Tari Lakadinding (1)

Raden Roro Cahya Wulandari 18 November 2011

Sejak pagi badanku memang sudah menunjukkan gejala protes dan berteriak-teriak meminta ku untuk istrirahat sejenak. Sakit kepala sebelah telah datang menyerang, ditambah tamu bulanan yang datang, praktis tubuhku makin lemah sehingga siang itu—sehabis pulang mengajar, mencuci pakaian kotor, dan makan siang—aku sempatkan mengistirahatkan tubuh di kamar. Entah jam berapa, suara yang telah aku kenali terdengar memanggil dari luar. Itu suara murid-muridku. Ah, aku hampir lupa hari ini aku berjanji untuk mulai latihan menari Lakadinding. Kemarin aku telah bicara dengan Mama Tua Muna, penduduk Urat yang terkenal pandai menari dan menguasai tarian tersebut. Aku berjanji latihan jam empat. Sore itu anak-anakku datang jam empat kurang lima belas menit. Ini pertanda bahwa mereka benar-benar ingin ikut menari. Saat itu Manaf dan Hamis—dua siswa preman musuh setiap guru—adalah salah dua dari murid-murid yang sudah datang awal, yang lain ada Mustofa, Hajrin, dan Herman. Semuanya murid laki-laki. Ini di luar dugaanku, karena ku pikir anak laki-laki akan malu untuk menari sehingga mereka tidak mau ikut.

“mama Muna mana ya?” tanyaku pada Julfiki yang juga ada di sana.

Ia menjawab “mama muna ada petik pala ke desa sebelah, ibu”. Waduh .,... kataku dalam hati. Lalu bagaimana aku harus melatih anak-anak ini menari Lakadinding? Poadahal aku sendiri tidak tahu tarian dan musiknya seperti apa. Aku sempat duduk bingung untuk berfikir sejenak, sambil bertanya basa-basi dengan murid-muridku itu. Hingga Hamis berkata

“Ibu, orang-orang besar sudah yang ikut, kalau anak-anak kecil begini kita tidak tahu gerakannya. Kita pasti tampilnya tidak bagus”.

Mendengar itu aku menjawab spontan “bisa hamis, pasti bisa bagus. Tunggu saja sebentar lagi”.

“Lalu tifa nya bagaimana itu?” tanya Manaf

“nanti ibu pinjamkan di Sanggram, desa sebelah”.

Lalu aku pun masuk kamar, bermaksud ganti celana panjang. Namun saat aku keluar, Manaf sudah menenteng ember cat 1 kg yang terbut dari plastik Ia langsung menepuki-nepuk kaleng itu dan memperlakukannya sebagai tifa. Aku melihat kreativitas di sana. Sungguh tak aku duga. Maka begitulah, kami akhirnya berlatih dengan peralatan seadanya. Pemuda setempat turut serta turun dan ikut mengajar anak-anak memukul tifa, bernyanyi, dan seorang ibu datang dengan suka rela menjadi pelatih. Seluruh anak, tanpa terkecuali tumpah ruah dalam pukulan tifa dan lantunan lagu.

“sulanawe .. sulanawe ... sulanawe kabaya wa dena, sulanawe”. Yang artinya kurang lebih “menari .. menari dengan kebaya”. Latihan sore itu dipenuhi penduduk yang ikut tergelak dalam euforia tari lakadinding. Kami menari, menari dan terus menari hingga senja pun tiba. Semua orang kembali ke rumah masing-masing. Murid-muridku menghambur datang. Dengan peluh membasahi kaus, mereka berkata

“ibu, besok latihan lagi ya”.

Di sana. Saya tak tahan untuk tidak terharu. Pada semangat mereka yang akan tampil di atas panggung untuk pertama kalinya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua