Langit yang Memerah

Parafitra Fidiasari 25 April 2014

ditulis pada 6 Juli 2013

Terdengar suara orang berteriak - teriak dan rumah yang bergetar, aku masih di dalam kelambu menikmati istirahat malamku. Hujan deras sedikit meleburkan suara bising di luar, namun aku tetap saja terusik dan bertannya pada Diana yang tidur di sebelahku, "Kenapa Di? Ada apa berisik - berisik?" "Bangun saja, Bu. Kuit Kuit (bangun bangun) !!" Diana menjawab dengan nada tergesa - gesa dan panik. Dia pasti lebih tau apa yang diteriakkan orang - orang, sedangkan aku hanya mengira itu orang - orang yang pulang dari nyuluh (menangkap ikan) di subuh hari. Kami segera berlari ke depan rumah tak lupa aku membawa emergency lamp ku yang cukup terang itu, kagetlah aku warna langit sudah memerah. Bara api berterbangan di langit, terkadang terlihat jilatan api menyambar - nyambar, benarlah ada kebakaran di kampung Hulu yang jaraknya sekitar 100m dari rumah umak dan apak angkatku.

Bapak, umak, Kak Kiki, dan Dadang sudah duduk di teras rumah memandangi langit yang memerah, sudah dapat dipastikan Bang Parman pasti berada di rumah yang kebakaran itu untuk bantu memadamkan api. Beberapa orang memakai capingnya dan ikut berhamburan ke kampung hulu. Umak dan Apak hanya menyuruhku duduk di depan saja, tapi hati nurani ini memberontak. Aku merasa harus melakukan sesuatu untuk kampung baruku ini, cobalah aku tenangkan pikirku ini, kemudian aku teringat ini sudah pukul empat lebih dan segeralah aku mengambil air wudhu untuk selanjutny sholat Subuh. Lepas sholat Subuh aku lekas keluar lagi, menghampiri HP ku yang tergantung di antena penangkap sinyal, jujur saat itu aku panik, yang aku pikirkan menghubungi koordinatorku yang sedang berada di ibu kota kabupaten. Dua kali teleponku gagal menyambung, sampai akhirnya aku hanya mengirimkan pesan singkat yang berisi kabar ada kebakaran di desa dan aku tak tahu harus membantu apa. Tidak begitu membantu sih, tapi setidaknya ada orang yang dapat mengurangi rasa panikku.

Saat kembali ke teras, kulihat kakak menuju ke Hulu. Kesempatan ini tak kusia - siakan, aku langsung pamit kepada umak dan apak untuk ikut kak Kiki. Tapi umak menyuruhku memakai jas hujan terlebih dahulu, begitulah umak yang selalu siap sedia untuk anak angkatnya ini. Gertak yang basah membuat langkahku sedikit terhambat, sudah terlihat kerumunan orang di dekat rumah yang terbakar. Saat aku mendekat rumah sudah hampir habis terlalap api, dapur rumah sebelah kirinya juga sudah menjadi arang, sedangkan jendela - jendela rumah samping kanan juga sudah lepas karena terbakar. Bagian belakang rumah masih terkepung api besar, sayangnya warga masih terfokus dengan bagian depan.

Aku merasa tak berguna sama sekali di sini, mau menenangkan warga pun juga masih terhambat masalah bahasa, mau ikut membantu juga sudah banyak orang, mau mendekati korban pun aku belum mengenal siapa penghuni rumah itu, mau menyarankan menggunakan kasur basah juga khawatir dianggap sok tahu. Sudahlah, aku ikut saja berdiri berkerumun namun dengan pandangan menyapu anak - anak yang berada di sekitar situ. Mereka nampak ketakutan, aku berusaha fokus pada anak - anak saja. Kukumpulkan mereka menjauh dari kerumunan karena beberapa dari mereka sudah mulai terbawa emosi korban dan ikut menangis. Aku pasrahkan anak - anak itu pada anak - anak SMP yang mengikutiku, beruntunglah aku memiliki Diana, Dina, Nida, Lina, Oyong , dan yang lainnya.

Perhatianku teralih pada seorang anak laki - laki sekitar 16 tahun yang memeluk umak korban kebakaran. Tangisnya tak henti - henti ternyata dia adalah anak bungsu dari korban kebakaran yang barus saja pulang dari ngaret di hutan dekat danau. Arsad, atau yang sering disapa Rudi, dia sedang membantu pamannya ngaret untuk mencari tambahan biaya sekolahnya. Kebetulan dia baru saja lulus SMP dan akan bersekolah di SMK 1 Putussibau. Tangisnya yang membuncah itu karena mengkhawatirkan tak dapat melanjutkan sekolah, pasalnya ijazah, kartu pendaftaran, uang masuk sekolah, seragam, buku - buku, dan perlengkapan sekolah lainnya habis terbakar. Mungkin dengan moment seperti ini aku dapat lebih berguna, kudekati Rui dan umaknya. Cuma bisa kuelus pundaknya dan umaknya, aku bisikkan lafal istighfar berkali - kali.

