Hanya Akan Ada Satu ‘Indonesia’

Mujahid Zulfadli Aulia Rahman 26 April 2015

“pa’guru, awalnya sa pikir susah, ternyata membuat peta itu gampang. Kitong biking-biking, sebentar saja, eh su jadi. Kalau kitong tara bikin, pasti kitong masih terus rasa susah” | Sipora

Sebuah peta Indonesia dengan setia berada di kelas tiga. Setiap hari, anak-anak menyaksikan peta itu. Melihat fakta bahwa ada 5 pulau berukuran jumbo yang merupakan wilayah negara mereka. Bergabung jadi satu bangsa yang besar: Indonesia. Memanjang dari sebuah pulau di ujung barat: Sabang. Berakhir di pelosok timur tanah besar Papua: Merauke.

Beberapa anak terkagum-kagum dengan peta Indonesia. Setiap hari, ada saja anak yang sampai berdiri lama-lama. Seperti menghadapi cermin. Ada juga yang selalu terbingung-bingung. Barangkali belum menemukan di mana letaknya tulisan ‘Manokwari’ atau ‘Makassar’.

Sabtu pagi cerah ini, saya memberikan pengalaman sederhana bagi mereka. Menggambar Peta Indonesia. Alih-alih menggambar, sebenarnya hanya menjiplak peta Indonesia yang sebenarnya.

Olehnya itu, untuk membuat satu peta Indonesia, dibutuhkan 6 buah kertas buram dan selotip untuk menggabungkannya.  Setelah digambar, kertas buram yang sudah tergambari peta, akan di lapisi lagi dengan karton manila atau karton biasa.

Untuk mengefisienkan waktu yang ada, pekerjaan ini mesti dibuat berkelompok. Tiga anak muridku mengerjakan satu peta Indonesia. Secara keseluruhan, anak-anak terbagi dalam empat kelompok. Kepada setiap kelompok, kusediakan krayon dan pensil warna untuk mewarnai setiap pulau yang telah mereka gambar. Setiap pulau harus berbeda warna. Lima pulau besar di Indonesia yang sudah mereka kenal sebelumnya, wajib digambar.

“beta Sumatera, kuning”

“beta Papua, hijau”

“beta Jawa, merah”

“beta Sulawesi, biru”

“beta Kalimantan, ungu”

Anak-anak bersorak riuh berebutan memilih pulau dan warna yang akan ia gambar.

Saya begitu senang dengan antusiasme anak-anak. Mulanya saya pikir, hal ini akan ditolak dan didebat oleh anak-anak. Rupanya tidak. Setelah jadi, akan ada empat peta Indonesia bikinan tangan mereka sendiri. Saya tersenyum membayangkannya. Anak-anakku sedang ‘mengerjakan’ Indonesia.

Dengan pengalaman ini, mereka bisa lebih mengenal peta Indonesia. Dan mereka semakin lekat dengan pulau-pulau yang ada di Indonesia. Mereka merasakan menyentuh Sumatera, menyentuh Jawa, menyentuh Sulawesi, menyentuh Kalimantan, menyentuh Maluku, dan lebih menyentuh Papua.  Begitulah, mereka akan merasakan sensasi ‘menyentuh’ Indonesia.

***

Dan, pada akhirnya, sebelum bel istirahat berbunyi, saya jadi benar-benar sumringah ketika anak-anak ternyata berhasil menyelesaikan empat buah peta Indonesia yang berwarna-warni. Tentunya dengan mengabaikan unsur pewarnaan dalam topografi.

“nak, apa yang kamong rasakan ketika menggambar peta Indonesia yang besar tadi?” saya menanya anak-anak satu persatu.

“pa’guru, tadi kitorang senang-senang, bermain, dan menggambar peta yang bagus.” kata Tangkia.

“pa’guru, tadi kitorang gambar peta, kitorang sama-sama musyawarah, baru (kemudian) gambar.” sambung Nahum.

“tadi kitong gambar peta, bagus, saya pu hati sangat senang.” tutur Elsina dengan senyumnya yang mengembang sempurna.

“pa’guru, awalnya sa pikir susah, ternyata membuat peta itu gampang. Kitong biking-biking, sebentar saja, eh su jadi.” kata Sipora dengan tangkas.

Kitong gambar tadi bagus, macam (seperti) pelangi-pelangi.” kata Nova mengakhiri.

“betul nak, pelangi itu indah kalau bermacam warna. Coba kalau satu warna saja. Dia tidak akan kelihatan indah di langit sana. Sama dengan peta Indonesia yang kamorang baru selesai gambar,  bagus kalau warnanya beda-beda. Di  Fakfak, bukan cuma Kristen saja toh?”

“iya pa’guru, ada Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Konghucu” balas anak-anak hampir serempak.

 Seperti Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merauke, begitu pula warna-warni pelangi pada peta yang anak-anak bikin. Betapun beragam warnanya, pada akhirnya, hanya akan tetap jadi satu dan satu saja peta: namanya peta Indonesia. Ramai-ramai, kami membentangkan peta Indonesia itu.

Eh, apakah saya sudah bilang, “kalau udah jadi peta buatan anak-anak ini keren banget?”


Cerita Lainnya

Lihat Semua