Childrens are......
Rahmat Andika 31 Januari 2011Di dalam kelas 5 pada pelajaran IPA. Saya sedang mengajarkan tentang gaya magnet. Hari itu pertemuan kedua untuk materi gaya magnet. Di pertemuan pertamanya, saya mengenalkan mereka sifat-sifat magnet. Lalu di pertemuan kedua ini saya ingin anak-anak membuat magnet dari sendok logam yang saya minta mereka bawa masing-masing. Sementara magnetnya saya yang sediakan. yang kurang saya prediksi adalah bahwa ternyata sendok + meja belajar adalah mainan yang sangat menarik bagi anak-anak kelas 5 ini. Begitu masuk pelajaran IPA dan saya minta mereka mengeluarkan sendok mereka masing-masing, terdengarlah riuh akibat pukulan-pukulan sendok ke meja. Coba kalian ambil sendok logam dan pukulkan yang kuat ke meja kayu, bayangkan bunyinya jika dilakukan bersama-sama oleh 24 anak.
Saya : memikirkan cara menenangkan keriuhan itu, lalu, “nih, coba ikuti ketukan bapak!” lalu mencontohkan sebuah irama ketukan.
Kelas 5 : mengikuti ketukan saya sekuat tenaga. Tapi tidak berhenti.
(Ttteeeeeeeeeeeeeeeet!! Wrong move pak guru..!!)
Saya : “ayo kita mulai membuat magnet! Siapa yang mau membuat magnet???”
Kelas 5 : tampak terlalu asik dengan sendok dan meja mereka. Terlebih lagi karena mereka adu kuat bunyi antar sesama mereka.
Saya : mulai kesal. “yang masih pukul-pukul meja, tidak dapat magnet ya...”
Kelas 5 : beberapa mulai berhenti. Beberapa masih lanjut dengan alat musik mereka.
Saya : berjalan ke belakang dan mendiamkan satu persatu sampai di meja Amalan, salah satu anak kelas 5.
Amalan : sesaat setelah saya pergi meninggalkan mejanya, “TOK TOK TOK TOKKK!!!”
Saya :berbalik badan, “Amalaan, diam sudah, kita mau membuat sendok itu menjadi magnet..”
Amalan : “saya pak guruuuu!!!” (artinya: iya pak guru!)
Saya : berbalik badan untuk kembali ke depan kelas. tiba-tiba..
Amalan : “TOK TOK TOK TOK TOK!!!!!!!”
Saya : kesal. Berbalik badan dan berencana memberikan hukuman pada Amalan dengan mengambil sendoknya dan tidak memberinya magnet. Tapi begitu melihat mukanya, instead of doing my plan, saya tertawa lemas melihat ekspresi Amalan. Ekspresi kaget dan takut karena sebenarnya dia mungkin tidak sengaja. Dia hanya begitu tertariknya dengan sendok dan meja sehingga dengan cepat melupakan bahwa saya baru saja habis memberinya teguran. Dan seolah-olah begitu saya balik akan memarahinya, dia kembali ingat bahwa saya melarangnya memukul-mukul meja dengan sendok. Something like : Uups..! i am so dead!
Akhirnya karena saya tertawa lemas melihat ekspresi Amalam, seluruh kelas ikut menertawakan Amalan (atau menertawakan saya) sambil kembali –secara otomatis- membuat riuh dengan sendok dan meja mereka masing-masing. Saya memutuskan untuk membiarkan mereka. Atau sebenarnya saya hanya terlalu lemas tertawa dengan tingkah Amalan. Lalu beberapa saat kelas riuh. Dan yang ajaib adalah tiba-tiba mereka berhenti dan bersahutan bilang, “ayo sudah pak guru, mari kitong bikin leper (sendok) ini jadi magnet. Bagaimana caranya pak guru??” and just like that, mereka akhirnya belajar membuat magnet. Hahaha, my childrens..:)
****
Di kelas 5 saya sudah membuat peraturan dengan anak-anak, “boleh bermain bola pada jam istirahat asal tidak mengantuk di jam terakhir”. Awalnya mereka pikir gampang, tapi minggu pertama cukup membuat mereka sadar bahwa jika mereka bermain bola sepanjang istirahat yang hanya 25 menit itu, pastilah mereka akan mengantuk pada jam terakhir. Dan saya selalu menagih janji mereka. Itu membuat mereka mulai mencari alternatif permainan lain. Saya selalu membawa gitar dan beberapa puzle yang saya miliki dan ternyata cukup bisa mengalihkan mereka dari bola pada jam istirahat.
