Kandasnya Mimpi Hamid

MOH ZAHIRUL ALIM 9 September 2018
Bukan maksud diri berbagi nestapa, setiap orang memiliki garis takdirnya masing-masing. Baik-buruk, susah-senang, bahagia-sengsara selain memang sudah ada yang mengatur ada faktor lain yang turut menentukan akan seperti apa nasib manusia. Bisa jadi diri sendiri, bisa juga orang lain, orang terdekat, dan lingkungan sekitar. Tulisan ini akan bercerita tentang kandasnya mimpi seorang anak bangsa yang hidup di Pulau Kerdau, Subi, Natuna, salah satu pulau terpencil Indonesia. Letaknya di penghujung negeri yang penuh dengan keterbatasan dan ketertinggalan. Mimpinya kandas bukan karena ia tidak bisa bersaing, bukan pula karena tidak mampu, justru karena paradigma terbalik yang dimiliki ibunya. Sang ibu tidak merestui sang anak pergi meraih cita-cita mulia mengenyam pendidikan gratis dari bangku pendidikan SMP-Perguruan Tinggi di kota penuh peradaban Bogor. Hari itu saya ada jadwal mengajar Bahasa Inggris di Kelas VI, di sela-sela mengajar saya menyempatkan waktu untuk menyampaikan informasi dan kabar tentang seleksi beasiswa Smart Ekselensia, sebuah program beasiswa dari Yayasan Dompet Dhuafa bagi murid SD yang akan tamat dari keluarga kurang mampu untuk megenyam penddikan gratis dari bangku SD sampai Perguruan Tinggi. Mendengar informasi yang saya berikan, anak-anak merespon dengan cukup antusias. Hamid misalnya, anak yang berdarah Buton-Melayu ini sesekali bertanya: “Pak, kalau lolos seleksi berarti nanti pergi ke Bogor ya pak?”. Berbeda dengan Hamid, Desta merespon berbeda dengan bertanya: “Pak, nanti tesnya apa saja?”. Mengetahui respon mereka positif, saya kemudian menjelaskan bahwa seleksinya terdiri dari beberapa tahap, mulai dari seleksi administrasi, tes potesi akademik, wawancara dan psikotes, pantukhir, kunjungan ke rumah, dan pemberangkatan ke Bogor. Nantinya siapapun yang terseleksi harus bersedia ditempa di asrama yang ada di Bogor. Mendengar penjelasaan saya Tesi bertanya:” Misal lolos seleksi, tapi tidak jadi pergi bagaimana pak? Tanya Tesi. Saya pun mencoba menjawab bijak, dengan tidak memadamkan niat dan semangat mereka. Saya katakan kepada mereka: “ Kalian tidak perlu pusing degan urusan jadi pergi atau tidak jadi pergi, yang terpenting sekarang itu adalah kabari orangtua, minta izin sama mereka mau ikutan seleksi beasiswa, dan segera isi formulir beasiswa”. Saya tutup jam mengajar saya di kelas VI hari itu dengan membagikan formulir beasiswa yang bisa anak isi sepulang dari sekolah. Esok harinya saya berkonsultasi dengan Wali Kelas VI dan Kepala Sekolah perihal rencana saya ingin mendaftarkan anak-anak murid kelas VI mengikuti seleksi Beasiswa Smart Ekselensia. Respon mereka sangat mendukung, karena itu saya semakin percaya diri untuk mengirimkan berkas murid-murid kelas VI, apalagi ini pengalaman pertama bagi sekolah mengikutkan anak-anak dalam seleksi beasiswa. Sepulang sekolah, tiga murid kelas VI mendatangi tempat saya tinggal, mereka bertanya tentang formulir yang harus mereka isi seperti data keluarga, data penghasilan orangtua, rekomendasi kepala desa, dan izin orangtua. Saya jelaskan satu persatu dengan harapan mereka bisa mengerti bagaimana mengisi formulir beasiswa dengan benar. Saya sampaikan kepada mereka, bahwa batas akhir pengriman berkas tinggal menghitung hari, jadi saya minta mereka segera mengisi dan mengumpulkannya kepada saya. Gayung bersambut, keesokan harinya