Hujan dan Damai

Pipit Indrawati 5 Januari 2011

"Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony." Mahatma Gandhi

Awan gelap menaungi desa Tengganau di siang hari yang biasanya terik seperti gurun pasir. Bel sekolah sudah berbunyi dan anak-anak sudah bergegas pulang. Oplet yang setiap hari menjadi langganan jemputanpun sudah meninggalkan sekolah sedari tadi, tahu bahwa akan turun hujan.

Angin sejuk berhembus damai, tiba-tiba saya memutuskan. Mengapa tidak mencoba pulang dengan berjalan kaki dan menikmati cuaca yang sejuk dan teduh ini. Awan hitam masih terlihat jauh menggantung di langit, hujan akan turun setelah saya tiba dirumah nanti.

Saya melangkahkan kaki berjalan menyusuri jalan sepanjang dua kilometer menuju rumah. Barisan pohon-pohon sawit di kanan dan kiri jalan menggoda saya dengan misteri akan apa yang ada di dalam sana. Mungkin tidak apa-apa jika saya suatu hari, minggu pagi misalnya, berjalan kaki memasuki kerimbunan pohon-pohon sawit ini. Berjalan sendiri dan mengamati apa dan siapa yang sedang duduk-duduk diam atau sibuk mengais tanah ditengah-tengah kumpulan pepohonan sawit ini.

Jauh dan semakin jauh pikiran saya berkelana. Mungkin saya bisa menulis cerita mengenai seorang gadis yang tersesat di dalam hutan sawit dan bertemu dengan misteri-misteri aneh yang membuatnya terus bertahan dalam hutan. Mungkin juga sang tokoh utama bisa saya jadikan sebagai seorang yang berhalusinasi yang memiliki keunikan psychologis tersendiri. Sibuk saya membayangkan dan berkelana menebak-nebak misteri hutan sawit saat gemuruh petir dan hujan turun kemudian.

It was just great jika saja saya tidak sedang membawa dua buku paket IPA kelas 4 dan kelas 5, juga tidak sedang membawa gulungan karton yang salah satunya adalah denah kelas 1 yang akan dipasang besok.

Saya mempercepat laju kaki sambil menutupi tas dan buku-buku serta karton tersebut yang tentunya sia-sia dengan hujan selebat ini. Hutan sawit yang tadinya nampak damai dan bersahabat, sekarang terasa mencekam.

Beberapa kali ada kendaraan, motor dan truk, yang lewat, namun tidak satupun dari mereka yang menawarkan tumpangan. Antara berharap diberi tumpangan dan tidak dengan alasan ingin menikmati berjalan kaki dibawah hujan, tapi tidak dengan buku-buku ini. Dan lagi, pengemudi truk adalah laki-laki yang tidak dikenal dan belum tentu merupakan warga desa.

Handphone saya berbunyi beberapa kali dan saya bisa memastikan bahwa itu adalah ibu dirumah yang khawatir. Keluarga saya melarang saya untuk pulang jalan kaki karena jauh dan panas ditambah isu akan penculi yang mengambil organ-organ dalam korbanya.

Saya memutuskan untuk berteduh dibawah salah satu pohon sawit untuk mengangkat telepon, meminta ibu untuk tidak khawatir.

Dibelakang tempat saya berteduh ada sebuah rumah kayu yang sudah lama tidak berpenghuni. Rumah yang selalu saya perhatikan setiap berangkat dan pulang sekolah. Bertanya-tanya mengapa rumah ini tidak berpenghuni. Sempat pikiran saya menipu beberapa kali dengan bayangan bahwa ada seseorang sedang berdiri di pintu rumah tersebut.

Ketika hujan nampak mulai reda, saya melanjutkan berjalan pulang. Hanya beberapa meter lagi dan saya sudah sampai di rumah. Dari kejauhan dua orang anak laki-laki, yang bersekolah di SDN Tengganau, berlari menghampiri saya yang basah kuyup. Well, I’m their teacher and I’m wet, and I bring wet books and wet papers. Entah seperti apa kelihatannya. Konyol atau bagaimana. Saya menahan senyum malu dan lucu terhadap diri sendiri saat melewati beberapa warga desa yang sedang duduk duduk diberanda rumah dan melihat saya basah kuyup.

Di pintu rumah, ibu dan keluarga saya sudah menunggu dengan cemas, saya pun memberikan sebuah cengiran :P dan bergegas mengeringkan badan.

Overall, saya senang dengan perjalanan hari ini. Berjalan kaki dari sekolah dengan jarak kurang lebih dua hingga tiga kilo, dan kehujanan. If there’s tomorrow, tentunya saya akan membawa payung, topi, sandal jepit, dan air minum. We can’t tell when the weather change.


Cerita Lainnya

Lihat Semua