Kartini di Pinggir Sungai Musi

Milastri Muzakkar 19 Juni 2012

 Tanggal 21 April biasa disebut hari perempuan. Karena saat itu kita memperingati Hari Kartini, salah satu pahlawan wanita di Indonesia. Tentu yang diperingati adalah semangatnya, bukan simbolnya. Sosok kartini biasanya diidentikkan dengan pejuang wanita, khususnya di bidang pendidikan.

Di desa Kepayang, salah satu desa terpencil di Sumatera Selatan, saya menemukan sosok Kartini. Ia adalah Kepala sekolah sekaligus orang tua angkat saya sejak menjadi Pengajar Muda-Indonesia Mengajar di sini. Namanya Laila Suad. Umurnya 42 tahun. Uban di kepalanya mulai menunjukkan bahwa sebenarnya ia mulai memasuki masa tua. Tapi bicara masalah semangat dan tenaga, ia bisa dibandingkan dengan gadis yang masih berusia dua puluh lima tahun.

Ibu Lai –sapaan akrab bu Laila-menjadi kepala sekolah di SDN Kepayang. Di sekolah ini ada enam ruang kelas tapi gurunya hanya empat. Itu pun tamatan SMA semua dan non PNS. Hanya bu Lai yang PNS di sekolah, bahkan di desa ini hingga saat ini. Bu Lai pun akhirnya menjadi wali kelas seperti guru lainnya.

Mendidik di “Kampung Basah”

Sebelum menjadi kepala sekolah, bu Lai sempat menjadi honor selama kurang lebih dua tahun dengan bayaran lima ribu per bulan. Memang, surat keputusan (SK) yang dikeluarkan pemerintah untuknya mengharuskan mengabdi di SDN Kepayang, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Saat itu, sekolah ini masih kelas jauh dari SD Muara Merang, di desa sebelah. Letak sekolahnya memang di desa ini, tapi persoalan administrasi, termasuk kepala sekolah dan sebagian guru-gurunya, masih menginduk ke sekolah sebelah.

Sejak ditugaskan di sekolah ini, bu Lai pun meninggalkan kampung dan keluarganya-termasuk suami dan anak-anaknya-untuk berdiam di desa ini. Desa ini berada persis di sepanjang bibir anak sungai Musi. Rumah panggung berjajar agak semerawut. Hanya kendaraan roda dua yang bisa melewati jalan sempit, yang biasa dilewati warga sehari-hari. Umumnya masyarakat menggunakan speedboat atau ketek sebagai alat transportasi sehari-hari.

Di di desa ini, beliau tak punya keluarga. Sementara kondisi ekomominya pun sangat memprihatinkan. Saat duduk santai, beliau biasa menceritakan bagaimana kondisinya pertama kali datang ke sini.

“Dulu, kami hidupnya susah. Kami pindah-pindah duduk (numpang) di dapur orang lain. Sekecil inilah rumah kami. Campur dapur sama tempat tidur,” katanya sambil mempraktekkan ukuran rumahnya.

Bahkan, saat pindah ke sini, desa ini belum menjadi desa mandiri-belum bisa disebut desa-karena seluruh persoalan administrasi dan lainnya masih menginduk ke desa sebelah, desa Muara Merang. Saat itu, belum banyak penduduk yang tinggal di sini. Belum banyak rumah seperti sekarang.

“Dulu, desa ini masih hutan. Hampir setiap hari, binatang buas masih bebas berkeliaran di lingkungan rumah. Saban hari, gajah, babi, dan kambing, nongkrong di lapangan sekolah.” kenang bu Lai.

Salah satu konsekuensi saat belum terbentuknya desa ini adalah, tidak teraturnya pola perilaku dan tata krama yang biasanya dijunjung tinggi di desa. Cafe/bar, perjudian, dan semacamnya menjadi pemandangan sehari-hari.

Tidak tanggung-tanggung, di sekitar lingkungan sekolah juga menjadi lokasi perjudian. Makanya desa ini disebut “kampung basah”. Motivasi di bidang pendidikan sangat kecil. Sebagian besar orang tua tidak terlalu mementingkan pendidikan. Mereka hanya fokus bagaimana menghasilkan uang dan mencari hiburan.

