Harapan di Atas Bukit

Raden Roro Cahya Wulandari 3 September 2011

 

AWALAN

 

Namaku Lumba, kulalui hari-hariku dengan sangat sederhana, sesederhana melihat terbit-tenggelamnya matahari. Di tempat asalku setiap orang melalui hari dengan kesederhanaan. Kami bangun tidur di pagi hari dengan tujuan kembali tidur di malam hari. Semua berjalan dalam sebuah siklus yang sempurna. Tak banyak ragam dan warna dalam hidup kami. Semua menurut pada suratan takdir; Kami lahir, kami tumbuh, kami makan seadanya, kami sekolah seadanya, kami suatu saat akan menikah, kami beranak sebanyak kucing beranak, lalu menularkan kesederhanaan yang sama pada anak cucu kami. Sebuah kesederhanaan yang lama kelamaan menjadi pasung bagi cita-cita kami. Sebuah kebaikan yang menjelma menjadi racun bagi kami sendiri.

Aku tidak pernah benar-benar menyukai sekolah. Bagiku, pergi ke sekolah adalah berarti menyerahkan diri menjadi sasaran pukulan dan makian. Jika salah menjawab pertanyaan, aku kena pukul. Jika bicara sedikit, aku kena pukul. Anehnya, jika aku ditanya dan diam, aku juga kena pukul. Sungguh sekolah itu serba salah. Tidak berangkat pun, orang tua pasti pukul aku punya kepala. Jika tidak pukul, syukur alhamdulillah mereka hanya memakiku. Begitu saja sudah. Aku tidak tahu apa yang salah dari diriku, tapi setiap hari di sekolah, orang-orang dewasa bilang aku selalu salah. Mereka bilang aku ini anak bodoh. Yah, bisa jadi aku memang anak bodoh jadi mereka selalu marah padaku. Andai saja aku bisa bertanya pada mereka:bagaimana cara agar aku bisa pintar?.

Maka suatu hari aku bertanya pada Bapak Guru cara agar aku bisa pintar yang ia jawab dengan satu sabetan tongkat rotan. Hingga tiga hari memar di paha kananku akibar rotan itu tak kunjung hilang. Aku hanya bisa menangis sekencang-kencangnya. Aku menundukkan kepala sedalam-dalamnya, yang diikuti kata-kata Bapak Guru (kurang lebihnya seperti ini: “Dasar anak bodoh, tanya bagaimana supaya pintar. Belajar sudah! Begitu saja pakai tanya”).

Itu sudah. Aku tak pernah lagi menanyakan cara bagaimana agar aku bisa pintar. Aku juga jadi tak berani bicara apa-apa di kelas. Apapun. Bahkan untuk izin buang air kecil.

 

Pertama kalinya aku bisa bicara di dalam kelas adalah ketika dia datang ke kampung kami. Kampung Urat., satu setengah jam naik perahu Johnson dari Kota Fak-Fak-Papua Barat. Dia adalah  ibu guru baru di sekolahku. Aku tak ingat lagi hari apa dia datang. Yang aku ingat hanya perasaan hangat selaiknya disayangi orang dewasa. Aku ingat perasaan itu, karena tak banyak orang dewasa yang menyayangi aku.

***

Pagi hari aku berangkat ke sekolah mana kala ibu guru sudah mericau menunggu ku di depan pintu rumahku. Sungguh mata ini masih mengantuk dari menonton sinetron tadi malam. Rupanya ibu itu tak juga mau mengalah dan membiarkan aku tertidur dalam empuknya bantal guling. Tanpa ampun dia tunggui aku sambil tersenyum-senyum mencurigakan. Kenapa dia tersenyum saat guru ku yang lain memukulku? Pikirku dalam hati. Ah, tapi aku tak punya waktu banyak untuk berfikir, ibu guru sudah tersenyum semakin lebar sambil memanggil namaku. Ia menambahkan “Yuu” di akhir namaku, sebagaimana Ibu-ibu di daerah asalku memanggil anak-anaknya

“Lumbaa ... yuuu ... ayo nanti terlambat...”

“Iya Ibu, sedikit lagi” jawabku. Buru-buru aku berlarian keluar, sagu pok-pok pun belum lagi habis ku makan. Ibu guru melihatku, lututnya menekuk sedikit hingga pandangan matanya setingkat dengan pandangan mataku. Diam-diam aku takut. Mungkin ibu guru mau memukulku, selaiknya orang tua dan guru-guru ku yang lain. Dan tangan itu datang menghampiri kepalaku. Ku tutup mata ini dan bersiap menahan sakitnya pukulan yang sebentar lagi aku terima. Satu ... dua detik aku tunggu, tapi tak ada rasa sakit yang kurasakan. Sebaliknya, ada rasa hangat di kepalaku. Ibu ini sedang mengusap kepalaku. Aneh ... benar-benar aneh. Kenapa dia tidak memukulku dan justru mengelusku? Ku rasa ada yang salah dengan ibu guru satu ini.

“Begitu baik, besok lagi tidak perlu ibu tunggu yaa ... Lumba bisa berangkat sendiri ke sekolah. Oke?”. OKE. Itulah saat aku mendengar kata aneh itu untuk pertama kalinya. O-K-E ... Hmmm apa juga artinya itu?.

