras menyelimuti.

*Adaut, 22 Januari 2012. Memohon kepada Ilahi, semoga apa yang dilakoni bukan seperti hujan yang tidak meninggalkan seutas pelangi.


Cerita Lainnya

Lihat Semua