info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Gaung Ayat di Tengah Laut

Mohamad Arif Luthfi 30 Oktober 2011

 

Mengawung orang Sangir menyebutnya. Jika dalam bahasa sehari-hari banyak dari kita yang menyebutnya dengan mengail atau memancing.

Malam itu, tepatnya pukul 21:34 wita, aku berangkat mengawung bersama seorang nelayan asli Sangir, Mading Bawoel. Aku mengawung bersamanya dengan menggunakan perahu kecil berukuran panjang tiga meter. Dengan mengenakan life-jacket oranye, aku meyakinkan diri untuk mendapat sensasi pengalaman mengawung kali pertama di malam hari. Malam itu kebetulan bulan bersinar lumayan terang, meski tidak begitu cemerlang. Tapi nuansa sinarnya cukup memberi kehangatan sebagai sahabat untuk menemani.

“Mas, kamu angkat bagian depannya! Saya angkat yang belakang.” Seru Mading.

Kami angkat perahu kecil itu. Aku rasakan angin bertiup sangat lembut dan gelombang ombak cukup tenang. Suasana malam sangat bagus. Langkah kami menuruni tanggul pantai sambil mengangkat perahu kecil itu. 

Ceeess... lumayan dingin kulit kakiku menyentuh air laut yang menjulur-julurkan lidahnya di pinggir laut. Aku turunkan perahu itu perlahan dan aku menaikinya. Aku duduk di bagian depan perahu. Aku pegang satu dayung tanpa ku gerakkan sama sekali karena tak tahu bagaimana harus menggunakannya. Aku hanya merasakan perahhu kian berjalan tenang dan cepat kearah depan. Aku lihat Mading menggerak-gerakkan dayungnya dengan nikmat. Sesekali dia tersenyum melihatku takjub dan kagum melihat permainan dayungnya.

“Mading, bagaimana cara mendayung yang benar?”

“Kalau haluan perahu ingin lurus, maka gerakkan begini saja.” Mading menunjukkan gerakan dayungnya mirip seperti huruf i.

“Lalu bagaimana jika ingin berbelok?” Tanyaku.

“Beri saja sedikit sentuhan seperti ini.” Mading mengayunkan dayungnya mirip seperti dengan bentuk celurit. Tinggal kita meletakkan dikanan atau dikiri. Kalau dikanan, maka yang diinginkan adalah berbelok kekiri. Tetapi jika dayung diletakkan disebelah kiri, artinya perahu dibelokkan kearah kanan.

Aku betul-betul menikmati suasana malam itu. Sangat romantis laut malam itu, sungguh. Ombaknya mengalun merdu. Angin semilirnya bertiup sangat mesra. Apalagi cahaya bulan, ia bersinar sedikit menutup tawanya, tapi senyum itu sangat terasa. Perahu terus berjalan kedepan. Kedua mataku hanya melihat hamparan luasnya laut yang tak bertepi. Bisikan-bisikan angin yang menelisik pada telingaku mulai terdegar. Indah sekali. Aku sangat menikmati bisikan mesra itu;

“Are you ready to go back to Titanic?” Bisiknya.

“It has been eighty four years and I can stiil smell the first trip. The joy that I’ve been ever used. Titanic was called...” Lirih jawabnya.

Iya, percakapan itu yang menelisik dalam langit-langit telingaku. Dalam perahu kecil itu, tiba-tiba mataku terpejam selama satu tarikan nafas panjang yang tak bertepi. Pikiranku dibawa berkelana menyusuri setiap jengkal film fenomenal, Titanic. Mataku masih terpejam rapat. Jari-jemariku dengan perlahan melepas dayung. Aku rentangkan kedua tanganku. Membuka selebar-lebarnya. Kepalaku agak mendongak sedikit keatas. Aku merasakan tiupan angin membelai setiap bulu tipis kulitku. Bulu-bulu itu berdiri dengan lembut. Aku sangat merasakan. Bulu-bulu itu bergoyang perlahan. Ia menari disekujur tubuhku. Nafas keluar masuk dengan perlahan dari lubang hidungku. Dalam keindahan itu, aku mendengar suara lembut Mading;

“Mas lihat, umpan kita dimakan ikan mameha. Warnanya indah sekali, merah.”

Mataku masih terpejam. Aku merasakan angin membelai lembut pada setiap lekuk tubuhku. Ia menelusup masuk pada cela-cela jemari tanganku. Aroma segar bercampur dingin samudera terasa mengirimkan sejuk pada rongga dada dan ia membasahi dinding organ tubuhku yang sudah lama menanti guyuran hujan dari terik matahari kemarau yang tak berparkir. Sejuk itu terasa naik turun didalam rongga dadaku. Ia terasa seolah memainkan irama musik syahdu bernuansa cinta. Ia mengeja rindu pada malam ditengah luasnya samudera. Pada rindu yang mengeja itu, suara Mading kembali merangkai kata;

“Mas lihat, umpan kita dimakan ikan panamburang. Warnanya indah sekali, merah.”

Mataku masih terpejam. Aku merasakan ada instrumen piano yang berdendang dalam sejuk. Indah. Indah sekali. Baru kali itu aku mengalami keindahan yang luar biasa dahsyat. Seolah tubuh merasakan dingin dalam mandi yang tak setitik pun menggunakan air embun. Seluruhnya air embun. Sejuk sekali.

Mataku masih terpejam. Dawai-dawai melodi itu masih saja dipetik. Suara melankoli itu merayu. Suaranya tegas bercerita tentang cinta. Ia bacakan firman Ilahi dari langit.

“Wahuwal ladhi jaala lakumul laila libaasaau wannauma subaatau wajaalannahaara nusyuuran. Wahuwal ladhii arsalarriyaaha basrombaina yadairohmatii wa anzalanaa minassamaai maa an tohuuroon. Linuhyiyaa bihii baldatammaitau wanusqiyahu mimmaa kholaqnaa an aamau wa anaa siiyya katsiroon. Wa laqod sorrofnaahu bainahum liyaddakaruu fa abaa aksarunnasi illa kufuuroon.”

“Dia-lah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. Dia-lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak. Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (darinya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat)”

Aku masih merasakan sejuk yang lembut. Perlahan mataku mulai membuka. Sedikit demi sedikit, keduanya mulai menerima cahaya yang masuk. Bisikan mesra itu masih menggema di jantung telingaku. Ia menghujam ulu hati. Dahsyat, tapi tidak melukai. Justru mencahayai. Indah sekali. Dan kedua daun telingaku mulai menangkap keutuhan-keutuhan suara-suara itu. Suara itu terdengar sangat mendayu tegas. Suara itu menggema. Matakupun melirik pantulan-pantulan gema itu bersumber. Aku menoleh. Gundukan hitam besar diseberang mata. Suara itu. Iya, suara itu.

“Kamu mendengar suara merdu itu, Mading?”

“Itu suara tadarus Al-Qur’an dari pulau itu, dari dalam masjid Ar-Rahmah Lipang.” Tutur Mading sambil menunjuk gundukan hitam besar diseberang mata kami.

“Itu Al-Qur’an surat Al-Furqan ayat empat tujuh sampai lima puluh.” []

Lipang, 19 Agustus 2011

23:14:05 wita


Cerita Lainnya

Lihat Semua