Surat dari Pengajar untuk “Yang digugu dan ditiru”: Sebuah Refleksi
Pascalis Jiwandono 2 Mei 2015Salam untuk semua guru-guru hebat yang ada di seluruh wilayah negeri ini. Tulisan ini hanyalah refleksi dari pengalamanku yang seumur jagung menjadi pengajar di daerah pedalaman. Aku belum pantas disebut guru, sehingga tulisan ini tidak representatif dengan tulisan guru. Guru adalah gelar kehormatan bagi mereka yang mengabdikan hidupnya untuk pendidikan.Pengalaman menjadi pengajar membuatku sadar bahwa profesi guru merupakan profesi yang muliadan tidak otomatis orang yang berdiri di depan kelas kemudian disebut guru, meskipun ia memiliki latar pendidikan sebagai sarjana pendidikan. Mungkin untuk mendapatkannya harus melalui tahapan tertentu, mungkin perlu seleksi yang ketat, dan memiliki kriteria tertentu.Layaknya barang yang bernilai tinggi, ia tidakdijual murah.Jika kita sependapat, maka sepertinya perlu ada perbaikan dalam sistem perekrutan profesi guru.
Pengalaman menjadi pengajar di daerah pedalaman yang minim fasilitas membuatku punya banyak kesempatan untuk berrefleksi. Suatu ketika, sepulang sekolah, setelah mengajar, aku begitu lelah sekali, aku memutuskan untuk ke belakang rumahku. Aku duduk memandangi rawa yang ditumbuhi rerumputansambil merasakan angin yang berhembus dari balik hutan sagu. Saat itu aku teringat akan cerita salah seorang temanku yang ditempatkan diSD Inpres Offie, Kampung Offie, Distrik Teluk Patipi, Fakfak, Papua Barat. Kondisi sekolahnya saat ini maju dengan adanya sosok kepala sekolah yang menginspirasi. Kepala Sekolah tersebut bernama Wa Fatimah. Keadaan sekolahnya yang baik tersebut mendorong adanya perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakatsetempat. Tak lama setelah sekolahnyamendapatkan akreditasi kemudian kampungnya pun mendapatkan penghargaan sebagai kampung percontohan. Adanya kemajuan di sekolah mendorong perbaikan sosial di masyarakat wilayah itu.Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran para guru dan kepala sekolahnya.Kemudian saat itu aku berpikir bahwa guru merupakan salah satu aktor penting dalam pembangunan di masyarakat. Peran guru melekat sebagai profesi dan sikap hidup yang menjadi teladan di mana pun ia berada.
Jika membaca atau mendengar cerita-cerita tentang para filsuf besar yang ada di dunia, mulai dari filsuf zaman klasik seperti Thales hingga filsuf zaman modern seperti Imanuel Kant, maka yang terlintas dipikiran adalah eternity atau keabadian. Mereka semua menjadi bagian dari inspirasi setiap kita yang ingin hidup seribu tahun lagi, seperti kata Chairil Anwar. Namun sepertinya keabadian hidup mereka bukan terletak pada usia biologisnya melainkan sikap, perilaku hidup dan pikiran mereka.
Tak perlu diragukan sikap mereka yang tegas, berintegritas, berilmu dan bertanggung jawab. Sebut saja kriteria-kriteria tersebut merupakan bagian dari sikap ideal untuk mereka yang patut digugu dan ditiru atau bahasa yang lebih familiar kita sebut sebagai teladan. Mereka pun pada zamannya menyandang gelar kehormatan sebagai guru. Mungkin zaman itu belum ada pemberian Gelar Guru Teladan, seperti yang ada sekarang ini, karena guru sudah sepantasnya menjadi teladan. Sebut saja salah satu tokoh inspiratif zaman klasik, Socrates. Socrates adalah seorang guru. Setiap kali Socrates mengajarkan pengetahuannya, Socrates mengajar dengan tulus tanpa memungut bayaran kepada murid-muridnya. Cara mengajarnya pun begitu menarik yakni berdiskusi. Namun kaum Shopis menuduh dirinya memberikan ajaran yang bertentangan dengan nilai moral. Ajarannya dianggap merusak kaum muda. Kemudian ia ditangkap dan diadili lalu dihukum mati dengan minum racun cemara. Socrates bisa saja lepas dari hukuman mati jika ia setuju keluar dari Athena. Namun Socrates memilih untuk mempertahankan kebenaran yang ia yakini dibandingkan mempertahankan nyawanya.
Kita rindu akan sosok guru, sosok yang digugu atau dipercaya dan ditiru atau diteladani. Guru bukanlah sebatas profesi, yang hanya terdapat dalam dunia pendidikan di ruang sekolah. Guru haruslah dipandang sebagai sikap hidup sehingga setiap orang bisa memilikinya. Oleh sebab itu sosok-sosok guru harusnya hadir mulai dari pranata sosial kecil di masyarakat yakni keluarga hingga Pemerintahan. Orang tua dalam keluarga menjadi guru bagi anak-anaknya dan para pemimpin di negara ini menjadi guru bagi rakyatnya. Semua pihak punya tanggung jawab menjadi guru, mengambil peran dalam proses penanaman nilai kehidupan.
