info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Idul Adha di Suatang

Nisa Permatasari 18 November 2010
Kak Rina woke me up at 6.30. Hari ini Idul Adha! Masih mengantuk. Gusrak grusuk mandi dan ganti baju. Hmm...pake baju apa ya? Sial, gak bawa banyak baju lengan panjang. Setelah siap dan keluar kamar ternyata Kak Rina baru mau mandi. Duduk-duduk sajalah di depan TV yang mati. Hampir berangkat. Kemoy sudah siap dengan baju muslimah warna merah jambu, lengkap memakai jilbab. Si Teteh sudah memakai atasan mukenanya, Kak Rina juga. Yasudah saya juga deh. Oh, Zaki memakai setelan koko warna oranye, dan peci baru warna putih. Berangkat ke masjid pukul 7.30. Naik motor! Si Ibu dirumah. Bapak sudah berangkat sepertinya. Adik Kak Rina baru datang dari Samarinda tadi malam. Tidak ikut solat, tidak bawa mukena katanya. Sampai di masjid ternyata cukup ramai lah. Tidak sampai seramai masjid Vila Pamulang yang harus memindahkan penduduknya untuk solat di lapangan sepakbola, tapi kapasitas masjid Suatang ini terpenuhi sampai hampir maksimal. Tidak membludak. Solatnya sama saja, dua rakaat. Ada ceramahnya. Tidak terlalu jelas ceramahnya tentang apa. Saya mengantuk. Tapi saya sedikit terjaga sewaktu cerita awal mengenai Idul Adha kembali diceritakan. Tipikal. Eh, sungguh tidak jelas ini khotbahnya bertemakan apa. Selesai solat kami semua bersalam-salaman. Saya mengikuti Kak Rina saja; saya menyalami orang yang Kak Rina Salami. Ada beberapa murid kelas 6 yang saya lihat. Disini murid-muridnya tidak seperti siswa Ciawi. Anak-anak Ciawi akan otomatis cium tangan ibu bapak gurunya setiap kali berjumpa. Disini tidak. Sepertinya saya sedikit rindu kebiasaan dicium tangan oleh murid. Hehehehe....It makes me feel like a teacher indeed. Sampai rumah ada hidangan soto ala Paser untuk sarapan pagi. Lontong, bihun, wortel, kentang, ayam, disiram kuah soto. Cemilannya ada semacam lemper tanpa isi, dicolek ke parutan kelapa kering yang berwarna kuning. Enak enak. Kak Rina menawarkan pergi ke rumah Bu Hayan. Bu Hayan ini punya tiga peran: guru Agama Islam, Bibi Kak Rina, dan Ibu Kades. Saya ikut saja, daripada bosan dirumah. Kak Rina bertanya apakah saya membawa kerudung. Saya punya satu selendang merah. Tapi baju saya warna hijau. Daripada dibilang bertemakan Natal, saya pinjam kerudung saja supaya aman. Saya dipinjami selendang ungu. Di rumah Bu Hayan ramai! Semua sepupu Kak Rina ada disitu. Saya salaman dengan Pak Kades kemudian langsung mengikuti Kak Rina ke dapur. Dapurnya berlantai dan berdinding papan. Luas. Mungkin 3x6m. Ini tipikal dapur di kampung-kampung. Saya teringat dapur salah satu keluarga saya, tidak tahu itu nenek atau buyut, di Banyubiru. Di ujung dapur ada 2 kompor minyak tanah. Satu kompor ditumpangi panci sangat besar berisi kuah soto. Ada kompor gas juga. Gas yang kecil itu. Di sis kanan dapur ada rak tempat piring dan perkakas dapur. Di sis kanan ada meja kayu besar penuh dengan gelas dan hal-hal lain yang saya tidak tahu apa. Pintu dapur sebelah kanan terbuka dan memperlihatkan kebun sawit keluarga, dan kandang ayam. Pintu sebelah kiri langsung terhubung ke tempat cuci piring outdoor. Para ibu-ibu duduk di lantai di sisi jauh kompor, dekat pintu menuju ruang keluarga. Kami semua duduk melingkar. Di tengah kami berserakan makanan: tempat-tempat nasi berisikan bihun dan potongan ayam, sebaskom besar jambu bol, setoples besar kerupuk, sambal, kecap manis, kecap asin, jeruk nipis, gelas-gelas. Suasananya berantakan, tapi kekeluargaan. Saya ikut duduk saja sembari ibu-ibu ini berbincang dengan Bahasa Paser. Saya sejujurnya suka mendengarkan suara-suara asing ini. Hal yang melelahkan adalah senyum-senyumnya. Cengengesan sendiri itu bukan keahlian saya kalau motifnya adalah supaya tidak terlihat mati gaya. Tapi yasudah tidak apa-apa. Saya sebentar-sebentar meraih kerupuk atau jambu bol, sambil senyum-senyum tentunya. Mungkin ibu-ibu ini pikir guru baru ini bisa diam dan bahagia kalau terus diberi makanan. Tidak sepenuhnya salah. Saya kembali makan semangkuk soto. Setelah bosan di dapur saya ke ruang tamu. Ini area para little monsters. Kids were ruling this area, and outside, too. Saya duduk-duduk saja di sofa, berbincang dengan menantu Bu Hayan. Mbak Hesty namanya. Sepertinya dia sangat tertarik dengan Jakarta. Bertanya ini itu. Menyenangkan. Anak-anak ribut dengan minuman bekunya. Akhirnya Kemoy punya Teh Kotak yang terbelah dua; tehnya beku jadi cara menikmatinya dengan dibelah dua dan diserut pakai sendok. Kembali ke dapur. Kak Rina sedang memasak daging sapi yang baru diantarkan. Zaki sudah ribut minta pulang, mengantuk sepertinya. Saya hibur dengan saya angkat dan pura-pura jadi Superman saja. Berhasil. Tapi cukup melelahkan setelah akting superman ke 5. Daging sapinya masak. Saya kembali makan, pakai nasi. Ada tambahan daging sapi bakar. Makan lagi. Adik Bu Hayan datang dari Grogot, dan saya pun diperkenalkan. Beliau bilang sudah membaca tentang Pengajar Muda di koran lokal. Hmm...ternyata ada. Akhirnya pulang pukul 14.30. Perut ini penuh. Apalagi yang dikerjakan sampai rumah selain tidur. Dan tidurlah saya sampai sore. Yaiks! Gendut. Malam harinya Bu Hayan sekeluarga berkunjung ke rumah orangtua Kak Rina, di sebelah rumah Kak Rina. Mbak Hesti berkunjung ke rumah. Kami Berbincang sedikit lagi sambil nonton Superboy. Sinetron sampah ini memang pembodohan. Ada satu adegan dimana Sang Superboy ini berkata bahwa mereka tersesat di hutan. Salah satu keponakan Kak Rina menyahut, “Makanya pakai kompas dong!”. Anak SD ini lebih pintar daripada Jupe dan semua pemeran Superboy itu. Saya disuruh makan malam oleh Kak Rina. Siap! Pesta makan hari ini ditutup dengan Ferrero Roche dari Mbak Ayu. Nyam. Idul Adha yang menyenangkan dan mengenyangkan. I guess I can indeed say that I get native here.

Cerita Lainnya

Lihat Semua