info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Semangat Lebak!!!

Nur Wahidah 20 Juni 2011
Udara subuh hari itu seakan mengisi rindu yang baru saja muncul selang keberangkatan PM Aceh Utara, Bawean, Kapuas Hulu, Sangihe dan Rote Ndao. Baru saja kami terpisahkan jam, perasaan rindu itu membuncah terlalu kuat. Kamar wisma yang dua hari terakhir kudiami bersama Dita sekarang kosong. Kembali kusentuh temboknya, masih kurasakan bau sahabatku disini. Pukul 3 subuh saat itu perpisahan dengan tim Sangihe, Kapuas Hulu, Aceh Utara, dan Rote Ndao membuat subuh itu terasa hangat. Air mata perpisahan, pelukan hangat, dan teriakan menggema di sana. Ada sebersit rasa tidak mau berpisah dengan mereka, tapi Alhamdulillah otakku masih cukup waras untuk mengingatkan bahwa ada ribuan pasang mata anak kecil yang jauh lebih membutuhkan mereka. Meski berat, akhirnya mereka berangkat ke bandara, wisma sepi. Tim Lebak, Bima, Fak-fak, dan MTB masih tertinggal di wisma. Rasanya kehilangan satu saja dari mereka kami sepi... Galau... Itu kata-kata yang selalu kami ucapkan untuk kondisi saat itu. Jam menunjukkan pukul 5 subuh saat tim Lebak juga harus deploy ke penampatan, masih kurasa pelukan sahabat-sahabat yang mengantarkan kami ke mobil. Masih kuhapal raut wajah adhity yang mungil yang memaksaku agar carrierku bisa diangkat olehnya. Masih kuhapal wejangan Ika yang bijak saat memelukku. I love u so much sista... Kami meninggalkan Jakarta pukul 6 pagi, dingin, haru, berdebar-debar, semangat, dan semua energi menghampiri kami selama di perjalanan. Kami agak berbeda dengan kelompok penempatan lainnya. Di saat yang lain naik pesawat, kami tim Lebak harus naik Innova, di saat tim lain berangkat bersama, kami berangkat sendiri. Semua punya tantangan sendiri, begitu kata Mbak Heggy... Dan tantangan itu dimulai... Mobil yang kami tumpangi masuk ke lubang yang dalam saat di perjalanan. Belum juga sampai di Lebak jalanan sudah hancur parah. Eko dan Aji bahkan harus ikut mengangkat roda mobil bersama warga. Alhamdulillah berkat bantuan warga sekitar mobil kami selamat. Perjalanan dilanjutkan menuju Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, dipikiran kami sesampainya di kantor Dinas Pendidikan akan ada sambutan hangat dari Bupati Lebak, akan tetapi Bupati Lebak dan jajarannya tidak ada, yang ada hanya Bapak Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, kepala UPTD, dan kepala sekolah di tiap kecamatan yang kan kami tempati. Diskusi berlangsung hangat dan seru dengan Beliau, kami bahkan dijanjikan berkeliling Lebak bersama Beliau dengan mobil off roadnya (W.O.W). Selang beberapa menit kemudian, perpisahan itu kembali datang, tapi bedanya tidak ada tangisan yang keluar dari Tim Lebak, yang ada hanya pandangan mata bersemangat, kepercayaan, ketulusan dan energi 5 5!! Entah mengapa saat kami berkumpul sesama tim Lebak energi positif selalu ada, kami bahkan tidak perlu mengucapkan sesuatu untuk menyampaikan apa yang kami rasakan atau pikirkan. Ya, hubungan kami ber-enam sudah sangat dalam, KELUARGA begitu kami menyebutnya. Medha, Eko, dan Main berangkat terlebih dahulu bersama kepala UPTD dan kepala sekolah masing-masing. Aku dan Aji berangkat terakhir bersama gunungan barang kami. Muncang, here I am... Tidak ada di pikiranku bahwa tempat ini terpencil karena awalnya aku menginap di rumah kepala UPTD Muncang yang aku kira sebagai Desa Cikere. Keesokan paginya, aku diberangkatkan secara resmi menuju ke Desa Cikere Kecamatan Muncang. Subhanallah... Cuma kata itu yang bisa aku ucapkan selama perjalanan menuju ke Desaku. Jalanan sangat hancur, berbatu dan seharusnya hanya bisa dilalui oleh motor trail atau mobil off road. Aku bahkan duduk menyamping saat di bonceng dan jatuh berkali-kali saat menuju ke Desa Cikere. Dalam hati aku berkata kemana ujung jalan ini. Di sebelah kanan hutan, di sebelah kiri jurang dan tidak ada rumah warga sama sekali. Setelah 1,5 jam berlompat-lompatan di atas motor, akhirnya aku menemukan peradaban. Aku melihat sekolah itu!! Aku melihat seragam merah putih itu, dan aku mendengar teriakan itu. Aku masih belum turun dari motor saat mereka semua keluar ke lapangan dan berteriak : "Ibu guru!! Ibu guru!!". Subhanallah... Aku menangis. Aku langsung diminta untuk menyimpan tasku di sekolah. Aku sempat heran mengapa ada begitu banyak orang dewasa di sekolah. Ternyata, selain untuk menerima raport mereka juga datang untuk melihat guru baru di sini. Aku dibawa ke sebuah ruangan kelas agak besar di sana sudah menunggu ratusan warga beserta anak-anak mereka yang masih kecil, kulihat juga wajah-wajah keriput nenek-nenek di sana yang tersenyum saat melihatku. Aku masuk ke ruangan itu dengan perasaan takjub, semua melihatku dan semua tersenyum, yang sangat membuatku kaget adalah semua menyalamiku dengan mencium tanganku. Bapak, Ibu, Kakek, Nenek, anak kecil berebutan menyalamiku. Aku pusing mengapa mereka mencium tanganku, aku baru tahu kalau mencium tangan itu adalah bentuk penghormatan kepada seseorang, dan aku kembali meneteskan air mata. Aku diperkenalkan secara spektakuler, harapan masyarakat begitu besar padaku, aku dipanggilnya Srikandi bagi Mekarwangi, namaku yang tadinya Ida diganti menjadi Ibu "Nur". Cahaya, mereka mengibaratkanku seperti itu, bahkan tokoh masyarakatnya mengatakan bahwa aku lebih cocok dipanggil Nur daripada Ida karena aku bercahaya (masa sih?). Aku memberikan sambutan dan memperkenalkan diri dengan cara sederhana, aku tidak banyak mengumbar janji, aku bahkan meminta arahan dan teguran apabila nantinya aku melakukan hal-hal yang salah dan mereka semua hanya tertawa dan menatapku takjub. Selepas acara itu, aku kembali disalami secara bergantian dan tanganku dicium. Aku terharu, tapi yang lebih membuatku terharu ketika seorang nenek menitipkan anaknya kepadaku, dia berbicara dalam bahasa Sunda yang aku tidak mengerti sama sekali, aku dicium dan kepalaku di elus. Bapak kepala UPTD mencoba mengartikan ucapan nenek itu sebagai berikut: Ibu nur, semoga betah di sini, kampung kami tidak besar, kampung kami tidak kaya, tapi Insya Allah ibu akan kami jaga dan akan menjadi orang besar nanti. Amin. Dan aku kembali menangis...

Cerita Lainnya

Lihat Semua