mereka mengumpulkan formulir yang sudah mereka isi. Saya pun segera memproses berkas mereka. Dengan keyakinan utuh, dan dengan mengucapkan basmalah pagi hari itu saya titipkan berkas pendaftaaran beasiswa anak-anak murid kelas VI SDN 005 Pulau Kerdau kepada nelayan Kerdau yang kebetulan hari itu bepergian ke Pulau Serasan untuk kemudian dijemput oleh Andre, rekan kenalan saya, petugas Kantor Pos Serasan di Pelabuhan Tanjung Setellung, Serasan, tepatnya di gudang tempat bongkar muat ikan. Hari demi hari berlalu, beberapa minggu kemudian ada panggilan masuk ke handphone saya mengabarkan bahwa berkas anak-anak murid saya sudah diterima panitia dan akan segera diproses. Dua minggu setelah tu, saya mendapat telepon lagi yang mengabarkan bahwa dari tiga anak murid saya yang mendaftar dua orang lolos seleksi administrasi dan berhak mengikuti tes potensi akademik. Hamid dan Desta dinyatakan lolos seleksi administrasi dan diundang mengikuti tes tertulis berupa tes potensi akademik yang terdiri dari tes bidang studi Matematika, Bahasa Indonesia, Pengetahuan Agama, serta Tes Potensi Diri. Guna menghadapi tes tersebut, saya memberikan bimbingan dan pembinaan khusus sebagai bekal persiapan mereka. Hari H pelaksanaan tes pun tiba, Kepala Sekolah menugaskan saya untuk mendampingi mereka. Kebetulan ada kebijakan khusus dari panitia untuk peserta seleksi yang berasal dari pulau terpencil, panitia yang jemput bola. Semula tes potensi akademik dijadwalkan berlangsung di Batam, namun kemudian diganti dengan tes di kecamatan asal peserta seleksi. Karena jarak Kerdau menuju Kecamatan Subi sekitar 3 jam dan aksesnya jauh serta mahal, pihak panitia di Batam memutuskan bahwa pelaksanaan seleksi akademik diadakan di SMP Satu Atap Pulau Panjang, pulau terdekat Kerdau, jika naik Pompong hanya sekitar 15-20 menit. Dari dua anak yang mengikuti tes potensi akademik satu orang bernama Hamid Rizal masuk peringkat enam besar se Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) alias dinyatakan lolos seleksi akademik dan diundang untuk mengikuti tes wawancara-psikotes di Batam. Semua akomodasi dan transportasi ditanggung panitia penyelenggara, namun di sinilah letak sialnya. Mental juara anak yang mulai terbangun, cita-cita besar yang semakin menyala terhambat pola pikir orangtua yang merisaukan kondisi keselamatan anaknya kalau nanti anak yang bersangkutan lolos lagi dan harus berpisah dengan anak. Saya, pihak panitia sampai Kepala Sekolah turun tangan untuk membujuk dan berunding dengan orangtua sang anak guna memberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak, keluarga, dan masyarakat desa Pulau Kerdau sendiri. Saat awal-awal saya mendatangi orangtua Hamid untuk menyampaikan kabar gembira sekaligus untuk bermusyawarah terkait undangan wawancara di Batam, ayah-ibunya terlihat senang bercampur bingung dan kaget. Senang karena ternyata anak mereka bisa melewati tes dengan baik, bingung serta kaget karena mereka tidak menyangka sama sekali bahwa sebentar lagi jika direstui anaknya akan benar-benar pergi ke Batam lalu ke Bogor. Mereka mengira formulir yang telah Hamid isi dan atas sepengetahuan mereka tidaklah bersifat serius, dengan bahasa lain hanya formalitas belaka. “Pak, saya tidak menyangka, kok jadi beneran ya? Saat saya menandatangani formulir anak saya, saya mengira, pasti tidak akan lolos, ternyata sekarang lolos.” Kelakar La Uwa ayah Hamid. Menanggapi celoteh ayah