info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Hardiknas (Keterdidikan Vs Keterpencilan)

Rahmat Andika 5 Mei 2011
Menjadi salah satu Pengajar Muda program Indonesia Mengajar adalah suatu kesempatan besar untuk mempelajari indonesia dari sisi pendidikan dan kedaerahan. Saat ini saya mengajar di sebuah desa bernama Pelita yang terletak di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku utara. Pelita terletak di sebuah pulau kecil bernama Mandioli, yang hanya dapat dicapai menggunakan perahu motor, dua kali seminggu, dari kota kabupaten selama kurang lebih dua jam perjalanan. Di Pelita, saya mengajar di sebuah Sekolah Dasar yang memiliki 200 siswa, 6 rombel, 5 ruang kelas, dan 5 orang guru termasuk kepala sekolah. Unik sekali mengajar di desa yang hampir semua warganya memiliki hubungan keluarga yang dekat. Bagi guru dan kepala sekolah yang semuanya adalah orang asli Pelita, mengajar anak-anak adalah benar-benar mengajar keponakan atau cucu sendiri. Banyak anak-anak luar biasa disini. Salah satunya Ismail. Anak yang duduk di bangku kelas 5 ini mampu “menyulap” dinamo mobil mainan menjadi sebuah mesin potong rumput mini, memperbaiki korek api gas yang batu apinya sudah habis, dan membuat miniatur gitar dari potongan kayu. Ada bakat engineering dan seni dalam diri anak yang ternyata belum lancar membaca ini. Lain lagi dengan Upi, anak kelas 2 SD, yang mampu menyelesaikan persoalan Matematika bilangan untuk kelas 5 lebih cepat dan tepat daripada anak kelas 5 sendiri. Dia bisa saja menjadi seorang ahli matematika. Ada lagi Asis, kelas 5 SD, dia mampu menirukan gerakan breakdance dengan sangat baik dari video yang saya putar langsung setelah melihat gerakan di dalam layar laptop. Kemampuan motorik Asis luar biasa. Anak-anak di desa Pelita, secara umum memiliki kemampuan motorik yang sangat baik. mereka terbiasa berburu di hutan, mencari ikan di laut, dan bermain semua permainan luar ruangan. Di kota kota-kota besar, anak-anak seperti Upi, Ismail, dan Asis biasanya akan langsung didorong dan difasilitasi untuk mengembangkan bakatnya. Sementara di Pelita, kesempatan adalah hal yang langka karena keterpencilannya. Keterbatasan teknologi karena belum adanya aliran listrik PLN nyata sekali membatasi informasi yang masuk dan keluar Pelita. Anak-anak, sehari-hari hanya melihat kehidupan masyarakat di desa. Profesi yang populer di mata anak-anak Pelita hanya ada empat : Petani, PNS (guru), Polisi, dan TNI. Jika ada kesempatan menonton televisi di malam hari mengandalkan listrik dari mesin diesel, anak-anak juga hanya akan melihat tontonan malam hari yang kurang nilai edukasinya dan berita –yang sebagian besar- buruk. Indonesia sebagai negara kepulauan memang punya tantangan sangat besar dalam mencapai pemerataan di berbagai bidang termasuk pendidikan. Pelita dan Labuha (kota kabupaten) yang hanya berjarak 2 jam perjalanan perahu motor saja, memiliki perberbedaan yang drastis baik dari sisi jumlah guru, kualitas guru, dan prasarana penunjang pendidikan. Dalam hal jumlah dan kualitas guru, ketidak merataan disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya kesejahteraan guru. Bukan cuma kesejahteraan kehidupan finansial supaya guru bisa lebih terkurangi beban pikirannya saat harus ditempatkan di daerah terpencil, tapi juga kesejahteraan ilmu pengetahuan yang harusnya bisa ditingkatkan dengan pelatihan dan berbagai metode upgrading lainnya. Hal lain, keterbatasan akses transportasi dan komunikasi juga menyebabkan berbagai praktek pengawasan satuan pendidikan oleh pihak berwenang-dalam hal ini Dinas Pendidikan- berjalan “setengah-setengah”. Mungkin ini juga akibat dari masalah pembenahan birokrasi di tataran birokrat yang tampak sangat njelimet. Keadaan demikian membuat sistem kontrol satuan pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hasilnya, peningkatan kualitas satuan-satuan pendidikan pun sulit terwujud. Ada gap yang begitu besar dalam penyelenggaraan pendidikan dasar di Indonesia. Sistem yang didesain sedemikian rupa dengan dasar filosofi yang melangit dan riset-riset komprehensif, nyatanya sangat sulit diimplementasikan merata di seluruh Indonesia. Semua instrumen teknis yang menjadi ujung tombak praktek pendidikan yang harusnya ada dan diterapkan di satuan pendidikan seperti Sekolah Dasar, belum diimbangi dengan penunjang seperti sistem kontrol dan sumber daya manusia yang mamadai. Di Sepanjang hamparan nusantara, pastilah banyak sekali desa-desa lain seperti pelita yang memiliki keterbatasan dalam banyak hal. Tapi naskah pembukaan UUD’45 yang kita pakai nyatanya sama. Bahkan anak-anak Pelita sudah menghafalnya di luar kepala. Republik ini punya pekerjaan rumah yang besar. Pembenahan sistem pendidikan Indonesia memang bukan perkara gampang. Permasalahannya sangat kompleks di semua lini. Birokrasi, sarana dan prasarana, guru, akses, dan masih banyak lagi. Jelas, butuh usaha kolektif republik ini untuk bisa membereskan permasalahan pendidikan Indonesia. Pemerintah pasti akan kewalahan jika harus mengerjakan semuanya sendirian, apalagi jika kita semua hanya sibuk menyalahkan pemerintah atas keadaan yang terjadi. Berada di Pelita, memperlihatkan saya bahwa banyak sekali alasan untuk tidak menyerah pada permasalahan bangsa ini. Setiap kali anak-anak penasaran dengan apa yang baru saya ceritakan tentang “dunia luar”, atau setiap kali mereka menyatakan niatnya untuk sekolah seperti pak guru, itu alasan untuk tetap optimis. Banyaknya rekan-rekan di luar sana yang juga berjuang untuk menuntaskan permasalahkan pendidikan, itu alasan untuk optimis. Pendiri Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar , Anies Baswedan, pernah berkata, “mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik.” Berarti juga, ketidak terdidikan anak-anak di republik ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang dimiliki republik ini. Anak-anak Nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya terbedakan oleh keadaan. Selamat Hari Pendidikan Nasional.

Cerita Lainnya

Lihat Semua