Hari itu, kamis, minggu ketiga semester 2. Pagi hari di sekolah berjalan baik-baik saja. Apel pagi dengan keceriaan dan semangat anak-anak. Saya masuk kelas dengan perencanaan matang, RPP lengkap untuk pelajaran sampai jam terakhir. Matematika, Pkn, dan Bahasa Indonesia. Jam istirahat tiba. Anak-anak langsung bermain bola di lapangan sekolah. Saya tidak melarang mereka karena kami punya perjanjian soal ini. saya pikir mereka tidak akan bermain sekuat tenaga karena ingat janji mereka. Lalu saya bunyikan lonceng tanda istirahat berakhir. Saya masuk ke kelas.
Saya tunggu 10 menit, baru setengah kelas yang masuk, sisanya masih mencuci kaki di pancuran air depan sekolah. Saya biarkan. Setelah mereka masuk saya langsung memulaii pelajaran bahasa Indonesia dengan mengeluarkan semua energi saya siang itu yang harus bersaing dengan panasnya cuaca siang itu. Siang itu tentang mendengar cerita dan membaca. Saya mengajak mereka meninggalkan kursi masing-masing untuk berkumpul di depan kelas duduk di lantai membuat lingkaran. Mulai saya rasakan aura-aura mengantuk pada anak-anak. Tapi saya lanjut dengan lebih bersemangat. Saya mulai dengan membacakan dongeng. Anak kelas 5 sangat suka dongeng biasanya, tapi siang itu entah kenapa terlihat hanya sebagian anak yang antusias mendengarkan. Sisanya mulai ada yang berbaring, mengganggu temannya, dsb. Oke, saya pikir jika saya membaca dongeng dengan lebih ekspresif mereka akan tertarik. Mulailah saya mengeluarkan bunyi-buyian aneh sebagai ekspresi dari tokoh dalam dongeng. Hasilnya, tidak jauh berubah. Rencana saya siang itu adalah setelah saya membacakan satu atau dua dongeng, saya ingin mereka membaca dongeng secara bergantian. Seperti cerita saya di post sebelumnya, anak-anak Pelita cukup tertinggal dalam kemampuan baca tulis. Hanya beberapa orang di kelas 5 yang bisa membaca cepat dan lancar dengan intonasi tanda baca, sisanya biasanya tabrak lari tanda baca. Karena itu saya ingin mereka membaca dongeng ini.
Keadaan kelas makin tidak terkendali. Sebagian anak sudah pindah ke belakang kelas dan tidur. Siang itu saya memilih untuk tidak menegur mereka. Saya memilih untuk menyelesaikan satu putaran giliran membaca. Setelah semua akhirnya mendapat giliran membaca, saya merapikan barang-barang di meja saya di depan kelas. Sebelum keluar kelas saya mengingatkan mereka untuk membuat PR. “kitong pulang lagi pak?”, “bapak mau pulang, kalian bebas mau bikin apa sampai jam 12 nanti”. Siang itu masih jam 11.30 waktu saya meninggalkan kelas. Saya ingin memberikan sedikit shock therapy ke anak-anak yang ternyata cukup bekerja. Anak-anak merasakan ada yang tidak beres dan langsung saling berbisik-bisik. Begitu saya ke ruang guru untuk mengambil beberapa barang, mereka menghampiri saya. Cuma menghampiri, tidak bertanya apapun. Lalu saat saya pulang pun mereka mengikuti saya sampai rumah. Sebelum masuk rumah saya sekali lagi mengingatkan mereka makan siang di rumah dan mengerjakan PR. Saya sama sekali tidak marah, hanya ingin membuat anak-anak memikirkan kesalahan mereka.
Sekitar jam 2 siang sehabis saya makan siang, saya mengerjakan RPP sambil mendengarkan musik dari leptop di kamar. Di luar rumah saya bisa mendengar anak-anak kelas 5 berkumpul. Mereka masih membahas kejadian siang hari di sekolah. Saya bisa mendengar mereka dari dalam kamar. “ngana tuh, tidor di belakang tadi tuh”, “ih ngana tuh baribut, pahe!” mereka mulai saling menyalahkan satu sama lain mencari penyebab kejadian siang tadi. Sampai akhirnya saya tidak mendengar lagi suara mereka di luar. Tiba-tiba adik angkat saya, Eba, mengetuk pintu dan mengatakan anak-anak kelas 5 menunggu saya di depan. Saya keluar dan mereka berbaris rapi di teras. Abdurrahmanwahid, ketua kelasnya angkat bicara, “pak guru, kami mau minta maaf”. Hal yang sebenarnya tidak saya duga. Lalu saya tanya, “minta maaf kenapa?”, “kami sudah bikin pa guru marah..” Abdurrahman menjelaskan. Lalu saya tanya lagi dengan sekuat tenaga menahan sumringah karena sebenarnya saya bangga sekali pada mereka, “memang kalian bikin apa tadi?”. mereka memberikan jawaban yang sepertinya sudah mereka musyawarahkan. Mereka tahu kalau saya tidak suka saat mereka sudah mulai saling menyalahkan satu sama lain. “kami semua melanggar peraturan pak guru, semua peraturan kelas 5 yang kami buat sendiri”. Dan saya tidak tahan lagi menahan senyum, akhirnya saya bilang “iya sudah bapak tara marah.. bapak maafkan..”. Mereka juga bilang tidak akan mengulangi kesalahannya lagi. Saya sebenarnya bahkan tidak marah sedikitpun. Yang saya harapkan sebenarnya hanya mereka hadir esok harinya dan merasa harus bersikap lebih baik. But i got more. Siang itu saya senang sekali menemukan kalau anak-anak saya ternyata berani datang dan meminta maaf. I’m very proud of them..
