this's a part of my life, i call this; happyness
Rangga Septiyadi 3 Januari 2011
Seminggu terakhir kemarin adalah masa liburan bagi siswa-siswa SD daerah Rupat. Berbarengan juga dengan SD di kecamatan Bantan. Akhirnya, kami, saya dan teman-teman Pengajar Muda tim kabupaten Bengkalis menggunakan seminggu terakhir ini untuk liburan juga.
Awalnya, rencana liburan kami berbeda-beda. Intan dan Fatia sempat merencanakan liburan ke kepulauan Riau. Tika dan Nanda sempat berencana mengisinya dengan menjadi panitia MTQ di kecamatannya. Agus juga berencana untuk menghabiskannya di Rupat, mendalami interaksi dengan masyarakat di sana. Saya sendiri berencana untuk menghabiskannya di Bengkalis, desa Pematang Duku, desa lokasi penugasan saya pertama kali. Tapi akhirnya, kami semua memilih untuk memenuhi undangan orang tua Andika (Ngkong), salah seorang Pengajar Muda yang ditugaskan di Halmahera Selatan, untuk berlibur di Bukittinggi.
Tante Yul dan Om Syafril, begitu kami menyapa keduanya, profil duet orang tua yang kompak, peduli, dan hangat. Liburan kemarin adalah pengalaman pertama kami bertemu dengan keduanya. Saya pribadi bahkan belum pernah sekedar saling sapa lewat telepon atau sms. Kalau Wildan sudah beberapa kali. Dari beberapa kali kesempatan interaksi jarak jauh dengan tante Yul itulah Wildan benar-benar berusaha mempersuasi kami untuk ikut ke Bukittinggi.
Yup, beliau berdua memang sangat hangat. Sangat baik. Sangat peduli. Ah saya butuh yang lebih dari kata-kata itu untuk menggambarkan betapa bahagianya saya dengan pengalaman-pengalaman baru yang diberikakn oleh tante Yul dan om Syafril. Saya bukan ingin bercerita tentang senangnya saya karena bisa jalan-jalan di Pekanbaru dan Bukittinggi; Gramedia, Bestik Solo, RM Taragung, perpustakaan daerah Riau, benteng Fort de Kock, Kebun Binatang Bukittinggi, dan sebagainya. Kebahagiaan saya justru datang ketika bisa merasakan suasana pasar di pagi hari di Bukittinggi. Ya, sekedar pasar.
Jalannya agak rusak, sesekali tercium bau ayam yang hendak dijual, ada anjing-anjing yang berkeliaran bebas dan kadang menggonggongi kami yang berjalan kaki, serta jalanan sempit yang kalau ada sepeda motor mau lewat kami harus benar-benar menepi dulu. Tapi pengalaman itu sangat membahagiakan. Saling menyapa akrab saat bertemu di jalan. Suasana tawar menawar pasar yang sangat khas, diiringi dengan gelak tawa antar pedagang saat tak ada pembeli, kesederhanaan dalam diri warga desa ini, senyum lebar yang tulusnya benar-benar terasa, hingga saling bertanya akrab tentang siapa kami yang banyak memotret ini. Ah saya benar-benar susah menggambarkan apa yang menyeruak dalam hati saat itu. Benar-benar damai, benar-benar tentram, benar-benar terasa apa itu bahagia. Bahagia itu datang saat kau bisa saling berbagi keceriaan dengan yang lain. Dan ternyata, bukan saya saja yang merasakan sensasi itu. Teman-teman yang lain pun merasakan sensasi yang sama; sensasi bahagia di pasar itu. Rasa-rasanya, ada hati yang tertinggal di pasar itu, dalam suasana saling melempar senyum, dalam kebahagiaan yang lahir saat berbagi.
Tentang berbagi dengan tulus itu juga pelajaran yang aku dapat dari tante Yul dan Om Syafril. Sangat terasa kehangatan keduanya saat berbagi. Melihat cara mereka berinteraksi dengan tetangga serta keluarga, membuat aku semakin yakin bahwa kebahagiaan itu datang saat kita berbagi, bukan saat kita menerima. Menghapuskan kesusahan orang, bukan menambah kesusahan orang. Tulus, bukan berharap pamrih.
Kalau kata om, “cinta itu kan one way, satu arah...” Beri saja, jangan berharap pamrih.Saya sering mendengar kata-kata berbagi tanpa pamrih dan seterusnya. Tapi jika ia diucapkan oleh orang yang benar-benar mempraktikannya di depan mata kita, kemudian mengajak kita merasakan suasana berada di tengah orang-orang yang juga mempraktikannya, di situlah letak perbedaannya. Tiba-tiba kata-kata itu menjadi mantra yang luar biasa. Merembes, meresap, jatuh jauh ke dalam hati saya. Hingga saya semakin yakin bahwa kebahagiaan itu datang saat kau berbagi, bukan saat kau beregois ria dan tak peduli dengan orang di sekitarmu. Inilah kesimpulan yang membawa saya pada kesimpulan baru; rasa-rasanya saya jatuh cinta untuk tinggal di desa saat kembali ke tanah Jawa sana. Di mana ya? :D
“Siapa yang menyisipkan keceriaan ke dalam sebuah pernghuni rumah dari kaum Muslimin, Allah tidak rela pahal baginya kecuali surga.” (HR. Thabrany dari ‘Aisyah ra)Nb: tulisan yang diniatkan sejak di perjalanan pulang dari Bukittinggi, saat ditemani air mata haru bahagia... thanks God, alhamdulillaah :’)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda