Mengajar Lebih jauh, Menginspirasi Lebih banyak

Mochammad Subkhi Hestiawan 25 Oktober 2011

Deru Mesin 2 tak 110cc meraung membahana memecah kepolosan siang itu, telapak-telapak roda mulai membekas dijalan-jalan koral. Dibelakang jiwa-jiwa yang khawatir menatap ikhlas dengan senyuman sendu. Aku mulai bergerak ke fak-fak pertama kali dengan Motor hijau merah pinjaman ini. mesin menderu berat, gas tidak stabil dan roda-roda yang bergoyang tak kupedulikan. sedikit demi sedikit aku tempuh dengan pasti jalan-jalan mendaki itu. Pertama kali aku mencoba menempuh perjalanan dari kampungku onim sari di distrik bomberay ke kota fak-fak dengan motor sendiri. medan yang kulewati sepanjang 154 km ini tak main-main salah sedikit saja jurang-jurang menganga menunggu menelan siapa saja yang terlena. Niatku sudah bulat perjalanan pertama untuk programku ini harus berjalan dengan sumberdaya seminim apapun.

            Motor Pintar Indonesia Mengajar begitulah aku menyebutnya, tiba-tiba ide itu tercetus setelah melihat lalulalang motor Pak mardi, warga desaku. Warnanya senada dengan warna-warna kesegaran dan keberanian khas Indonesia Mengajar. Aku ingin  menjangkau sekolah-sekolah di pedalaman fak-fak dan di distrik Bomberay serta sekolah- sekolah tempat kedelapan temanku para pengajar muda mengajar mereka tersebar di 8 kampung di tujuh distri seluruh kabpaten fak fak (Offie- teluk patipi, Pikpik-Kramomongga, Kampung Baru-Kokas, Arguni-Kokas, Urat-Fakfak timur dan Tarak-Karas), tujuanku sederhana tertuang dalam tagline program ini Mengajar lebih jauh dan menginsipirasi kebih banyak. ada dua sasaran langsung dari program ini yaitu Anak-anak Usia sekolah dan Guru. Selain itu juga ada dua sasaran tidak langsung yaitu Pengajar muda serta pemangku kepentingan di kampung yang dikunjungi. Membagi sedikit ilmu, harapan dan Optimisme kepada mereka anak-anak papua yang karena alasan-alasan termarginalkan dengan gelimangan kekayaan alam. Aku ingin membukakan jendela-jendela Ilmu melalui sebanyak mungkin buku yang bisa aku bawa nantinya.

            Rehat sejenak didekat kampung mambuni-mbuni setengah perjalanan sudah dilalui tetapi dari situlah adrenalin kita akan meningkat waspada dengan medan yang semakin  terjal dan jalan-jalan rata diganti dengan tanjakan-turunan kerikil yang licin. di puncak tertinggi yang bisa dilalui kendaraan ada sebuah kampung pikpik namanya disitulah teman pengajar muda bernama angga di tempatkan. Niatku adalah menyambangi dia sejenak dan melihat keadaannya. Aku menghampiri anak kecil hitam kerempeng dan aku memperkenalkan diri.

“Adik nama kakak Subkhi saya teman pak angga, saya pengajar pemuda Di Bomberay, Pak angga pu rumah mana ?”, tanyaku singkat. Sedikit senyum tersungging diwajahnya, lalu lugas dia menjawab, “pak Angga su ke kota jadi dong tarada dirumah” begitu dia jawab. “Terima kasih adik, kalo begitu pak guru lanjut dolo ke kota” aku jawab dengan cepat.

 Aku bergegas pergi karena mengejar matahari yang semakin menggelincir ke barat, aku menyesal tak bertanya namanya, tapi senyuman kecilnya itu tak akan kulupa menghapus lelah perjalanan yang sedari tadi mulai memuncak.

Tanah dan kerikil masih menjadi teman setia yang berbahaya. Turunan curam menanti didepan setelah tanjakan panjang yang tak kalah sadisnya. Kampung-kampung yang kulewati penuh dengan orang tersenyum dan menyapa  Kwamkwamur, mamur, nampbuktep. Kerinduanku pada hitam aspal terobati mulai kampung kayuni, disini walau tak lagi ada permukaan rata tersisa tetapi jalan sudah beraspal. Kabut mulai turun di taman anggrek 24 km jalan tersisa menuju Kota fakfak. Lampu depan sudah kunyalakan untuk sedikit mengurai pekat kabut. Hawa dingin mulai menyusup diantara windproof jacketku. Kelelahan semakin nyata terasa dipunggung, kehadiran carier 60 l semakin menyiksa badan. Aku rasakan roda-roda motor semakin gila bergoyang. Aku berhenti sejenak dan memandangi karet bundar yang kehilangan isinya. Ban motorku kempes, aku berharap ini tidak parah sehingga aku hanya mengeluarkan pompa untuk menambah angin saja. Sebelum perjalanan memang pak kepala sekolah dan pak mardi (sang empunya motor) telah menyiapkan semua peralatan bengkel dan barang-barang yang dibutuhkan untuk menghadapi keadaan darurat dijalanan mulai dari kunci pas, pembuka ban, tang, kunci inggris, obeng, pompa dan tak lupa cadangan ban dalam serta bensin tambahan. Syukurlah ban mulai mengembang dan perjalanan dapat diteruskan.

Malam mulai menggelayut ketika gerbang kayu kokoh menyambutku. “Akhirnya aku selamat sampai tujuan” batinku berteriak. Alhamdulillah, Sebuah awal yang cukup baik untuk sebuah kenekatan. Programku ini masih butuh banyak dukungan dari semua pihak, semoga ini adalah jawaban dari skeptisme tentang perjuangan bagi pendidikan Indonesia.

“Wong Pinter kalah karo wong bejo, wong bejo kalah karo wong nekat”

(Orang Pintar kalah dengan orang beruntung, orang beruntung kalah dengan orang nekat)

Fakfak, 29 September 2011

NB : Thanks To Pinjaman F1ZR 2004-nya Pak Mardi (Motormu berat di bensin)


Cerita Lainnya

Lihat Semua