Tiga Bulan Awal Beradaptasi

Muhammad Zakaria 28 Maret 2014

Hari-hariku kini sedikit berbeda. Tidak ada lagi suara patrick dan spongebob menyaut di pagi hari. Tidak ada lagi kicauan suara presenter berita di TV yang mengabarkan situasi terkini dari dalam negeri. Pagi hariku kini hadir dengan nuansa suara mesin kapal dan syahdunya kicauan burung di tepi dermaga.

Desa Waya, tempat di mana aku kini ditugaskan, merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Mandioli Utara, Halmahera Selatan dengan penduduk tidak lebih dari 700 jiwa. Kawasan pemukiman di desaku ini sungguh tidaklah luas. Tak perlu waktu yang lama untuk mengelilingi desa, cukup dengan dua puluh menit, aku bisa berkeliling desa.

Kehidupan pinggir laut yang membuat penduduk di sini tidak asing dengan limpahan ikan segar (ya, ikan segar, ikan yang baru saja ditangkap dari laut, bukan ikan yang sudah dibekukan berhari-hari) yang siap disantap dengan berbagai bentuk sajian.

Sebenarnya, desa ini tidak jauh berbeda dengan pesisir desaku di Cirebon. Hanya saja di sini kondisi lautnya lebih  bersih dan tentu saja budaya maluku utara yang cukup kental. Ketika di Cirebon aku cukup akrab dengan kata ira dan isun, di sini aku sudah tidak aneh dengan kata kita ataupun ngoni/ngana.

Aku yang sudah tiga bulan menginjakkan diri di tanah maluku pun mencoba membuka diri untuk beradaptasi dengan lingkungan yang akan aku singgahi untuk satu tahun ke depan. Terkadang, orang-orang di sekitarku tertawa karena aneh mendengar apa yang aku ucapkan. Tapi, usaha yang ku buat tak akan pernah berakhir.

“Pak Jaka, pi mana?”  Ucap seorang warga. Dan tepat sekali, aku hanya bisa melongo saat itu. “Ngoni pi mana deng tas?” Sekali lagi warga lain menanyakan. Dan responku kembali sama : “Hah?” sambil membuat tampang seolah bertanya apa arti dari kalimat yang dimaksud. Setelah bertanya, ternyata warga tersebut bertanya “ Pak Jaka, Mau pergi ke mana?” “Mau pergi ke manakah menggunakan tas?”. Setelah tahu apa arti yang dimaksud, aku langsung menjawab : “Oh, mau pulang ke rumah” Jawabku masih lurus. Berbagai kata dari bahasa maluku pasar pun sedikit demi sedikit aku pelajari. Kini, aku sudah berani untuk berbicara bahasa maluku walaupun hanya dengan siswa-siswaku. Aku tinggal bersama keluarga piaraku, sebutan untuk keluarga yang menerima seseorang dalam waktu yang cukup lama.

Aku tinggal di sebuah rumah di pinggiran dermaga. Di rumah, keluarga piaraku hanya ada mamah dan adik piara. Bapak piaraku sering pergi berlayar ke pulau seberang. Adik piaraku bernama sasti, namun kerap dipanggil dengan sebutan Kelle duduk di kelas lima. Sebenarnya mama piaraku memiliki 4 anak lagi, satu orang bertugas menjadi bidan di desa sebelah, satu orang lagi masih sedang menyelesaikan kuliahnya di Ternate, 2 orang menetap di Obi dan satu orang menjadi mahasiswa di Makassar.

Warga di desaku sangat ramah. Walau memiliki intonasi suara yang cukup keras, namun mereka semua sangat baik. Mereka ini jika dianalogikan seperti buah durian, Berduri di luar, namun manis di dalam.  Setiap sore, selepas mengajar di Madrasah Al-Khairaat, madrasah yang baru saja dibuka ketika aku mulai mengajar, atau setelah memberikan pelajaran tambahan untuk siswa kelas VI,  aku mencoba berinteraksi dengan warga sekitar. Aku memulainya dengan mengunjungi satu demi satu rumah muridku. Mereka menerimaku dengan sangat baik. Tak jarang juga aku disuguhi sagu dengan teh manis hangat. 

Beginilah keadaan desaku. Sebuah desa yang hanya dapat diakses dari Labuha (Ibu Kota Halmahera Selatan) menggunakan motor (kapal dalam bahasa maluku) setiap hari Senin, Kamis dan Sabtu. Desa kecil di utara Pulau Mandioli. Desa yang membuat aku sedikit menyesal karena tidak bisa berenang. Ah, sudahlah. Satu tahun ke depan, aku pasti sudah kembali sebagai perenang yang ulung (harapku).


Cerita Lainnya

Lihat Semua