info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Envy (part one)

Nila Ningtias 1 Maret 2011
Saya iri dengan anak-anak disini. Saya juga iri dengan kehidupan bermasyarakat disini. Saya bahkan sempat tidak peduli misi saya disini. Saya hanya ingin belajar, belajar dan belajar. Saya kadang tidak tahu apa itu advokasi pendidikan yang dicanangkan oleh program yg mengirim saya ke tempat ini. Saya juga tidak tahu apa itu pemberdayaan masyarakat yang mestinya saya susun dg teman2 selama sisa 9 bulan ini. Saya malah banyak berkaca pada diri saya sendiri, hukum cermin itu sangat berlaku bagi saya. Sekarang, saya lihat, tetangga saya, ibu siyani namanya. Tamat SD pun tidak. Tinggal dengan suami dan 3 orang anaknya, adi kelas 3 SD, yoga kelas 2 SD dan mas hariyadi yg pny usaha warung serba ada bersama mbak yos, istrinya. Keluarga ini bertahan hidup dari usaha bertani karet. Saat saya masih mengucek-ucek mata di subuh hari, bu siyani dan suaminya sdh terjaga dan tengah bersiap pergi ke ladang. Pukul tujuh saya berangkat ke sekolah, mereka berdua sdh pulang, kadang pulang jam 9 pagi. Mas hariyadi pun juga rajin membuka warungnya tiap pukul 6 pagi. Setiap hari begitulah aktivitas pagi mereka. Saat sore, kadang mereka mencari sayur di kebun atau sekedar duduk saja di pelataran depan rumah. Ngobrol dengan ibu-ibu yg sekedar mampir. Saya terenyuh saat pagi tadi bu siyani tiba2 memanggil- manggil saya dan asti (seorang PM yg juga serumah dg saya sementara waktu), bilang kalau yoga ada PR tapi gak bs ngerjakan dan beliau jg tdk bs membantu mengerjakan. Beliau pun minta tolong kami membantu yoga mengerjakan PR itu, tp yoga sudah keburu nangis di dlm rumah. Mau gak mau terpaksa asti yg mengerjakan. Saya, berhubung sdg melilit kesakitan (monthly suffer) membiarkan asti menyelesaikan tugasnya itu. Bu Siyani, saat menyebut dirinya tidak bisa mengerjakan hanya tertawa kecil dan...yah..begitulah. Kata dia, padahal itu PR kelas 2 SD. Entahlah, saya seringkali kagum dengan sikap nrimo orang2 seperti bu siyani. Mereka tidak mengeluh, mereka jalani saja kehidupan mereka yg apa adanya itu. Mereka juga tidak banyak menuntut, kalau baik ya diterima, kalau buruk ya tinggalkan. Semudah itu kah? Mudah sekali prinsip mereka. Sangat sederhana. Tidak melulu ikuti arus jaman dan modernisasi yang kadang melahirkan ambisi2 baru yg mengaburkan mana baik mana buruk. Anak-ank disini, benar2 membuat saya iri. Bisa jadi karena saya dulunya tidak menjalani masa kecil yg menyenangkan dan penuh kebebasan spt mereka... (bersambung)

Cerita Lainnya

Lihat Semua