Surat untuk Tuan Guru Bajang

Nani Nurhasanah 26 Mei 2013

Jum’at, 7 Desember 2012.  Sore itu dengan tergesa aku pegi ke tempat sinyal. Beberapa anak masih di rumahku, kita baru selesai belajar untuk persiapan OSK. Biasanya aku dan anak-anak menghabiskan waktu sebelum adzan magrib dengan bercerita, membuat gambar atau kreasi apapun. Hari ini aku putuskan untuk pergi ke tebing sinyal setelah 5 hari tidak menghubungi keluarga dan teman-temanku.

“Kita lagi di So Nae, Nan. Mau nitip surat ke Pak Maman biar Pak Maman nitipin surat itu ke supir bis. Nanti supir bisnya yang posin ke kantor Pos di Kore” kata Morin di ujung sana.

“Kapan paling lambatnya?”  tanyaku

“Tanggal 12, masih bisa kalau Oi marai mau ngirimin”

Aku bergegas berlari menuju rumah, berharap anak-anak masih ada. Ternyata mereka masih asyik bermain monopoli di teras rumahku.

“Ibu ada kabar baik, ada lomba menulis surat untuk Gubernur NTB, siapa mau ikut?” tanyaku

“Saya!!!” Rosita, Selia dan Din mengacungkan tangan mereka tinggi-tinggi. Hanya tinggal mereka yang masih ada di rumahku, berempat dengan Elang murid kelas 1.

Aku pun segera membagikan kertas polio, meminta mereka menulis surat untuk Gubernur. Besok akan aku titipkan ke bus yang lewat.

“Siapa nama lengkap  Gubernur NTB Bu?” tanya Rosita

“Waduh, Ibu tidak tahu. Ibu tahunya Gubernur Jabar. Hehehe” jawabku

“Ada yang tahu?” tanyaku.

Selia menyebutkan sebuah nama yang begitu panjang lengkap dengan gelarnya.

“Wah hebat Selia, kamu hafal” pujiku

“Ada di kalender di rumahku Bu” jawabnya

Ketiga anak itupun kemudian asyik menulis surat untuk Gubernur NTB. Anak-anak memang sedang hobi menuli surat, sudah belasan surat yang mereka tulis, untuk temannya di MTB, Kenanga, Kapuas Hulu, Bawean, Kakak Penyala Jogja, sahabat-sahabat pena lainnya.

“Karena sudah magrib, menulis suratnya di PR-kan. Besok dikumpulkan di sekolah. Rencananya akan Ibu kirimkan lewat bus Senin pagi saja, biar teman-teman kalian bisa ikut juga”

Mereka pun pamitan pulang.

Esoknya, aku umumkan perlombaan itu dan meminta anak-anak membuat surat. “Bu Guru, nama Gubernur NTBnya Tuan Guru Bajang Kyai M. Zainul Majdi, kalau yang kemarin saya sebut itu Gubernur yang dulu” kata Selia.

“Oh, wah hebat kamu. Terima kasih sudah memberi tahu Ibu. Ibu cuma ingat kalau Gubernur NTB yang sekarang satu-satunya Gubernur  Indonesia yang hafal Qur’an, kalau namanya Ibu tak tahu”.

Aku segera membagikan kertas, seperti dugaanku, anak-anak begitu antusias. Ada yang membuat gambar SP3 di belakang suratnya, menggambar dirinya,menempelkan pop up card. Isi suratnya tak kalah menarik, mereka bercerita tentang SP3, cita-citanya, kehidupan sehari-hari, pengalaman lucu, dll. Kocak sekali cerita mereka yang begitu polos.

Terkumpul sudah 19 surat karya anak kelas 5 dan 6. Aku baru  ingat, sepertinya aku tak punya amplop besar untuk surat-surat itu. Aku tanyakan kepada guru-guru apakah ada yang punya, jawabannya tak ada.

Aku ingat, banyak amplop cokelat besar di rumahku, bekas amplop surat kiriman dari teman-temanku. Pulang sekolah segera aku cek, ternyata ada. Aku modifikasi abis-abisan agar tak terlihat seperti amplop bekas. Jadi juga amplopnya.

Minggu sore, aku segera ke rumah Bu Endang, salah satu guru di sekolah juga. Aku titipkan surat untuk bus kepada beliau, tak lupa menyertakan uang untuk biaya titipan bis dan prangko. Rumah Bu Endang adalah tempat bus berhenti setiap hari, Abang supir dan kernet bus terbiasa makan disana.

Senin pagi, 10 Desember 2012

“Suratnya belum dikirim Bu, supir busnya bukan yang biasa makan di tempat saya. Sya belum kenal, khawatir uratnya tidak sampai. Besok saja yah Bu, besok giliran Abang kenalan saya” kata Bu Endang.

“Iya Bu, gak apa-apa. Mudah-mudahan tidak terlambat” jawabku.

Selasa pagi, 11 Desember 2012

“Sudah Bu, tadi pagi saya titipkan”

“makasih banyak Bu”

Rabu Magrib

“Maaf Bu, Abang busnya bilang ternyata pengiriman suratnya paing telat tanggal 10. Pak Pos di Kore yang bilang.” Aku hanya tertegun memandangi amplop cokelat berisi harapan anak-anak.

Inilah daerah kami, daerah yang terisolir informasi dari dunia. Hanya tebing sinyal yang berjarak 1 KM dari pemukiman yang satu-satunya pusat berbagi cerita dengan dunia. Daerah yang dibutuhkan waktu 9 jam menuju kesana dari kota kabupaten. Tak ada kantor pos yang bisa mengirimkan dan menyampaikan kabar dalam bentuk tulisan, hanya tukang bus sebagai kurirnya yang kadang  menyampaikan pesannya kadang tidak. Daerah sunyi tanpa listrik dan sinyal.

Biarkan tubuh kami terkurung berada disini, namun tidak dengan harapan anak-anak. Biarkan mereka menyampaikan harapannya kepada Gubernur kebanggaan mereka.

Aku berjanji, surat itu harus kusampaikan bagaimanapun caranya.

Akhirnya, seorang teman memintaku menscan semua surat anak-anak, aku mengikuti permintaannya. Ternyata dia mempostingnya di grup media sosial para pejabat NTB termasuk Bapak Gubernur tercinta.

“Suratnya mendapat banyak respon, Nan! Tuh Wagubnya ngasih jempol” kata temanku sambil memberikan link sebuah alamat grup.

Alhamdulillah.. Pesan murid-muridku sudah tersampaikan.


Cerita Lainnya

Lihat Semua