Nyanyian perkalian
Nur Wahidah 9 Maret 2012Mekarwangi, 09 Maret 2012
Ibu, Kami hayang nalar kalian!!
Hiji kali salapan, salapan
Dua kali salapan, delapan belas
Tilu kali salapan , dua puluh tujuh....
Begitulah nyanyian perkalian yang selama hampir beberapa minggu ini terdengar di setiap pagi dan siang, sebelum masuk, istirahat hingga sebelum pulang.
Ujian Nasional SD tinggal beberapa bulan ke depan, anak-anak kelas VI sedangkan aku merasa belum melakukan atau memberi apa-apa terhadap anak-anak didikku. Berdasarkan hasil ujian semester I kemarin, anak-anak menunjukkan peningkatan yang sangat berarti dan dengan nilai raport yang cukup memuaskan. Tapi memasuki semester ke dua? Jujur aku merasa sangat kecewa.
Semua pondasi matematika awal yang sudah kulatih sejak awal menguap begitu saja seiring berakhirnya masa liburan. Kelas matematika bukan lagi sesuatu yang menyenangkan bagi mereka, seperti yang aku duga, mereka sudah malas untuk mengenal angka, seperti pertama aku bertemu mereka.
Kemarin diadakan try out se- kecamatan untuk melihat seberapa siap anak-anak kelas VI untuk menghadapi UN SD. Hasil untuk pelajaran IPA dan Bahasa Indonesia sangat memuaskan, anak-anak didikku berhasil membuktikan bahwa mereka bisa. Sekolah kami memegang posisi pertama untuk rata-rata try out pelajaran IPA dan Bahasa Indonesia, tapi lain cerita untuk Matematika. Mereka menduduki posisi terbawah berdasarkan rangking try out se-kecamatan. Apa sebenarnya yang terjadi dengan anak-anakku?
Akhirnya aku kembali ke awal, mengecek lagi pondasi dasar matematika mereka, hingga aku menemukan dimana letak kesalahanku kemarin. Mereka masih belum hapal perkalian!! Pantas saja mereka tahu cara mengerjakan soal, tetapi tidak tahu menghitung hasilnya.
Semester I mereka masih bisa perkalian, karena mereka tahu konsep perkalian adalah penambahan berulang. Tapi setelah libur, mereka menjadi semakin malas, dan sudah tidak mau lagi menghitung. Akhirnya kuambil jalan terakhir, yaitu hapal mati! Sudah tidak ada jalan lagi, UN SD tinggal beberapa bulan ke depan dan di saat mepet seperti ini Matematika mereka malah menurun.
Keputusan pun kubuat, anak-anak kuminta untuk menghapalkan perkalian. Tapi hasilnya sangat diluar dugaanku. Hanya beberapa yang mau menghapalkan, selebihnya mereka acuh tak acuh. Aku bertanya pada diriku snediri, apa yang salah denganku? Mengapa mereka tidak lagi mau mendengar apa yang kuinstruksikan?
Aku merenung dan akhirnya tahu. Pada semester awal, aku masih dianggap sangat menyenangkan dan “berbeda” dengan guru-guru lain karena selalu membuat mereka senang belajar. Tapi sekarang guru-guruku mereplikasi apa yang kulakukan di kelas, tentu saja itu adalah hal yang sangat membuat puas dan bangga. Hanya saja hal itu membuatku keberadaanku mulai tersamarkan. Selain itu, anak-anak juga sudah mulai terbiasa dengan kehadiranku, terbiasa dengan pelajaran yang menyenangkan, sehingga saat diminta untuk sedikit serius, mereka menolak.
Dari hal ini aku belajar banyak, ternyata sosok guru yang tegas juga dibutuhkan di sekolah, bukan hanya sosok guru yang pandai mengajar dan membuat situasi belajar yang menyenangkan. Anak-anak di desaku sudah terbiasa dengan segala jenis kehalusan, anak-anak tidak pernah dipaksa melakukan apapun oleh orang tuanya, pada saat mereka tidak ingin ke sekolah orang tua mengizinkan, pada saat mereka berkelahi di sekolah, orang tua malah membela anaknya dan tidak menasehati. Disinilah aku belajar, anak-anak disini tidak sama dengan anak-anak yang berada di daerah timur yang “katanya” sudah biasa dengan sikap tegas dan bahkan hukuman fisik dari orang tua. Anak-anak di desaku sangat dimanja oleh orang tua, sehingga saat di sekolah terkadang mereka berbuat sesuka hati.
Untuk tahap awal “pelajaran ketegasan” yang aku jalani, aku meminta bantuan kepala sekolah untuk berbicara dengan anak-anak mengenai hapalan perkalian mereka, agar anak-anak paham mengapa mereka harus menghapal dan mengapa mereka harus lulus UN SD.
Pertanyaan kembeli, “kenapa harus kepala sekolah?”. Karena kepala sekolah adalah sosok yang paling disegani oleh anak-anak. Di sekolahku, Cuma kepala sekolah yang terbiasa berteriak memperingati anak-anak.
Hasilnya? Cukup berhasil. Sekarang lagu perkalian terdengar tiap hari sebelum masuk, jam sitirahat dan sebelum pulang sekolah. Sangat merdu dan tentunya sangat membantu di kelas Matematika.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda