Habis Terang Terbitlah Gelap

Muh Asnoer Laagu 21 Oktober 2012

“Gelap adalah sebuah rasa, rasa dimana setitik cahaya pun tidak dirasakan. Namun jangan menjadikan gelap sebagai alasan untuk tidak menjadi kreatif. Kreatifitas tidak ditentukan oleh seberapa banyak fasilitas yang mendukung anda, namu kreatifitas seseorang tidentukan oleh kemauan keras berkreasi walaupun dengan kondisi yang serba terbatas.”

 

Setahun di desa ini, setahun juga merasakan nikmatnya gelap. Sebuah desa tertua, sebuah desa yang menjadi saksi sejarah, sebuah desa yang belum merasakan penerangan (listrik) mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan, jaman kemerdekaan, hingga jaman reformasi sekarang ini. Begitulah kondisi salah satu desa tertua di republik ini, desa yang sudah terbentuk dari jaman kerajaan hingga jaman sekarang ini, namun masih belum diberi setitik cahaya oleh para pemegang kekuasaan. Dibalik semua keterbatasan cahaya tersebut, tidak menjadikan masyarakat desa ini untuk berdiam diri tanpa ada penerangan, dengan pengetahuan yang didapatkan melalui pengalaman, banyak yang menciptakan listrik dari mesin – mesin dengan bahan bakar produksi sendiri.

Pak surat (46 tahun) memodifikasi mesin genset berbahan bakar bensin, menjadi mesin genset yang hanya butuh bahan bakar dari minyak tanah yang kebetulan waktu itu harga minyak tanah lebih murah dibanding minyak bensin. Pak bakar (38 tahun) memodifikasi solar panel pemberian pemerintah yang sudah rusak sehingga bisa berfungsi kembali dengan bantuan atap zeng dalam mengcapture sinar matahari. Sehingga beliau di juluki sebagai “pak bakar” karena bisa membakar sinar matahari menjadi listrik. Dan masih banyak lagi “edison – edison” lain dengan berbagai modifikasi yang unik. Walaupun mereka hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar dan tidak sempat lulus, namun pengalaman mengajarkan mereka untuk tetap kreatif.

Kedatangan rombongan serikat karyawan Telkom (SEKAR Telkom) beberapa waktu lalu dalam kegiatan Bakti Bagi negeri (BBN), sedikit memberikan angin segar dalam menyikapi permasalahan ketiadaan penerangan. Rombongan BBN tersebut memberikan hadiah lampu DC beserta Accu-nya, dimana accu untuk battery lampu DC bisa di charge pada kendaraan bermotor. Di desa ini, sepeda motor paling banyak digunakan untuk transportasi sehari – hari. Ternyata, untuk charge accu lampu DC tersebut dimodifikasi lagi oleh PM agar bisa di charge bukan hanya pada kendaraan bermotor, namun bisa di charge –ada genset – genset yang sudah rusak, terutama pada genset masjid yang jarang digunakan.

Sekarang, kami sudah tidak takut gelap lagi, ketika malam datang sumber – sumber listrik modifikasi pun siap menjalankan aksinya. Di malam hari, kami bisa belajar, berlatih kompang, mengaji, dan berbagai kegiatan lainnya dengan penerangan tersebut. Dengan sumber – sumber listrik modifikasi tersebut, kami bisa menikmati penerangan yang awalnya hanya dinikmati 3 – 4 jam saja namun sekarang bisa dinikmati semalam penuh. Bayangkan saudara – saudara kita yang tinggal diperkotaan, selalu mengeluh ketika lampu mati. Disini menikmati penerangan yang hanya beberapa jam saja merupakan suatu rasa syukur yang tidak ternilai harganya.

Habis terang terbitlah gelap, mungkin sudah tidak kami rasakan lagi, berkat kemampuan sedikit kreatifitas untuk mengubah kondisi yang sebelumnya terjadi. Saat ini, kalimat yang cocok untuk menggambarkan keadaan kami disini, mengutip dari perkataan R.A kartini “habis gelap terbitlah terang”. Jangan takut gelap, di balik kegelapan itulah sisi kreatifitas manusia muncul dengan sendirinya. Insting dasar manusia, ketika semakin terdesak maka akan selalu berusaha untuk segera keluar dari desakan tersebut. Di balik kegelapan banyak cahaya terang yang akan menyambut kita dengan jembatan yang disebut kreatifitas.

Salam membara dari ujung timur pulau bengkalis


Cerita Lainnya

Lihat Semua