Cerminan kehidupan kita saat ini begitu banyak diberitakan media tentang hal-hal negatif, mulai dari kasus korupsi para pejabat negara, gosip para artis, kasus prostitusi di kalangan pelajar hingga kasus begal di masyarakat. Semoga semua hal negatif tersebut tidak diserap sebagai nilai yang (dianggap) baik oleh anak-anak yang melihatnya. Kesalahan yang berulang dan terus-menerus (dilihat) akan dianggap sebagai hal yang benar; semoga saja bukan hal tersebut yang akan ikuti oleh setiap mereka yang melihatnya.
Kesadaran bahwa setiap kita mengambil peran sebagai guru masih perlu dibangun sebagai suatu perspektif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila kesadaran bahwa setiap kita bisa menjadi guru dalam arti sikap, maka pendidikan negara kita akan menjadi gerakan bersama, gerakan masyarakat. Peran media menjadi guru informasi yang memberitakan informasi dan hiburan yang sehat sehingga masyarakat mempunyai pandangan positif dan harapan yang optimis. Para penegak hukum menjadi guru penegakan hukum sehingga lambang Themis, dewi keadilan yang menutup mata dengan salah satu tangannya mengangkat timbangan dan tangan yang lain memegang pedang yang tajam, tidak hanya menjadi simbol belaka. Para politisi menjadi guru politik, yang menunjukkan kepada rakyat cara mendapatkan kekuasaan dengan mekanisme jujur. Para pemimpin Lembaga Pemerintahan dan para wakil rakyat menjadi guru kesejahteraan, yang menunjukkan kepada rakyat bahwa negara kesejahteraan bukan hanya ada dalam konsep, teori ilmu negara, serta tulisan dalam Undang-Undang Dasar. Layaknya seorang guru di dalam kelas, akhirnya setiap orang dipanggil membangun keteladanan hidup dalam pegabdian di tempat kerja. Oleh sebab itu Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei menjadi peringatan untuk semua masyarakat, semua kalangan, dan bukan lagi dilihat sebagai acara seremonial oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama para pegawainya.
Sistem pendidikan tidak berdiri sendiri sebagai suatu bagian, namun berkaitan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sosok guru dalam profesi pendidikan berpijak dua sisi kehidupan secara langsung. Mereka berhadapan dengan dunia idea dan dunia realita. Mereka dituntut untuk mampu membumikan hal-hal yang ideal sehingga tidak mengawang-awang. Perlu pengetahuan yang baik untuk diajarkan. Perlu integritas yang besar untuk melakukan hal yang ia katakan. Perlu kesadaran yang kuat untuk menjalankan nilai kehidupan yang ia sampaikan. Jika hal yang ideal dan nilai yang menjadi penonggak kehidupan merupakan kebutuhan dasar manusia, maka ia harus menjadi yang terdepan untuk melaksanakannya. “Mengajar adalah memimpin, minimal untuk orang-orang yang ia didik”, seperti itulah kata-kata Ir. Soekarno yang pernah kudengar. Masyarakat pun masih menganggap bahwa sosok guru menjadi cerminan perilaku hidup. Guru adalah pemimpin. Tanpa disadari perilakunya menentukan nasib bangsa di masa akan datang. Ia memimpin pembentukan pengetahuan dan karakter generasi bangsa. Disadari atau tidak, mereka adalah arsitektur manusia.
Aku sangat kagum dengan sosok guru yang tulus mengabdi di mana pun ia ditugaskan. Biasanya setelah purna tugas, mereka menjadi bagian cerita-cerita hidup di masyakatnya. Layaknya para filsuf besar, kisah-kisah hidup mereka diceritakan dari generasi ke generasi. Aku pernah ke suatu kampung, namanya Kampung Arguni yang masih merupakan bagian wilayah Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Masyarakat setempat begitu antusias menceritakan kisah seorang mantan Kepala Sekolah yang bernama Hofni Tigtigweria. Kisah Bapak Hofni yang begitu bersemangat mendorong murid-muridnya untuk mengaji, meskipun beliau adalah seorang Nasrani, membuat masyarakat begitu mengaguminya. Kepemimpinan beliau di SD Negeri Arguni membuat anak-anak disiplin dan rajin belajar. Sikapnya yang suka bermasyarakat membuatnya selalu dikenang. Bapak Hofni masih hidup dalam pikiran masyarakat Arguni meskipun ia sekarang sudah tidak ada.
Bapak dan Ibu Guru, serta setiap orang yang mengabdikan dirinya untuk pendidikan di seluruh wilayah negeri ini, kuucapakan selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional. Panggilan hidup menjadi seorang guru dengan tulus mengabdi merupakan tiang penyangga kehidupan pembangunan sumber daya manusia di negara ini. Kesadaran akan pentingnya kehadiran karya Bapak dan Ibu Guru membuat keyakinan bahwa Ibu Pertiwi akan terus menghasilkan putra-putri terbaiknya yang mampu bersaing dalam skala global. Terima kasih buat pengabdian dan setiap peluh yang keluar dalam karyamu . Salam. Semesta memberkati.
Bomberay, 30 April 2015
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda