Pak Imam: Kisah Pejuang Laut yang Hilang

Muhammad Ulil Amri 20 April 2013

Selasa, 12 Maret 2013

Senja mulai turun. Langit tampak memerah diiringi dengan tenggelamnya bulatan merah di ufuk barat, tanda adanya keteduhan di darat dan di laut. Suasana seperti ini selalu dinantikan para nelayan Pulau Matutuang. Kesibukan nelayan di pantai dalam menyiapkan perahu dan gumala (alat pancing) karena hendak melaut. Ya, laut sedang bagus-bagusnya setelah hampir satu bulan laut tidak bersahabat.

Namun ada suasana berbeda di kediaman Pak Hadiat  Abidul yang biasa dipanggil Pak Imam. Ternyata ada kabar yang merisaukan. Pak Imam belum pulang.

Saya akrab dengan Pak Imam dan keluarga. Pak Imam dan keluarganya sudah seperti house fam-ku. Saya sering di rumahnya dan melakukan aktifitas bersama seperti mengail, panjat kelapa, mengaji, makan dan sebagainya. Hari-hari di Matutuang selalu menyenangkan di tengah-tengah keluarga yang ramah kepada siapa saja ini.

*

Saya mendengar kabar bahwa Pak Imam dan anaknya Ari belum pulang dari melaut ketika di masjid. Biasanya pagi-pagi mereka sudah pulang jika mengail malam hari. Namun sampai malam berikutnya mereka belum juga muncul. Biasanya jika ada kejadian seperti ini ada beberapa kemungkinan: mereka hanyut terkena arus, mesin mati, perahu bocor karena terjangan ombak atau hiu, atau dirampok di tengah laut. Upaya pencarian sudah dilakukan, namun belum ada hasilnya. Besok pencarian akan dilanjutkan lagi.

Kejadian hilangnya pak imam ini sudah kali kedua. Pertama, setahun yang lalu Pak Imam dan Ari hanyut karena dihantam gelombang besar. Nasib masih berpihak kepada dua orang itu. Mereka ditemukan mengapung di dekat Pulau Kawaluso (sekitar 3 jam perjalanan dengan pumboat) sehari setelah kejadian.

Kabar hanyutnya Pak Imam ini mengingatkanku terhadap kejadian-kejadian sebelumnya. Banyak sudah kejadian orang hanyut di Matutuang ini. diantaranya Pak Pau yang hanyut sampai Malaysia, Onyol dan Mama Trice yang hanyut sampai 2 minggu, Papa Andi yang sudah 3 kali hanyut, atau nasib Edenhell, murid kelas 4 yang 3 hari hanyut sampai di Talaud karena mati mesin perahu.

Hidup di pulau yang menggantungkan penghidupan dari hasil laut memang penuh dengan tantangan. Meskipun banyak kejadian orang hanyut, namun tetap saja tidak ada orang yang kapok untuk melaut demi keberlangsungan hidup mereka. Para petarung laut ini memang sudah terbiasa dengan bahaya laut. Mereka pun biasanya sudah menghitung risiko yang dihadapi. Jika sekiranya risiko tidak bisa ditanggung, mereka akan menunda pencarian ikan atau menunda perjalanan. Namun malang tidak dapat dihindari, untung tak dapat diraih. Laut kadang tidak dapat diprediksi. Ada kalanya laut yang kelihatannya teduh, sejam kemudian menjadi ganas dan kencang. Jika demikian orang yang berada di tengah laut harus siap dengan apapun yang terjadi. Jiwa-jiwa pantang menyerah inilah yang menjadi ciri khas masyarkat Pulau Matutuang ini. Cerita mereka tentang heroisme di atas samudera memang tidak banyak di dengar. Namun semangat mereka akan terasa jika kita berada diantara mereka.

Laut biru yang luas dan dalam memberikan kekayaan melimpah bagi siapa saja yang berani menantang risiko. Bahkan risiko nyawa harus dihadapi. Laut juga memberikan kenyamanan dan keindahan bagi yang mampu menikmati anugerah illahi ini. Semakin kita mensyukuri nikmat yang diberikan, semakin bahagia dan bertambah pula nikmat dari Tuhan. Artinya, orang yang mensyukuri nikmat adalah orang-orang yang menyadari posisinya bahwa dia berada dalam lingkungan laut dibawah kekuasaan tuhan yang maha kuasa. Segala apa yang terjadi di darat maupun di laut semuanya merupakan campur tangan dari Tuhan. Tuhan lebih tahu bagaimana laut memperlakukan hamba-hambanya yang mencari penghidupan dari kekayaan laut. Demikian pula dengan kejadian yang menimpa seseorang di laut. Hidup dan matinya bergantung pada kemurahan dari Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha untuk mencari jalan keluar dan berusaha tetap memegang asa, sambil berdoa. Pada akhirnya, usaha dan doa kitalah yang menjadi penentu apakah tuhan menyelamatkan kita atau tidak.

Sering kali saya juga melakukan perjalanan pulang pergi melewati laut yang seakan tanpa batas untuk menuju Kota Tahuna. Sekadar ingin berbelanja kebutuhan, bertemu dengan teman satu tim, atau “mencari” signal supaya bisa berhubungan dengan keluarga. Jika menggunakan kapal laut bisa sehari semalam. Jika menggunakan perahu pumpboat bisa 6-7 jam. Belum lagi kalau ombak besar, bisa lebih dari itu. Rasa gentar tetap ada, namun harus cepat-cepat dikuasai. Artinya mengalahkan rasa takut dan siap menghadapi segala risiko menjadi kunci utama.

Di tengah laut, saya semakin merasa bahwa manusia ini kecil dan lemah. Kekuatan mahadahsyat yang diperlihatkan tuhan melalui kencangnya gelombang laut membuat hati ini bergetar dan kembali melantunkan kebesaran tuhan. Tidak ada daya dan upaya yang dapat dilakukan manusia dan makhluk lainnya kecuali atas kehendak Allah SWT.

Senin, 18 Maret 2013

Hari ini pula pak Pau pulang dari Tahuna dalam rangkan pencarian Pak Imam. Belum ada kabar tentang pak imam. Namun menurut Pak Pau, berdasarkan keterangan dari paranormal, Pak Imam dan anaknya baik-baik saja. Mereka sudah dekat dengan daratan, namun belum tahu dimana keberadaannya. Di sini memang masih percaya dengan hal-hal yang demikian. Tidak tahu bagaimana metodenya, yang pasti keluarga percaya dengan keterangan tersebut.

 Rencananya besok kami akan mengadakan acara selamatan di rumah pak imam.

Sabtu, 22 Maret 2013

Alhamdulillah hari ini ada kabar bahwa Pak Imam ditemukan di Talaud. Pembawa kabar adalah seorang warga Matutuang yang baru tiba dari tahuna. Kebetulan waktu dia di Kecamatan Petta ketemu dengan nelayan Talaud.

Saya gembira mendengar berita tersebut. Terlebih Ibu Imam yang sekarang sudah bisa tersenyum ceria.

Kamis, 28 Maret 2013

Kabar tentang ditemukannya pak imam semakin kabur. Jika informasi sebelumnya pak imam sudah ada di Talaud, ternyata setelah dicek, tidak ada.

Kamis, 4 April 2013

Kapal perintis Berkat Taloda datang. Sekarang siklus kapal ini setiap hari selasa per dua minggu. Saya cepat-cepat berkemas untuk segera berangkat ke Tahuna.

Berangkat pukul 15.00 wita, sampai di tahuna puku 23.00. Cepat sekali kapal ini, menurut kebiasaannya, baru pagi hari kapal biasanya baru sampai.

Sesampai di Tahuna, kami disambut dengan rapat FAS. Banyak hal yang dibicarakan seputar persiapan FAS. Sampai pukul 03.00 saya tidak tidur.

Persiapan demi persiapan terus kami lakukan untuk kesuksesan acara FAS.

Di sela-sela kesibukanku dan tim PM Sangihe mempersiapkan FAS, saya menyempatkan untuk berkunjung ke rumah orang tua Pak Imam di timbelang. Di rumahnya ada Oma, Opa, Umi, Ical, dan Odo. Kabar terakhir dari Pak Imam masih sama: belum ada kabar. Bahkan isu tentang Pak Imam yang sekarang ada di Talaud juga tidak diketahui kebenarannya. Entah dimana Pak Imam dan Ari berada.

Sabtu, 6 April 2013

Malam hari saya harus berangkat dengan kapal Kumala Ceria.  Setelah lebih dari 12 jam di atas kapal, saya sampai di Matutuang. Di pulau, banyak yang sudah meyakini bahwa pak imam dan anaknya sudah tenggelam. Namun kenyataannya belum ada bukti mengenai hal itu. Keluarga yang ada di Sangir besar masih mempercayai bahwa dua orang yang belum ada kabar ini masih hidup. Wallohu A’lam.

Selasa, 16 April 2013

Kapal Bekat Taloda datang. Hari kapal memang selalu dinantikan oleh orang pulau karena hari tersebut mereka bisa membeli bahan makanan, ketemu dengan keluarga yang dua minggu terakhir di Tahuna membawa barang-barang kebutuhan, dan satu lagi, membawa informasi aktual.

saya mendapati kak ita sudah kembali ke Pulau dengan kapal. Saya tanyakan ke dia kabar pak imam. “Belum ada kabar,” kata kak Ita.

Setelah ngobrol-ngobrol, saya naik ke kapal untuk pergi ke Tahuna. FAS sudah semakin dekat. Banyak persiapan yang harus segera diselesaikan.

Sabtu, 20 April 2013

Sampai tulisan ini di-upload, dua anak manusia itu belum ditemukan. Semoga Alloh melindungi mereka.


Cerita Lainnya

Lihat Semua