Ibu guru datang pada suatu pagi dengan perahu Johson. Siapa sangka bahwa ia akan tinggal lama di tempat asalku. Hari ketika ia datang adalah hari dimana aku sadar bahwa kampungku, tak lagi semata tentang diriku, Mamak, dan Bapak. Bahwa ada orang-orang lain di luar kampung ini. Bahwa ada banyak cerita dari jauh sana. Di seberang lautan itu dan dari balik hutan rimba itu. Tak akan aku lupakan pagi itu, saat ibu guru turun dari perahu dan menjabat tanganku.

“Halo. Siapa namamu?” tanyanya sambil tersenyum. Aku hanya bisa menatap wajahnya lekat-lekat. Ku tengok kiri dan kanan mencari pertolongan dari mamak dan bapak, namun mereka tak ku temukan. Aku takut. Aku takut dengan kulitnya yang lebih terang dari kulitku. Aku takut pada rambutnya yang lurus dan bulu matanya yang pendek. Ia sangat berbeda dari ku, dan karenanya aku takut. Ia tak juga menyerah dan mengusap kepalaku. “Anak pintar, namanya siapa?”.

“Lumba” bisikku pelan akhirnya. Ia tergelak mendengar jawabanku. Aku heran: memang ada yang aneh ya dengan namaku?

            Ia akan memulai pelajaran pagi, setiap pagi dengan menyuruh kami berbaris rapih sebelum maasuk kelas. Hari itu, hari pertama ia mengajar, ia memakai baju batik bewarna merah. Rambutnya panjang dan ia biarkan saja tergerai. Tidak seperti kami kebanyakan, ibu guru berambut lurus. Kulitnya pun agak terang. Jika dibandingkan denganku, tentunya aku jadi terlihat sangat gelap. Ia bersepatu. Jika ia berjalan kau bisa mendengar bunyi “ctok ... ctok” dari sepatunya. Hari itu aku baris di bagian depan. Diam diam aku palingkan wajahku tiap kali ia melihat ke arahku. Seringnya aku sembunyikan wajahku setiap kali ia menoleh atau tak sengaja melihat ke arahku. Menurutmu, apakah dia tahu aku sering memperhatikannya? Habisnya, dia begitu aneh. Begitu berbeda dari ku. Tidak hanya wajahnya saja, cara bicaranya pun aneh.

“Lumba, jangan kau melamun. Masuk kelas sudah” tiba-tiba lamunanku teralihkan oleh suara ibu guru. Aku tersenyum malu. Teman-teman sekelasku sudah mendorong-dorong supaya aku lekas masuk kelas.

            Hari itu ia mengajak kami keluar kelas. Ia membagikan kertas dan pensil, lalu berkeliling berbaris membentuk kereta. K-E-R-E-T-A. Di tempat asalku tidak ada kereta. Mendengarnya pun aku baru sekali ini. Kata ibu guru kereta itu seperti mobil, seperti motor, dan seperti juga perahu. Ia membawa orang dari satu tempat ke tempat yang lain. Namun tidak seperti motor dan mobil yang bentuknya pendek, kereta bentuknya panjang. Ibu menggambarkan kereta di papan tulis. Bagiku, kereta mirip ular.

            Sebagai anak yang termasuk paling pendek di kelas empat, aku ada di barisan terdepan kereta. Di depanku ada ibu guru yang mengarahkan kemanapun kami harus pergi. Kereta kami pertama berhenti di bawah pohon besar di pekarangan sekolah. Namanya pohon mangga.

“Apa warna buah mangga?” tanya ibu guru. Seluruh kereta menjadi ribut. Ada yang bilang hijau, kuning, hitam, merah, dan lain-lain. Dan aku, menjawab dengan sangat lantang: “Mangga enak!” yang langsung diikuti gelak tawa seluruh isi kereta. Ibu guru terdiam, tersenyum simpul, lalu menatapku ramah.

“warna ... lumba, bukan rasa. Iya, rasanya enak ... tapi warna buahnya apa?” tanya ibu guru kembali. Aku menengok kiri dan kanan, mencoba mencari jawaban dari teman-teman. Ishak, murid paling pandai di kelas, berbisik “hijau”. Maka lalu aku katakan “Hijau?” yang lebih terdengar sebagai pertanyaan dan bukan jawaban.

“Iya, ada yang hijau...ada juga yang kuning ... macam-macam yaa” jawab ibu guru. Aku menghela nafas lega lalu mengedipkan sebelah mata pada Ishak. Ia balas dengan senyumnya.

            Hari demi hari selama satu tahun Ibu guru mengajari kami semua hal-hal yang tadinya kami tidak tahu. Ia ajak kami bertualang dan menemukan hal-hal menyenangkan. Jika kami salah menjawab, ia berikan kami senyuman dan perkataan seperti “Terimakasih, Lumba sudah berani menjawab”. Jika kami menjawab dengan benar, ia akan ajak seisi kelas memberikan tepuk tangan. Meski terkadang ia jatuh sakit dan berwajah sangat pucat, ibu guru selalu datang ke sekolah. Aku jadi malu ketika suatu kali aku bangun agak siang dan malas sekali berangkat ke sekolah.  Waktu itu itu guru berjalan lewat depan rumahku dengan wajah yang pucat dan bersin-bersin. Badannya tampak lemas, namun ia tetap berjalan menaiki tangga yang tinggi itu hingga sampai ke sekolah kami di atas bukit. Melihat itu, buru-buru aku menyambar seragam sekolahku dan berlari menyusulnya dari belakang: “Ibu Guru!” , sapaku pagi itu. Ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum kecil. “Halo Lumba. Mari cepat, bel sudah mau berbunyi sebentar lagi”.

***

BERSAMBUNG


Cerita Lainnya

Lihat Semua