info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Mempertahankan ‘Hak’ untuk mengajar

Nanda Yunika 23 Januari 2011
Sabtu, 15 januari 2011 “Bu... ibuuu... hari ini nggak usah masukk matematika ya bu??” kata salah seorang anak kelas 6. “Tak payah(tak usah_red) ya buu??,” kata yang lain. “Iya bu... hari ini kita mau tanding bola dengan anak-anak SD A,” susul anak laki-laki yang kemudian diiyakan oleh 2 anak yang lain. “Ya bu yaa?? Bonus lah bu... dulu kan sudah ujian (tryout UASBN bersama_red),” rayu mereka bersama-sama. “Haduh-haduh kalian ini. Oh ibu tahu, jangan-jangan kalian takut hapalan perkalian yaa??,” pancingku pada mereka yang kemudian mereka jawab “Tidakkk...” dengan serempak. “Kalau tidak takut kenapa tidak mau masuk matematika? Takut yaa??,” ledekku lagi. “Kalau berani ayo coba hafalan. Nanti setelah hafalan dan ibu beri Pe Er terserah kalian mau sepak bola atau nonton bola dilapangan,” tantangku pada mereka. “Oke bu!!,” jawab mereka serempak. Yes, kepancing. Haha... Dunia anak adalah dunia bermain. Dalam konteks ini bukannya mereka tidak menyukai matematika, namun jika dibandingkan dengan pelajaran olah raga mungkin matematika menjadi pelajaran nomer 2. Hari sabtu adalah hari yang ambigu bagi sekolahku. Di satu sisi terdapat jadwal pelajaran yang telah tersusun rapi dan disisi lain jadwal pelajaran tersebut tak terealisasi dengan rapi. Mungkin bawaan hari libur di esok hari sehingga tak jarang murid bahkan gurunya sendiri enggan untuk mengisi kelas dengan suasana berbagi ilmu. Mereka sibuk dengan kelompoknya sendiri-sendiri. Sama halnya dengan kelas 6. Mungkin sebelum kedatanganku setiap hari sabtu kelas 6  tidak mengadakan kegiatan di dalam kelas. Tak ada proses belajar mengajar karena yang ada adalah proses bermain dan bermain. Baru setelah aku ada, hari sabtu setelah oleh raga anak-anak kelas 6 harus masuk kelas guna mempelajari pokok bahasan matematika. “Beneran buuu... minggu ini saja...,” rayu mereka tanpa kenal kata menyerah. “Oke, minggu ini boleh kosong tetapi senin depan hafalan perkalian matematika ibu tambah dari yang seharusnya di ujikan hari ini plus 2 lagi, yaitu hafalan level 6 x 1 sampai 7 x 10!,” kataku tanpa kompromi. “Huwaaa... Ya udah bu, sekarang hafalan aja...,” kata mereka. Hore, menang! Haha... Di mulai dengan doa dan di lanjutkan dengan hafalan satu per satu. 45 menit kemudian semua anak telah selesai menghafal perkalian yang wjib diucapkan pada hari ini. Sebelum pulang ku beri mereka Pe Er yang belum pernah sama sekali ku bahas. Mereka protes dan memintaku untuk mengajarkan caranya. “Oke, akan ibu ajarkan... beneran mau di kasi contoh ni?,” kataku mengkonfirmasi keinginan mereka. “Iyaaaa buuu... ,” jawab mereka serempak. Buat mereka merasa butuh adalah poin kedua dari pelajaran hari ini. Setelah hafalan perkalian, masih tersisa 30 menit hakku mengajar di kelas itu. Anak-anakpun teringat dengan perjanjian yang telah kami buat. “Sudah hafalan buuu... boleh keluar maen??,” tanya mereka serempak. “Belum... kan ibu belum memberi Pe Er untuk hari ini, ” jawabku yang kemudian diikuti dengan triakan “Waaa... Kok ibu inget sih...,”sebagian dari mereka. “Tenang... tenang... ibu Cuma akan memberi kalian 5 soal. Yang mudah-mudah saja kok...,” kataku sembari menulis soal yang ku salin dari memori yang baru terbuat di otak tadi. “Nah sudah jadi...Yang sudah selesai nulis soal boleh keluar main. Gampang kan soalnya?,” kataku memancing mereka. “Susah buu... Kasih tau caranya ya bu... satu soal saja...,” kata mereka memelas. “Beneran ni mau tau caranya?,” kataku memancing lagi. “Iya bu... coba deh bu soal nomer satuu,” kata salah satu anak perempuan yang nampaknya menjadi negosiator di kelas itu yang kemudian diikuti dengan anggukan tanda setuju dari anak-anak lain. “Mmm... Oke... ibu akan kasi tahu caranya... ,”kataku dimulut sedang di hati “Nah, ikan-ikan kecil sudah mulai menangkap kail nih rupanya” dan ‘hap!’ ku tulis soal lain yang mirip dengan soal yang ku buat Pe Er. Ku ajari mereka menggunakan soal baru yang baru saja ku buat tadi. Berhasil mereka menyimak, bertanya dan ajaibnya bahkan meminta contoh soal lagi... Kail mulai di tarik dan terpancinglah empat belas anak-anak untuk masuk ke materi pelajaran yang seharusnya diajarkan hari ini. Berhasil... Berhasil... Hore... Untuk kesekian kali aku berhasil masuk memberikan materi tanpa mereka sadari. Pada saat aku memberikan contoh sengaja ku berikan contoh soal lain dan ku coba tanyakan pada mereka apakah sudah paham. Jika belum akan aku beri contoh soal yang lainnya dan lagi-lagi mereka tidak sadar bahwa saat itu kita telah melakukan proses belajar di kelas. Padahal sebelumnya secara bergilir mereka membujukku agar mereka dapat bermain olah raga. Beri mereka tantangan... Anak kecil terkadang lebih cerdas daripada kita, tinggal kreatifitas kita sebagai gurulah yang dapat menyainginya. Dalam konteks ini mungkin aku dapat tetap memaksakan memberi matreri dengan ‘intro’ marah-marah atau memaksa mereka masuk tanpa rasionalisasi yang sesuai dengan usia mereka. Imbasnya mungkin mereka akan tetap mengikuti kita namun dengan setengah hati (menampakan rasa bosan atau justru malas) karena ketika kita paksakan untuk mengajar padahal mereka memiliki keinginan lain yang lebih menarik yaitu bermain, mereka tidak merasa perlu mempelajari materi bahkan  pikiran mereka sudah di arena bermain atau dengan kata lain diberi materi apapun nggak bakal nyambung. Lain halnya jika mereka di beri suatu ‘tantangan’ atau alasan bahwa mereka ‘butuh’ untuk mempelajari materi tersebut, mereka akan dengan senang hati menyimak. Tantangan berupa pertanyaan seperti “Takut hafalan matematika yaa??” akan sangat efektif jika kita sebagai guru telah membaur dengan mereka. Terkadang dengan masuk ke dunia mereka, mengikuti cara pikir mereka dan menarik mereka untuk belajar melalui sudut pandang dunia mereka cukup menyenangkan dan membuat mereka dengan suka rela ‘memakan umpan’ kita.  Silahkan di coba... Note: Hari itu saya berhasil mempertahankan hak untuk mengajar hingga waktu yang di tentukan dengan tanpa suara protes dari anak-anak yang sebelumnya merengek dan memintaku untuk tidak mengisi pelajaran matematika karena mereka ingin main bola.

Cerita Lainnya

Lihat Semua