Sampai akhirnya warga dan umak Rudi mulai bersaut - sautan menjelaskan masalah masuk sekolah dan Rudi yang sudah tak punya Bapak sejak kecil. "Bu, bisa sekolah ndak kalau ndak ada ijazah? Rudi sama umaknya hawati ndak bisa masuk sekolah," entah siapa yang berkata seperti itu. Suara keluhan itu terus menggema dengan logat dan suara keras yang sangat khas. "Tenang Rudi, tarik nafas, baca istighfar. Ibu pasti bantu. Bu Vivi, Bu Neti juga akan bantu," hanya kata - kata semacam itu yang bisa keluar dari mulutku sambil menahan keluar air mata dengan pengucapan yang sedikit bergetar. Rudi mulai bisa tenang setelah umaknya menjamin bahwa aku bisa membantunya. Bajunya basah kena hujan, matanya sembam, suaranya parau, dia melangkah ke dalam rumah tetangganya. Mungkin Rudi ingin sendiri menenangkan hati.

Di luar suara keluarga Rudi yang juga tinggal di rumah yang terbakar tersebut saling menyalahkan, tak tahu pasti apa yang mereka ucapkan, tapi aku yakin kata - kata itu mem-flash back kejadian jatuhnya pelita yang menyamnbar jerigen minyak, genset, 3 buah tabung LPG 3kg, dan beberapa alat yang berisi minyak. Hari mulai terang, dari tadi kami hanya mengandalkan penerangan dari head lamp dan sinar bulan yang terutup awan karena listrik hanya menyala pukul 17.30 - 22.00 saja.

Hujan terus membasahi gertak dan seluruh isi kampung menambah volume air sungai yang sedang disedot untuk memadamkan api. Lama - kelamaan api mulai padam disertai dengan munculnya Sang Surya. Sebenarnya dari awal aku terpikir membawa kameraku untuk mengabadikan kejadian tersebut, namun niat itu kuurungkan karena alasan rasionalitas rasa simpati dan empati. Ternyata pemikiranku itu berkebalikan dengan warga, mereka menanyakan apakah aku sudah mengabadikan kebakaran tadi. Sedikit terkejut memang, tapi aku juga tak mau melewatkan kejadian itu begitu saja. Cepat saja Diana menemaniku mengambil kameraku, namun aku membiarkan anak - anak saja yang mengabadikan peristiwa ini agar foto yang dihasilkan semakin "berbicara". Tak hanya itu, dua anak secara bergantian melaporkan proses kejadian kebakaran dengan direkam dalam kamera. Dina dan Nida menjadi reporter, Diana sebagai kameramen, dan Kak Kiki dengan setia memayungi kamera. Kubiarkan mereka menggunakan kamera sesuka mereka, aku kembali mendekati Rudi masuk ke rumah tetangga.

Umak memanggilku untuk duduk di sebelah umak Rudi. "Sinilah, Ras. Bilang sama umak Rudi kalau nak bantu dia. Bantu urus ijazah abang Rudi juga, bantu masuk sekolah. Mereka mau berjuang, cuma butuh diyakinkan," umak terlihat begitu bijaksana. Aku duduk di antara umak dan umak Rudi sambil mengusap kaki umak Rudi. Beberapa saat setelah semua terdiam, aku mulai angkat bicara, "Insyaallah, Mak. Saya akan bantu." "Rudi bisa sekolah kan, Bu? Dia itu mau berjuang buat sekolah, tapi kenapa ijazahnya terbakar?" "Insyaallah bisa, pasti bisa, ini bukan kehendak kita semua. Di luar kendali kita sebagai manusia. Ikhlaskan saja Mak yang sudah hilang, insyaallah dapat gantinya. Nanak (nanti) saya temani Rudi ke Putussibau pas masuk sekolah pertama," begitulah berkali - kali percakapan semacam itu terulang karena umak Rudi terbawa emosi dan teriakan - teriakan penyesalan serta menyalahkan satu sama lain dari penghuni rumah.

Umak juga terus menenangkan dan berusaha mengalihkan percakapan ke arah langkah selanjutnya dan bukan flash back. Rudi terlihat begitu tenang, aku yakin dia sudah punya semangat kembali. Kami mulai berdoa dipimpin oleh Dian, terlihat linangan air mata dari orang - orang di dalam ruangan berukuran sekitar 4 x 4 m. Selesai berdoa, tuan rumah menyuguhkan kopi hangat dan roti.

Aku terenyuh dengan atmosfer kekeluargaan di sini, tanpa dikomando seluruh warga turun tangan. Anak - anak kecilpun membantu mengankat barang - barang yang diungsikan, ibu - ibu sigap di dapur dan menenangkan korban dengan menawarkan tempat tinggal serta baju pinjaman, bapak - bapak terus memastikan api sudah benar - benar padam dan memilah - milah barang yang masih bisa terselematkan seperti emas. Umak yang sudah kembali ke rumah tiba - tiba kembali lagi dan meneriakku, HP ku berbunyi terus. Aku bergegas pulang untuk mengecek HP ku, benar saja beberapa panggilan tak terjawab dan sms dari koordinatorku. Dia menyarankan untuk membuat surat pengantar dari Kepala Desa. Kak Kiki yang mendengar percakapanku, langsung menawariku menemui Kades yang sedang berkumpul bersama beberapa sesepuh desa di rumah Bibi. Kedatanganku disambut hangat, kami mengobrol sambil ngopi membicarakan langkah selanjutnya. Dari masalah surat - surat, sekolah Rudi, sampai laporan ke Camat ataupun Polsek serta pengumpulan sumbangan. Begitu cepat respon mereka, sungguh terharu aku dengan perilaku warga pinggir sungai Palin ini. Aku memang baru dua minggu di sini, tapi aku sudah merasa menjadi warga di sini. Bukan pendatang, tapi bagian dari masyarakat Nanga Lauk.


Cerita Lainnya

Lihat Semua