Ibu Via, Kami Minta Maaf......

Novia Budiarti 29 Agustus 2014

          Memang yang paling sulit dan butuh waktu yang tidak sedikit adalah menanamkan pendidikan karakter pada anak-anak. Tak terkecuali pada anak-anak murid yang lumayan dekat denganku karena hampir setiap hari mereka muncul di rumahku. Entah itu untuk belajar, mengerjakan PR, mengajari aku bahasa Bima, ataupun hanya sekedar bincang-bincang asyik. Tak jarang mereka menginap di rumahku. Ya walaupun aku sering melarang juga mereka karena terlalu sering menginap. Tapi “Ina” alias ibu angkatku senang sekali mereka menginap. Kata beliau, rumah jadi semakin ramai ^_^. Baiklah....tapi aku sering memberi syarat pada mereka jika ingin menginap di rumahku maka wajib hukumnya mereka membawa buku untuk belajar bersamaku di rumah.

          Jadi ceritanya, saat itu Ainan, Tika, Marfuah, dan Khusnul menginap di rumahku. Memang saat itu adalah malam minggu. Awalnya kami memang “ngerujak” bersama. Hal itu adalah hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat Desa Paradowane. Masyarakat disini memang suka sekali “ngerujak” buah baik siang, sore, maupun malam dengan sambalnya yang bernama “sia nata”. “Sia” artinya garam, dan “Nata” artinya pedas. Dan semua orang akan ketagihan dengan ini, tak peduli ujung-ujungnya mereka akan sakit perut. Aduuuh....

          OK kembali ke topik utama. Setelah selesai “ngerujak”, kita semua bincang-bincang asyik. Sampai waktu menunjukkan pukul 21.45 WITA. Aku menyuruh mereka semua tidur karena sudah malam dan suasana sangat sepi. Yang terdengar hanya bunyi jangkrik dan lonceng yang dipakai sapi milik warga yang akan kembali ke gunung setelah seharian mencari makan. Tiba-tiba mereka memintaku untuk menonton film di laptop milikku. Aku melarangnya, tapi mereka terus bersikeras memaksa. Sebenarnya, aku tidak ingin marah. Sekali lagi aku melarang mereka dengan tegas. Mereka sempat diam dan tidak bicara apa-apa lagi. Kemudian aku masuk ke dalam kamar untuk tidur. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara pintu kamarku seperti ditabrak orang. Terdengarlah suara terbahak-bahak anak-anak. Ternyata anak-anak mengintipku lewat celah di bawah pintu kamarku yang lumayan lebar sambil saling mendorong. Segera saja kubuka pintu, dan mereka langsung berlarian sambil tertawa. Sambil tersenyum, aku bertanya, “Lucu ya kalau ngintip orang lain di kamarnya? Apalagi orang yang lebih tua dari kalian J”. Mereka diam saja sambil saling senggol-menyenggol satu sama lain. Kutinggalkan mereka  kembali ke kamar dan kupasang headset di telingaku. Dan akupun tertidur.

          Esok paginya, pukul 04.30 WITA, aku terbangun dan mendapati sebuah kertas yang diselipkan di bawah pintu kamarku. Kemudian kubaca, ternyata isinya adalah permintaan maaf dari mereka semua dan janji mereka tidakakan mengulanginya lagi.

          Langsung saja aku keluar dan membangunkan mereka untuk bersiap-siap sholat subuh. Saat mereka bangun, mereka kaget dan langsung memelukku sambil meminta maaf. Ah....sungguh pagi yang indah dan cukup mengharukan (walaupun aku tidak menangis, hehehe). Ternyata, memperingatkan seseorang atas kesalahnnya tidak perlu dengan kata-kata kasar, suara keras, dan marah-marah. Cukup ingatkan mereka dengan senyuman dan hati. Yang paling membuatku bahagia adalah, ketika kata-kata yang mereka tulis, tidak hanya sekedar tulisan di atas sebuah kertas, tetapi mereka benar-benar tidak mengulangi kesalahan itu sampai saat ini. Bahkan bila ada teman lain yang sukanya mengintip, mereka langsung mengingatkan anak tersebut. Alhamdulillah....semoga akan seperti itu terus ya anak-anak muridku ^_^


Cerita Lainnya

Lihat Semua