Tentu semua itu menjadi tantangan sendiri bagi bu Lai sebagai guru di satu-satunya sekolah di desa ini. Bisa dibayangkan, betapa sulitnya mengajak anak-anak bersekolah. Betapa sulitnya mendidik anak-anak yang hidup di lingkungan yang tidak mendukung untuk diarahkan ke hal-hal yang lebih baik.

Setiap hari di sekolah, anak-anak diajarkan tentang kebiasaan, moral, dan segala hal-hal yang baik. Namun setiap hari pula, sepulang sekolah, mereka harus menyaksikan secara langsung dan tidak, hal-hal yang bertentangan dengan apa yang didapatkan di sekolah. Sesuatu yang paradoks.

Pernah suatu hari, orang tua siswa mendatangi sekolah sambil memegang sebilah parang panjang di tangannya. Bapak itu (orang tua siswa) mencari bu Lai dan siap untuk memanggal kepalanya. Bapak ini tidak terima karena anaknya tiba-tiba pingsan di sekolah setelah mengikuti lomba tarik tambang-saat itu bertepatan dengan perayaan tujuh belas Agustus. Usut punya usut, ternyata anak tersebut belum sarapan sebelum ke sekolah. Setelah diberikan pemahaman, barulah bapak tersebut bisa mengerti.

Tak lama kemudian, kejadian serupa kembali terulang. Kakek seorang siswa tiba-tiba memukul-mukul tembok sekolah dengan kapak karena cucunya tidak naik kelas. Jika tidak dihentikan oleh warga, tembok sekolah mungkin sudah hancur. Begitulah karakter masyarakat saat itu. Tentu butuh kesabaran dan kehati-hatian menghadapi karakter masyarakat seperti ini.

Dari Honor Hingga Kepala Sekolah

Setelah mengikuti tes PNS, bu Lai diangkat menjadi PNS dan guru tetap di sekolah tersebut. Semasa bu Lai menjadi guru, di sekolah ini sebenarnya tercatat enam guru. Tiga diantaranya adalah PNS (termasuk bu Lai). Namun, faktanya, guru-guru tersebut hanya datang beberapa hari sebelum penerimaan gaji setiap bulannya. Begitu pun kepala sekolah.

Jarak yang jauh dan alat transportasi yang agak sulit menjadi alasan guru-guru jarang ke sekolah. Akhirnya, sehari-hari bu Lai mengajar di hampir semua kelas. Selama sekolah ini berdiri, sudah ada beberapa guru baik luar mapun dari dalam wilayah Sumatera yang pernah ditugaskan di sini. Tapi kebanyakan dari mereka menyerah karena tidak betah.

Bu Lai adalah sata-satunya guru yang hingga saat ini masih bertahan di sekolah ini. Selain menjadi guru, bu Lai juga merangkap menjadi Pejabat Lapangan Harian Kepala Sekolah. Sehingga urusan kepala sekolah bisanya ditangani oleh bu Lai. tak lama kemudian, kepala sekolah juga menyerah dan mundur. Akhirnya, tanggung jawab sebagai kepala sekolah sepenuhnya diberikan ke bu Lai.

Hingga saat ini, bu Lai sudah mengabdi selama sepuluh tahun-menjadi guru lima tahun dan kepala sekolah lima tahun. Semakin kesini, sekolah dan desa ini sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Tapi masalah karakter dan kebiasaan masa lalu belum sepenuhnya hilang. Mungkin bu Lai masih diberi kesempatan untuk menghadapi tantangan ini.

“Yah, begitulah kalau kita jadi kepala sekolah. Sebenarnya ibu juga sudah mau pulang ke Oki, kampung halamanku. Di sana, semua keluarga ada. Tapi kalau ibu pergi, mak mano-artinya bagaimana-dengan sekolah kita ini? Siapolah-artinya siapa-yang mau jadi kepala sekolah?,” tutur bu Lai.

Mungkin tidak banyak perempuan yang bisa mengabdi seperti bu Lai. Dengan tantangan yang cukup besar, tentu butuh kesabaran, keikhlasan, dan keberanian. Sama seperti Kartini yang saat itu berani mendobrak hierarki demi mengangkat derajat kaum perempuan. Semoga semakin banyak ibu Lai yang lain yang tersebar di muka bumi ini.


Cerita Lainnya

Lihat Semua