info@indonesiamengajar.org (021) 7221570 ID | EN

Berhitung dengan Lidi

Mo Awwanah 20 Desember 2011

Dipungutnya batangan-batangan kecil ramping itu dari dalam tasnya. Jari-jari mungilnya pun bekerja dengan lincah diikuti komat-kamit bibir yang tak kalah lajunya. Sebentar-sebentar dia nampak menggelengkan kepalanya seraya berujar, “Keliru!”, kemudian diulanginya lagi cara yang sama dengan mata jeli dan lebih konsentrasi. Lama kuperhatikan dia berlaku demikian, hingga aku teringat pada sebuah kisah.

Kawan, kalian pasti pernah nonton film ‘Laskar Pelangi’, kisah Bu Muslimah dengan sepuluh muridnya di Belitong. Dalam cuplikan film tersebut, ada penggambaran kontradiksi fasilitas belajar antara murid di SD Muhammadiyah Gantong dan SD PN Timah yang letaknya bersebelahan. Ketika murid di SD PN Timah sudah menggunakan kalkulator untuk berhitung, Lintang dan kawan-kawannya masih menggunakan lidi untuk menyelesaikan soal Matematika. Tidak bermaksud membandingkan kondisi Bu Muslimah dengan yang kualami, karena yang dialami Bu Muslimah sudah akhir tahun 70-an yang lalu, bukan di abad milenium seperti saat ini. Tapi percaya atau tidak, ada hal serupa yang terjadi di sini kawan. Suatu hari aku mengisi pelajaran Matematika untuk kelas IV dengan topik Faktor Persekutuan Terbesar (FPB). Tentu kalian masih ingat bahwa ‘Faktor’ adalah bilangan-bilangan yang membagi habis suatu bilangan.

Saat kutanya apa saja faktor dari bilangan 8, semua murid mulai berhitung di benaknya masing-masing. Tanpa sengaja kuperhatikan seorang murid mengangkat kedua tangannya sejajar dada dan mulai berhitung dengan jari-jari kecilnya. Dia menorehkan tinta di lembaran bukunya setiap kali berhasil menemukan faktor dari bilangan 8 melalui metode hitung jarinya. Kemudian kuberikan soal dengan tingkat yang lebih sulit, menemukan faktor dari bilangan dua angka, 49. Aku penasaran apakah dia akan tetap berhitung dengan menggunakan jarinya atau punya metode yang lain. Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebungkus plastik hitam yang tidak dapat kuterka isinya. Betapa kagumnya aku, ketika ternyata yang ada di dalam plastik itu adalah senjata ampuhnya, seikat lidi. Dia pun mulai mengelompokkan lidi-lidi tersebut, dan membaginya sebanyak bilangan yang dianggapnya dapat membagi habis bilangan 49.

Murid-murid yang lain sudah menemukan beberapa bilangan yang menjadi faktor dari bilangan 49, namun setiap menemukan satu bilangan mereka akan selalu bertanya, “Bu, Bu, tengoklah Bu, ini benar?”. “Benar!”, jawabku, “Benar-benar menggemaskan!”, batinku. Jika faktor dari bilangan 49 ada tiga bilangan, dan kalau ada empat murid saja yang setiap kali mau menulis jawabannya selalu bertanya demikian, maka paling tidak aku harus menjawab ‘Benar!’ sebanyak 12 kali, bagaimana pula dengan jumlah faktor yang dimiliki bilangan lainnya? Padahal hasil pekerjaan mereka akan ‘diponten’, dinilai versi mereka. Pastilah hasilnya akan benar semua, karena sudah memastikan jawabannya sebelum dinilai. Berbeda dengan Tedi, berkat lidi-lidinya dia cukup percaya diri dengan jawabannya sendiri. Dia baru memastikan kebenaran jawabannya saat dikerjakan bersama atau ketika dinilai.

Tedi, anak yang kemauan belajarnya saaangat tinggi! Meskipun sederhana, alat tulisnya tergolong paling lengkap di kelas ini. Dia satu-satunya di kelas yang punya kotak pensil. Dia juga satu-satunya yang punya tip x. Tidak hanya di kelas, melainkan juga dari semua murid di sekolah ini, lagi-lagi hanya dia yang berhitung dengan lidi. Kemampuan berpikirnya boleh dibilang lebih lambat daripada teman sekelasnya, namun upaya dan ketahanannya dalam menyelesaikan suatu persoalan tidak perlu diragukan. Pada beberapa kali pertemuan, dengan mata pelajaran yang berbeda-beda, kuamati dia cukup tekun dan teliti dalam menjawab setiap pertanyaan. Memang, waktu yang dia butuhkan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya lebih lama dibandingkan teman-temannya, tapi dengan lebih sering latihan, aku yakin dia akan menjadi ‘problem solver’ yang cepat dan akurat.


Cerita Lainnya

Lihat Semua