Hamid, saya hanya berkata :”Iya nih pak, Hamid anak bapak sukses melewati tes bidang studi dan diundang wawancara ke Batam, kesempatan langka yang tidak akan datang dua kali, jadi sayang kalau tidak diambil. Apalagi semuanya ditanggung, gratis, tingggal jalan, tinggal belajar saja”. Bujuk saya kepadanya. Mendengar kelakar saya, ayah Hamid kembali menanggapi :”Iya juga pak, sekarang saya sehat, kan tidak ada yang menjamin saya bisa sehat terus, kalo saya tidak sehat artinya tidak bisa kerja lagi, lalu siapa yang akan memikirkan pendidikan Hamid? Biar nanti saya konsultasikan dulu dengan kakek nenek Hamid di Buton”, kata La Uwa. Berbeda 180 derajat dengan pendapat suaminya, Desi Epriani atau yang akrab dipanggil Edes, ibunda Hamid berpandangan berat melepas anaknya. Ibu tiga orang anak ini juga tidak setuju dengan pendapat suaminya, ia menganggap suaminya lebih mementingkan harta daripada anak. “Saya keberatan pak jika harus melepas Hamid, ia masih kecil pak, belum sunat juga, kalau nanti ada apa-apa dengan anak saya, misal dia sakit bagaimana? Siapa yang merawat? Kau juga, lebih mementingkan harta daripada anak”. Begitulah dinamika yang terjadi saat saya mencoba mengajak muyawarah orangtua Hamid. Mengetahui suasana musyawarah cukup alot, saya mencoba menenangkan mereka. Di detik-detik akhir proses negosiasi, saya hanya bisa mengatakan kepada ibu dari anak murid saya bahwa penyesalan tidak datang di awal, tolong pikir-pikir lagi kesempatan dan peluang langka ini. Saya memberi waktu satu hari untuk ayah-ibu Hamid berpikir dan melakukan Istikharah guna memutuskan hal terbaik bagi masa depan Hamid. Untuk diketahui hanya ibunya yang merasa keberatan, ayahnya tidak. Keesokan harinya, menjelang berakhirnya batas waktu konfirmasi kehadiran untuk mengikuti undangan wawancara dan psikotes di Batam saya meminta dengan hormat kepada Kepala Sekolah untuk ikut membujuk orangtua Hamid sekaligus memastikan jawaban akhir mereka seperti apa. Kepsek pun turun tangan, mendatangi rumah orangtua Hamid, mengajak berunding dengan mereka. Ternyata langkah persuasif tidak ampuh membuka mindset ibu tersebut. Walaupun ayah Hamid setuju, keluarga besar Hamid dari ayahnya juga setuju, karena ibunya tidak setuju sehingga ayah Hamid mengalah dan diputuskan bahwa Hamid tidak akan berangkat ke Batam. Akhirnya Hamid pun kalah tanpa bertanding, ia harus membuang percuma peluang emas yang sudah di depan mata, mimpinya bisa menempuh pendidikan berkualitas dari bangku SMP sampai perguruan tinggi di kota pendidikan sekelas Bogor kandas sudah. Cerita tentang lolosnya murid saya ini cukup viral dan sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan warga desa. Yang mengerti, pola pikirnya selangkah lebih maju semuanya menyayangkan keputusan akhir ibu tersebut yang memilih untuk melepas kesempatan emas sang anak bisa meraih beasiswa. Dari sini, pola pandang anak dan para orangtua di Desa Pulau Kerdau mulai terbangunkan, selama ini mereka beranggapan bahwa kalau mau sekolah atau kuliah harus berduit, harus kaya. Nyatanya tidak, anggapan tersebut keliru besar. Apa yang dialami oleh Hamid adalah bukti nyata bahwa untuk bisa sekolah tidak harus kaya dan berduit. Modalnya hanya niat, semangat, kerja keras, prestasi, dan doa. Jika saja ibunya mengizinkan mungkin sejarah besar yang benar-benar fenomenal akan sangat menghentak jagat pendidikan Kerdau, Subi, dan Natuna.

Cerita Lainnya

Lihat Semua