Lalu setelah itu saya suruh mereka mengerjakan PR. Mereka bolehmengerjakan di rumah saya jika mereka mau. Lalu seperti biasa, sore itu rumah saya ramai dengan anak-anak yang mengerjakan PR dan bermain gitar, membaca buku-buku saya atau sekedar memperhatikan teman-temannya. Tiba-tiba salah seorang bertanya,“pak guru berarti tara jadi pulang ke Jakarta toh?” tanya Naim yang sepertinya termakan omongan teman-temannya..hahaha..
Saya pikir-pikir, sebenarnya dari kecil kita polos. Merasa salah, ya minta maaf. Jadi kalau sekarang ada diantara kita yang masih takut meminta maaf atas kesalahannya, jangan sebut dia kekanak-kanakan. Karena anak-anak ternyata tidak seperti itu. Itu tadi contohnya, anak-anak saya.
****
Di akhir minggu ketiga, saya menjanjikan kepada anak-anak mengajak mereka piknik ke Pulau Ambatu di seberang desa Pelita. Tentang pulau Ambatu juga pernah saya ceritakan di postingan sebelum ini di blog saya. Saya menjanjikan piknik itu dengan syarat anak-anak harus berlaku baik dan mengerjakan PR mereka. Dan karena 3 minggu berjalan cukup baik, saya memenuhi janji saya. Kami piknik ke Ambatu. Saya meminjam ketinting berbadan agak besar yang bisa membawa 24 anak-anak kelas 5.
Waktu berangkat, mesin ketinting kami bermasalah. Ternyata tanki bensin kemasukan air dan harus dikuras menggunakan selang kecil. Masalahnya, kami sudah terlanjur berada sekitar 200 m dari depan dermaga Pelita dan di ketinting tidak ada selang. Tiba-tiba Man, salah seorang anak yang sejak berangkat mengenakan life vest yang saya bawakan, menyeburkan diri dan berenang ke arah darat. Saya kaget dan menyuruhnya kembali. Dia hanya berteriak pada saya bahwa dia akan pulang mengambil selang. Not cool man!, mereka ini di bawah tanggungjawab saya. Bagaimana kalau Man tenggelam? Saya terus menyuruh Man kembali tapi dia tetap berenang. Anak-anak yang lain meyakinkan saya dengan mengatakan, “tenang pak guru, Man itu rajanya air masing”. Memang saya tahu Man ini sangat lincah di air. But still, 200 meter dari darat!
Saya tidak melepaskan pandangan dari Man. Jika terjadi sesuatu, saya tahu saya harus menyelamatkan Man. Saya bisa berenang, tapi berenang 200 meter di laut tanpa lifevest, nah ini saya belum pernah coba. Apalagi dalam keadaan panik. Tapi melihat Man mengenakan lifevest membuat saya sedikit tenang karena paling tidak dia akan tetap mengambang di permukaan. Singkat cerita, Man kembali membawa selang dan ketinting kami berhasil saya perbaiki. Man, “si raja air masin”.
Piknik selesai, anak-anak senang, kami bersiap untuk pulang. Saya mengingatkan anak-anak untuk memastikan barang-barangnya tidak tertinggal. Sebelum naik ke ketinting saya menghiting jumlah dan masih pas. setelah berjalan beberapa menit, Man tiba-tiba berdiri dan berteriak menunjuk ke arah Pulau Ambatu yang baru kami tinggalkan, “pak guru, ada orang tertinggal satu itu..!!!” saya kaget, membalik badan dan mencari orang yang Man maksud. Saya tidak melihat siapa-siapa. Tapi Man masih menunjuk-nunjuk, “itu pak guru..itu..!!”. lalu saya tanya, “siapa??”. Tiba-tiba Man tertawa diikuti anak-anak yang lain. Saya dikerjai! They really got me!
Saya sadar, Man mengerjai saya sepertinya dalam rangka mebalas. Memang beberapa kali saya senang mengerjai anak-anak dalam candaan-candaan seperti yang sering saya lakukan pada teman-teman saya. Dan siang itu saya melihat muka Man saat berhasil mengerjai saya, puas sekali, muka kemenangan, seperti muka saya saat berhasil mengerjai teman-teman saya dulu. Ngeselin parah! Hahahaha..they are adorable..
****
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda