Balada Pulau Terluar

Muhammad Ulil Amri 28 Agustus 2012

Pagi-pagi saya sudah dibangunkan oleh suara gaduh murid-muridkuyang asyik bermain di rumah tempat saya tinggal. Mereka memanggil-manggil “Pak Guru... Pak Guru,”  namun saya abaikan karena badan ini terasa kaku untuk di gerakkan. Lagi pula, ini masih sangat pagi. Maklum, sehari-hari saya mendampingi anak-anak pulau yang super aktif, ditambah lagi saya harus naik turun untuk pergi ke sekolah (meskipun masih libur semester) dan mendekat ke masyarakat yang tinggal di bagian atas pulau. Dengan mata masih kriyip-kriyip”  saya akhirnya menyerah pada teriakan anak-anak. Mereka sudah mengacak-acak mainan yang semestinya bukan untuk anak SD, melainkan untuk anak PAUD. Pemandangan yang biasa saya lihat setiap hari.

Saya pun mandi. Setelah mandi saya menganjurkan anak-anak belajar membaca. Kebetulan di rumah banyak buku-buku bantuan dari Sangihe menyala dan Sekar Telkom.

“Ayo anak-anak, ba baca,  Sudah dulu mainnya.” Kataku. Sebagian anak menuruti kataku. Sebagian lain tetap sibuk dengan mainan di tangan.

Selang beberapa waktu, saya merasa bosan dengan rutinitas ini. kemudian saya berkata kepada anak-anak. Pak Guru mau jalan-jalan di pantai. Ada yang mau ikut?

Seperti biasa, Kristian, Jericho, Ical, Flodelin, dan Deo mengikuti kemana saya pergi.

Hari ini cuaca sangat cerah. Panas. Laut teduh. Langit biru, awan putih, dan tentu saja pemandangan laut biru menghampar seluas mata memandang. Pulau-pulau jauh dapat jelas terlihat. Bahkan pulau sangir yang memakan waktu sehari untuk pergi kesana juga terlihat. Indah sekali.

Beberapa nelayan sedang ber-bajubi, menangkap ikan dengan tombak. Ada pula para pekerja talud pantai sedang bekerja menyelesaikan bangunan. Agak jauh di sana, ada beberapa pekerja yang sedang menyelesaikan proyek dermaga Pulau Matutuang.

Cuaca cerah seperti ini memang sangat mengasyikkan kalau kita berenang di laut. Kebetulan ada anak-anak yang juga sedang berenang. Saya pun berganti pakaian dan..byurrr....saya berenang. Sungguh asyik.

Tiba-tiba, dari arah timur, berarak awan hitam.

Baru beberapa menit berenang, tiba-tiba ada speed boat datang dari arah pulau sangir. Saya mengira itu adalah pengawas proyek dermaga. Saya pun mengabaikannya. Kembali berenang.

Tiba-tiba, ada penduduk yang memanggil saya. Ada tamu, katanya. Ah..pasti orang yang naik speed boat tadi. Saya segera naik ke pantai.

Hujan turun rintik-rintik.

“Selamat siang, bapak siapa?” Sapa ku masih dengan pakaian basah kuyup.

“Selamat siang. Saya dari NGO Australia-Indonesia” kata petugas itu sambil menyebutkan nama.

“Ooh..AUSAID? “kataku.

“Iya”

“Ada keperluan apa pak?”

“Oh ya, saya ingin memonitor bangunan sekolah yang merupakan bantuan dari lembaga kami. Bisa saya diantar ke sekolah SMP satu atap?”

“Oh iya, maaf pak, tunggu sebentar, saya mau ganti pakaian.”

Setelah selesai ganti pakaian, saya bertemu dengan si tamu tadi.

Karena saya tidak begitu tahu soal bantuan pembangunan ini, saya berinisiatif untuk mempertemukannya dengan ibu asuh saya yang sekaligus Kepala SD Matutuang.

Setelah ganti pakaian, saya langsung membawa tamu tadi ke atas. Sekolah kami memang terletak di bagian atas pulau.

Hujan agak deras. Saya memberikan payung untuk tamu tadi. Kami berjalan sambil berkenalan dan ngobrol tentang tujuan dia ke pulau yang harus ditempuh berjam-jam melalui jalur laut ini.

“Kok tidak ada yang mengantar dari dinas pendidikan kabupaten pak?”

“Maunya sih begitu, tapi orang dinas sedang sibuk. Akhirnya saya sendirian kesini, supaya pekerjaan saya segera selesai.”

Obrolan kami cukup hangat di tengah hujan yang semakin deras.

Sesampai di rumah kepala sekolah, yang kebetulan dekat dengan lokasi sekolah, saya berhenti. Ternyata rumah sedang dikunci. Saya tanya ke tetangga, ibu sedang berada di kampung dekat masjid. Saya pun menuju kesana.

Betul.  Ibu dan Bapak sedang menemani sanak saudaranya dari pulau lain untuk meninjau kebun kelapa milik saudaranya.

Setelah saya sampaikan ada tamu dari AUSAID, ibu bergegegas menuju sekolah. Sesampai di sekolah, ibu menunjukkan bangunan yang dimaksud pemantau tadi. Sebenarnya ibu tidak ada keterlibatan soal bantuan pembangunan ini, namun karena kepala SMP tidak berada di tempat, maka ibu yang menerima tamu tadi. Ibu segera memanggil Ibu Manapa, salah satu guru SMP yang lebi tahu soal pembangunan tersebut.

 Ada beberapa catatan dari hasil temuan si pemantau. Saya tidak akan membahas temuan-temuan tadi. Saya ingin bercerita tentang kejadian setelahnya.

**

Di tengah diskusi antara pemantau, guru SMP, ibu, dan saya, tiba-tiba kami dikejutkan dengan kedatangan delapan petugas dari TNI batalyon 712. Salah seorang petugas membawa benda tajam yang biasa digunakan untuk memecah kelapa.

“Bapak dari mana dan ada urusan apa?” kata salah satu petugas dengan tegas.

“Oh maaf saya dari AUSAID, sedang bertugas untuk memantau hasil bantuan pembangunan gedung perpustakaan dan laboratorium ini.” kata Pak Taufik

“Kami mendapatkan laporan dari masyarakat, ada orang asing yang datang kesini, langsung naik ke atas tanpa lapor ke pos. Sekarang ikut kami ke pos. Bapak kami tahan dulu di pos.” Kata petugas.

Saya masih bertanya-tanya dalam hati,ada apa ini? mengapa para petugas perbatasan itu tiba-tiba datang?

Deg... saya pun teringat dengan cerita dari Yuri Alfa Centauri, Pengajar Muda sebelum saya. Dia pernah bercerita bahwa tempat saya mengabdi selama satu tahun ke depan ini bukan pulau biasa. Pulau ini memiliki keistimewaan tersendiri. Disamping pulau ini merupakan salah satu pulau terluar, pulau yang cukup terbatas aksesibilitasnya ini juga kerap menjadi jalur pelayaran tanpa melewati border, alias ilegal. Dengan begitu jalur yang melewati Pulau Matutuang sering dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab, termasuk teroris.

Saya semakin deg-degan.

*

Petugas AUSAID pun menunjukkan KTP dan tanda pengenal lainnya. Guru SMP dan Ibu Kepala Sekolah SD pun berusaha menjelaskan kalau pria ini adalah benar-benar petugas yang sedang memantau bantuan. Namun petugas tetap tak bergeming. Petugas AUSAID dibawa ke kantor desa.

Sesampai di ruangan, petugas perbatasan menanyai petugas AUSAID.  Suasana agak “panas”. Petugas TNI 712 tidak begitu saja percaya dengan keterangan yang diberikan. Dengan susah payah akhirnya petugas TNI 712 mengizinkannya menyelesaikan tugas, kemudian ia dibawa ke pos penjagaan. Sesampai di pos, petugas AUSAID diinterogasi lagi. Dengan lancar, petugas AUSAID menjawab setiap pertanyaan. Akhirnya petugas TNI 712 percaya dan melepaskannya.

“Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Bukan maksud kami menghambat tugas bapak. Karena pulau ini merupakan pulau yang rawan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” kata wakil komandan TNI 712.

Saya merasa lega.

Petugas AUSAID pun berterima kasih, dan pamit pulang. Dalam perjalanan menuju perahu, tak lupa saya meminta maaf.

Saya merasa bersalah karena saya lupa untuk melapor ke pos terlebih dahulu. Saya merasa tidak enak dengan petugas dari AUSAID maupun dengan petugas TNI 712. Namun semuanya sudah terjadi. Ini menjadi pelajaran berharga bagi saya dan masyarakat Pulau Matutuang agar lebih berhati-hati.

**

Pulau Matutuang merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan Filipina. Pulau kecil ini sangat strategis sebagai benteng pertahanan sekaligus menjadi salah satu jalur lintas negara. Berdasarkan cerita dari masyarakat dan petugas, Pulau Matutuang ini beberapa kali menjadi tempat singgah para teroris dan bajak laut. Bahkan salah satu gembong teroris Nurdin M Top pernah singgah satu malam di sini. Dari pengalaman inilah masyarakat selalu berhati-hati dengan kedatangan orang asing. Dengan alasan ini pula pulau ini sejak tahun 2000 ditempatkan petugas penjaga perbatasan dari satuan Marinir. Kemudian tahun 2006 digantikan oleh TNI AD batalyon 712 untuk menjaga keamanan dan mempertahankan pulau ini dari serangan musuh.

**

Kenapa pulau ini digemari oleh teroris dan bajak laut untuk singgah? Ini analisis yang saya buat sendiri.

Pertama, pulau ini merupakan salah satu pulau terluar Indonesia. Kedua, banyak orang Indonesia kelahiran Filipina yang menetap di pulau ini. perlu diketahui, di daerah perbatasan, ada semacam aturan khusus untuk penduduk perbatasan. Mereka bebas secara terbatas keluar masuk wilayah perbatasan yang saling berdekatan. Beberapa penduduk pulau diantara kedua negara sejak ratusan tahun yang lalu memang memiliki hubungan yang erat. Bahkan mereka saling bersaudara. Mereka sudah biasa mengunjungi sanak keluarganya yang berbeda pulau sekaligus beda negara tanpa paspor. Hanya dengan kartu khusus yang menandakan mereka ini penduduk perbatasan dan surat jalan dari kapitalaung (kepala desa), mereka sudah bisa melewati batas dua negara.

Ketiga, akses transportasi yang terbatas. Untuk menuju pulau ini hanya bisa melalui jalur laut. Itupun harus 6-8 menggunakan perahu pumpboat. Jika menggunakan kapal perintis bisa satu hari satu malam. Ini pun hanya ada dua minggu sekali.

Keempat, yang paling krusial adalah akses informasi. Boleh dibilang Pulau Matutuang ini merupakan blank area. Mengapa? Tidak ada sama sekali signal selular yang ‘mampir’ ke pulau ini. Imbas dari tidak adanya jaringan telepon ini sangat beragam. Semua informasi bisa dipastikan akan telat masuk ke wilayah ini, termasuk informasi tentang terorisme.

Hanya ada satu alat komunikasi di pulau ini yaitu radio. Alat komunikasi radio dimiliki oleh petugas navigasi dinas perhubungan. Penggunaannya tentu saja sebatas urusan navigasi.

Saya membayangkan, jika ada kejadian penting misalnya terjadi tsunami (naudzubillah), lalu tidak ada pemberitahuan  tentang itu, maka yang terjadi selanjutnya saya sendiri tidak bisa membayangkan.

Namun demikian, masyarakat Matutuang tidak pernah risau dengan hal itu. Mereka seakan sudah menyatu dengan laut. Mereka tak gentar mengarungi keganasan laut demi mencari nafkah. Mereka tak risau dengan deburan ombak pantai yang setiap saat menghantam halaman rumah. Sifat ini tercermin dengan semangat murid-murid SD yang selalu ceria dan antusias dengan pengetahuan-pengetahuan baru.

**         

Matutuang, Juli 2012

 


Cerita Lainnya

Lihat Semua