disini, di tempat ini
Nila Ningtias 6 Desember 2010
disini, jika ingin pergi ke suatu kampung harus melewati hutan sawit dan karet. salah-salah bisa tersesat, salah-salah bisa kena begal, apalg jika keliru masuk ke ladang milik penduduk asli, entah bahaya apa yg akan dihadapi. perseteruan antara penduduk asli dan transmigran masih cukup rawan.
disini, jalan poros seperti tak berguna. jalanan panjang penuh palung lumpur dan genangan yang tak teraba. kadang terbentang bebatuan yang bisa melukai ban-ban kendaraan. sering ditemui truk atau mobil yang macet karena rodanya terjebak lumpur. kalau motor, hmm.. sepertinya masih menjadi sasaran empuk begal. Ini adalah tugas pemerintah untuk memperbaiki fasilitas transportasi. Saya berdoa semoga pemerintah cepat tanggap dalam bertindak. Saya berdoa, semoga saya juga tidak sekedar mendoakan. Amin.
disini, untuk pergi ke daerah yang agak kota butuh waktu hampir 3-4 jam. kendaraan pun harus sudah dipastikan jauh hari sebelumnya. selanjutnya adalah menelungkupkan tangan untuk berdoa agar tidak hujan deras saat akan berangkat. Untungnya, dari desa saya hanya butuh waktu kurang lebih satu jam untuk ke daerah-yg-agak-kota, dg catatan tidak mampir ke desa lain.
hei! saya lupa mengabarkan! disini, sinyal masih baik. Koneksi hp sebagai modem yg terhubung dg delfi saya (baca:notebook) masih dapat sy gunakan untuk berinternet-ria. terima kasih yang sangat besar untuk provider yg sy gunakan. walau kadang saya masih mengayun-ayunkan ponsel setinggi-tingginya di luar rumah agar dapat sambaran sinyal :)
disini, anak-anak kecil selalu ceria. Mereka tak pernah berhenti bergerak. Tubuh kecil mereka seperti gudang penyimpanan energi yang selalu terdissipasi. Ah, melihat mereka saya seperti melihat wujud manusia dari hukum kekekalan energi. Energi itu tidak hilang tapi berubah wujud menjadi bentuk yang lain. Energi anak-anak itu berubah menjadi energi keceriaan, energi kepolosan, energi antusiasme, energi kecerdasan, energi kelincahan, energi kognitif, energi kinestetis, energi kepedulian, bahkan energi pesimisme dan energi egoisme bisa seketika berubah menjadi energi yang positif. Disini, saya banyak melihat rotasi energi dengan kecepatan relatif, dalam variabel waktu yang berubah-ubah. Pikiran saya pun mulai teracuni dengan banyak hukum fisika yg berkelebatan, dg harapan ilmu kuliah saya dulu dapat saya gunakan untuk mendidik anak-anak kecil ini. Entah bagaimanapun korelasinya, saya masih berazzam. anak-anak kecil itu.. mereka memang istimewa. Sangat.
Disini, masih tentang anak-anak kecil itu. meski sabetan penggaris kayu melukai jemari mungil mereka, mereka masih dapat tersenyum. Meski sayatan telapak tangan guru melebamkan pundak mereka, mereka masih bisa tersenyum. Meski semburan kata-kata kotor muncul dari bibir polos mereka, mereka tertawa, tawa yang masih belum bisa saya pahami. Apakah mereka mengerti arti kata-kata itu? mengapa mereka bisa mengucapkan kata-kata itu? bagaimana cara menghentikan kata-kata buruk itu keluar dari pita suara mereka? Apa yang dilakukan orang tua mereka di rumahnya masing-masing?
Disini, pernah suatu malam. Acara kawinan sedang menyiapkan layar tancap. Di sepanjang jalan banyak orang berjualan. Kebanyakan penjual mainan dan makanan. Tidak heran jika banyak anak kecil berkumpul, berlarian, saling tertawa dan mereka mengerubungi aneka jualan itu. mereka bahkan memakai pakaian yang sangat rapi, seperti hendak diajak ayah ibunya ke mantenan. Padahal, mereka hanya sekedar bermain-main di bawah lengkung langit. Saya sendiri sangat menikmati suasana itu, suasana yang sepertinya punah di perkotaan. Sambil duduk di salah satu kedai kecil, menikmati sepiring rujak kacang dan segelas pop ice melon, mata saya sangat antusias mengikuti polah anak-anak kecil itu. yah, itulah hiburan rakyat yang terurai dari nadi-nadi kehidupan pedesaan. Tapi, sangat disayangkan, sepenggalan waktu kemudian, layar besar yang terkembang hampir separuh jalan itu menayangkan film dengan rating dewasa. Hah?? Astaga.. tidakkah mereka melihat, anak-anak kecil itu masih berkeliaran menyisiri jalan! Kemana pikiran orang-orang ini?? Siapa yang mau bertanggung jawab jika di usia mereka yang masih sangat kecil itu ada exitasi yang belum saatnya! Hei! Ada banyak remaja pubertas di sekitar sana! Bagaimana jika mendadak aliran darah mereka memacu ke arah corpora carvenosa??? Huh, sepertinya mereka tidak akan berpikir sampai sejauh itu. saya pun hanya bisa menggerutu dan segera pergi dari tempat itu.
Disini, ketika saya masih meredam emosi karena perbuatan panitia layar tancap itu, saya menyadari, ada hal yang sangat istimewa yang tidak bisa dinilai dengan materi. Yang mungkin bisa menohok penganut atheisme paling primitif, atheis materialis. Semangat kekeluargaan dan gotong royong. Masyarakat disini masih sangat menjunjung kekeluargaan dan gotong-royong. Masyarakat disini pun sangat ramah, satu dengan yang lain saling sapa dan bantu. Antar tetangga pun sudah seperti saudara. Setiap kali saya berkenalan dengan penduduk disini, mereka tidak segan meminta saya untuk mampir ke rumah mereka. Kami menjadi begitu mudah akrab. Sangat menyenangkan.
Hmm.. disini.. di tempat ini.. masih banyak kisah yang akan saya lalui. kisah-kisah sederhana yang harus saya pelajari maknanya. Dimanapun tempatnya, kapanpun waktunya. Manusia memang (seharusnya) pembelajar tanpa henti.
“sekolahnya gimana Nil?”, “metode pengajaran??”,”manajemen sekolah??”
Aha! Saya sedang menyusun narasinya untuk cerita saya selanjutnya.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda