Penutup Semester 1

Muhammad Ihsan Nugraha 10 Februari 2015

Pagi itu, aku sudah bersiap membawa tas yang isinya bukan lagi buku pelajaran. Tidak seberat biasanya. Beban yang dibawa sebenarnya ringan, tapi entah mengapa terasa berat ketika membawanya. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku ketika hendak beranjak dari rumah menapaki jalanan gertak kayu menuju ke sekolah.

Sekolah kami masuk pukul 8 pagi dan seperti biasa anak-anak sekolah sudah ramai berjalan di depan rumahku sejak pukul 7. Ada yang berbeda di hari ini, mereka tampak lebih ceria dari biasanya, tapi ada juga yang terlihat tidak bersemangat seperti hari sebelumnya.

Saat aku keluar dari rumah, terdengar suara anak-anak berteriak, "Bagi rapor.. Horee.. Besok liburrr." Begitulah kelakuan anak-anak di sana. Mereka selalu menantikan momen ini karena jika mereka mendapat ranking yang baik, terkadang mereka akan mudah meminta dibelikan sesuatu ke orang tuanya. Lain halnya dengan anak-anak yang rankingnya tidak baik, siap-siaplah mereka mendapat 'hadiah' dari orang tuanya.

Aku selalu bersyukur ditempatkan di desa yang warganya masih peduli dengan pendidikan. Bagaimana pun kondisi anak, mereka tetap memaksakan anaknya untuk bersekolah, apalagi biaya sekolah sudah digratiskan oleh pemerintah. Mereka tidak akan membiarkan anaknya bolos sekolah untuk membantunya bekerja.

Sengaja aku pelankan jalanku agar bisa bersenda gurau dengan warga dan orang tua murid yang sedang duduk-duduk santai di depan rumah. Aku menyadari bahwa kebanyakan orang tua di sini menyerahkan masalah anak-anaknya ke guru. Hal itu memberikan kesan bahwa mereka tidak berdaya mendidik anak sesuai keinginan mereka. Namanya juga anak-anak, kadang bandelnya membuat semua orang kesal walaupun sudah beberapa kali dinasehati oleh guru bahkan orang tuanya. Itulah pentingnya berkomunikasi dengan orang tua murid agar bisa mengerti apa yang mereka harapkan dari hasil belajar anaknya di sekolah.

Anak-anak sudah berkumpul di halaman sekolah, ada yang sedang piket, ada juga yang sedang jajan di kantin. Bagi mereka datang ke sekolah adalah salah satu jalan untuk mendapatkan uang jajan. Walaupun hari ini bagi rapor yang seharusnya tidak akan lama, mereka tetap meminta uang jajan sebagai apresiasi sudah mau berangkat sekolah.

Suara lonceng sudah terdengar dari kantin, salah satu guru membunyikannya dari salah satu jendela di ruang guru. Anak-anak berlarian memasuki kelas masing-masing. Aku mengikuti mereka dengan berjalan melewati semua ruang kelas, sampai akhirnya disambut oleh anak-anak kelas 6 yang berada di paling ujung sekolah. Aku sebelumnya mengajar di kelas 5 sebagai wali kelas, namun semua berubah saat salah satu guru pindah tugas. Sudah beberapa bulan aku resmi mengajar di kelas 6 untuk mempersiapkan mereka menghadapi Ujian Nasional.

Raut wajah mereka yang penasaran dengan nilai rapor yang akan dibagikan terlihat jelas saat aku memasuki ruang kelas. "Pak, siapa ranking 1? Pasti Titiek yaa..", tanya Tina, salah satu murid yang mudah menerima pelajaran. "Sebelum kita mulai saat yang mendebarkan, Raju pimpin doa dulu ya!", sahut aku dari kursi yang sengaja diletakkan di tengah kelas tanpa meja. "Siap, berdoa mulai...", seru Raju ketika memimpin temannya berdoa.

Tahun ajaran 2014/2015 menjadi tahunnya Kurikulum 2013 yang susahnya bukan main untuk diimplemetasikan di sekolah seperti ini. Ketidaksiapan guru-guru dan bahan ajar yang belum datang membuat Kepala Sekolah memutuskan untuk menggunakan rapor KTSP sebagai bukti hasil belajar anak. Lagi pula rapor Kurikulum 2013 belum sampai ke sekolah kami, walaupun ada softfile panduan untuk pengisian dan cara mencetaknya sendiri.

Anak-anak sudah duduk rapi menantikan hasil rapornya. Sebelum membagikan rapor, ada beberapa pesan yang aku sampaikan, diantaranya: tidak ada keterangan ranking untuk memberikan gambaran ke mereka bahwa setiap orang punya potensi yang berbeda, ada yang pandai di matematika, ada yang di penjaskes, ada pula yang di SBK. "Lihatlah nilai masing-masing pelajaran yang kalian peroleh dan tingkatkan semua yang masih kurang," ucapku. Selain itu, ranking ternyata menjadikan beberapa anak menjadi sombong dengan merendahkan kawannya, ada juga yang menjadi minder karena mendapat ranking terakhir. Pesan berikutnya adalah mengenai sikap dan kesopanan yang harus mereka jaga selama menjalani hidup agar bisa diterima di lingkungan mana pun dan bisa memberikan kesan yang baik ketika bergaul dengan siapa pun. Nilai keperibadian dan catatan penting dari keseharian masing-masing anak dapat dilihat di rapor untuk diperbaiki dan ditingkatkan. Pesan terakhir adalah belajarlah lebih giat dari sebelumnya karena Ujian Nasional tidak lama lagi. Untuk itu, setiap anak akan dipinjamkan buku soal dan pembahasan Ujian Nasional untuk dipelajari secara mandiri selama liburan sekolah.

Pesan-pesan itulah yang terakhir aku sampaikan sebelum mengakhiri semester 1. Semua mengangguk-angguk menandakan mereka sudah mengerti apa yang perlu mereka lakukan. Semua menerima rapor dengan wajah senang karena ada beberapa nilai yang naik walaupun ada nilai yang turun. Aku merasakan perubahan yang cukup baik dari mereka, melihat dari apa yang aku perhatikan saat pertama kali mengajar mereka. Berapa pun nilai yang mereka peroleh, aku selalu yakin mereka memiliki semangat yang besar untuk belajar bagaimana mencapai kesuksesan yang mereka impikan.

Semester 1 pun berakhir. Semua berkemas dan berkumpul di depan sekolah untuk kerja bakti sebelum meninggalkan sekolah beberapa minggu. Namanya juga anak-anak, berapa pun nilai yang mereka peroleh semuanya tetap terlihat riang gembira karena akan libur panjang.

Sampai jumpa di semester 2. :)


Cerita Lainnya

Lihat Semua