Muridku Ingin Jadi Pengajar Muda

Milastri Muzakkar 26 Januari 2012

“Saya ingin jadi Pengajar Muda seperti ibu,”  kata muridku suatu sore, di teras depan rumah.

“Ha? hahaha...” Responku refleks.

Tentu saja tidak bermaksud meremehkan tapi cukup terkejut mendengar pernyataan itu. Anak SD berfikir menjadi Pengajar Muda? Hmm... menarik!

“Kok bisa, memangnya Lia tahu apa tentang Pengajar Muda?,” tanyaku memacing pembicaraan.

“Yah, kayak ibu gitu, ngajar anak-anak di sekolah. Cita-cita keduaku setelah dokter kan jadi guru, Bu. Bisa jalan-jalan ke seluruh Indonesia, dapat pengalaman, ilmu dan wawasan. Kita juga jadi imajinatif  dan kreatif,” Jawab Lia seraya tersenyum.

“Imajinatif ? Apa tuh imajinatif ?,” tanyaku sambil tersenyum.

“Hehe... yah, itu misalnya kita berhayal atau membayangkan sesuatu,” jawab Lia lagi.

“Kalau cuma mau keliling-keliling Indonesia nggak harus jadi Pengajar Muda. Kalau ada uang juga sudah bisa keliling-keliling kan?,” kataku dengan nada sedikit memancing.

“Iihh..., beda bu. Iya sih bisa tapi beda kalau jadi Pengajar Muda. Saya kan juga maunya sambil ngajar anak-anak, bisa berbagi pengalaman-pengalaman, bisa bikin yang kreatif-kreatif, kayak ibu gitu deh...! Pokoknya saya inginnya jalan-jalan tapi yang pintar,” lagi-lagi Lia menjelaskan tapi  dengan wajah sedikit serius.

“Hmm..., emang apa bedanya antara sebelum ada Pengajar Muda di sekolah dengan sekarang?,” Tanyaku lagi.

“Banyak bu. Dulu, saya malas ke sekolah. Sampai dipukul-pukulin sama Ayah karena nggak bangun-bangun hehe...! Tapi sekarang, semenjak ada Ibu saya jadi rajin ke sekolah. Saya nggak mau ketinggalan pelajaran. Sehari aja nggak masuk sekolah saya ketinggalan ilmu,  lagu-lagu, cerita-cerita, tepukan-tepukan, dan semuanya deh...,” tambah Lia.

            “Anak-anak di sini juga lebih pintar. Kadang-kadang ada pelajaran, kayak bahasa Inggris itu yang sudah dipelajari di rumah tapi di sekolah belum. Kayak Dillah (siswa SMP yang juga biasa belajar di rumah) katanya ada pelajaran yang belum dipelajari di sekolah tapi di sini sudah belajar. Jadi kita lebih pintar dong daripada anak SMP hehe...,” kata Lia lagi.

“Ibu itu selalu mengingatkan saya, misalnya, “Lia, jangan lupa sebelum tidur kita harus sikat gigi untuk kesehatan!” . Sejak itu, kalau mau tidur saya sikat gigi dulu. Tapi ibu itu mengingatkannya nggak memaksa, tapi nggak berhenti-berhenti juga. Kalau saya belum menjalankannya, ibu pasti  terus, terus, terus... bilangin saya. Ibu itu lebih dari orang tua saya,” jelas anak yang duduk dibangku kelas lima itu.

Saya agak kaget mendengar kalimat terakhir Lia. Kok bisa ia membandingkan saya dengan orang tuanya. Saya memang bertetangga dekat dengan Lia. Hampir setiap hari menghabiskan waktu bersamanya. Pagi di sekolah, siang, sore, bahkan sesekali ia menginap di rumah. Mungkin itu juga yang membuat kami dekat. Pada gilirannya, tersedia banyak waktu untuk sharing dan tranfer informasi. Saat penerimaan raport beberapa hari lalu, Ia berhasil meraih rangking satu dari tiga puluh siswa di kelas.

Yang menarik lagi adalah, ia selalu melontarkan pertanyaan dan pernyataan yang menggelitik, cenderung berani, dan kadang-kadang diluar dari kebiasaan anak-anak seusianya.

Simak saja beberapa contoh penyataan dan pertanyaan Lia:

“Saya sudah ingin sekali besar, supaya bisa kuliah di Jakarta. Nanti saya sms ibu kalau saya sudah kuliah di Jakarta. Tapi, mana ada kuliah di Jakarta, ke Lhokseumawe aja saya jarang. Kalau ke Jakarta, nanti ketabrak Monas hehe...!,” Candanya.

“Saya juga ingin masuk koran kayak ibu. Saya mau juga masuk TV. Pasti seneng banget. Nanti orang tua saya bangga. Pasti orang-orang di desa ini nggak percaya ya bu? hehe..., kata Lia.

            “Ibu seneng nggak tinggal di sini? kenapa, disini kan desa? Oh... saya tahu karena ibu selalu senang kalau kami semua rajin belajar dan rajin menulis cerita kan? Ibu kenapa sih, setiap hari selalu menyuruh kami menulis?,”

Baru enam hari saja saya tidak di desa, ia sudah meyelinap mengambil handphone ayahnya untuk menelponku. Ini kali pertama memang saya keluar desa sampai selama ini. Karena waktunya bertepatan dengan liburan sekolah.

“Hallo..., ibu kemana aja, kenapa nggak pulang-pulang? Lia kangen nih. Anak-anak di sini nyariin ibu. Oya bu, cerita saya sudah jadi tiga judul nih. Yang judulnya “Menjadi Pengajar Muda” juga udah jadi. Yang dua lagi nanti ya bu. Besok kan udah sekolah, ibu pulang kan?,” tanya Lia bertubi-tubi.

Pertanyaan ini yang hampir tidak bisa saya jawab. Tapi saya harus menjawabnya.

            “Iya, insya Allah ibu pulang. Ibu seneng deh tulisan Lia sudah jadi semua. Saya sudah nggak sabar membacanya. Oya, Ibu minta tolong Lia dan teman-teman tulis semua judul-judul buku yang dikardus (buku kiriman dari Penyala-Indonesia Mengajar). Nanti kalau ibu pulang, catatannya saya ambil. Oke? Makasih ya Lia sayang...,” jawabku.

Beberapa hari kemudian Lia menelpon lagi. 

“Hallo..., ibu lagi sibuk nggak? Lia lagi di rumah sakit nih bu. Lia mikirin ibu terus. Ibu jangan lama-lama ya di Lhokseumawe, cepat pulang ke sini, kan ibu udah janji. Jangan lupa bawa ole-ole ya hehe...!,” candanya meski dalam keadaan sakit.

Apa mau dikata, karena keadaan, untuk sementara saya tidak bisa bercanda dan melihat langsung wajah anak yang hitam manis itu. Doa dan harapan terbesar saya adalah segera bertemu dan kembali merangkai impian-impian yang telah kami gantungkan selama ini. Semoga!


Cerita Lainnya

Lihat Semua