"Duek fakat": Cermin Demokrasi dan Toleransi Orang Aceh

Milastri Muzakkar 17 Januari 2012

(Dimuat di Koran Harian Aceh, Senin 16 Januari 2012)

Hari-hari ini, masyarakat Aceh disibukkan oleh berita tentang kekerasan. Bahkan, bukan hanya masyarakat Aceh, berita ini juga menarik perhatian orang di luar Aceh. Berita ini, mau tidak mau membuat wajah Aceh kembali ‘buram’ dan negatif di mata banyak orang. Saya tidak ingin menambah daftar berita itu. Saya lebih tertarik mengangkat sisi lain yang menarik di Aceh.

Salah satu yang menarik  dari adat orang Aceh dalam pernikahan. Tak jauh berbeda dengan tempat lain, menjelang acara pernikahan para keluarga dan tetangga calon pengantin perempuan berkumpul untuk bermusyawarah terkait  persiapan pernikahan.

Di Aceh, momen musyawarah ini disebut dengan duek fakat (duduk bersepakat). Du’fakat di bagi dua sesi yaitu: du’fakat keluarga dan du’fakat umum. “Du’fakat keluarga” biasanya diadakan dua Minggu sebelum hari H. Dalam kesempatan ini keluarga pengantin mengundang keluarga terdekat untuk bermusyawarah. Biasanya yang dibicarakan adalah terkait bagaimana bentuk acaranya, berapa biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaan perkawinan, serta siapa saja yang mau sukarela menyumbang dana untuk membantu keluarga pengantin.

Suasana kekeluargaannya sangat terlihat. Juru bicara yang ditunjuk  saat itu, menawarkan terang-terangan ke forum  siapa yang sanggup dan mau menyumbang untuk memenuhi uang yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pernikahan nanti. Misalnya, keluarga membutuhkan tujuh juta. Sementara si calon pengantin hanya mempunyai tiga juta. Maka, keluarga dekat yang berkumpul inilah yang akan bahu-membahu memenuhi kekurangannya. Tak mesti menyumbang uang, menyumbang beras, telur, atau tenaga pun tak jadi soal. Seberapa kurangnya pun kondisi keuangan keluarga, mereka akan mengusahakan untuk memenuhi tujuh juta itu.

Duek fakatkedua disebut “duek fakat umum”. Biasanya diadakan seminggu sebelum hari H. Sesuai dengan namanya, seluruh masyakat umum di lingkungan sekitar datang berkumpul di rumah calon pengantin. Dalam kesempatan ini, perwakilan keluarga akan mencatat pembagian tugas (job description) beserta nama petugasnya. Misalnya penjaga kado, penjemput tamu, bagian kebersihan, dll.

Sebelum mencatat nama serta pembagian tugasnya, si pencatat tidak bertanya terlebih dahulu ke forum terkait kesediaan orang-orang yang akan ditugaskan. Tapi menariknya, saat pembacaan nama dan tugasnya masing-masing, tak ada yang protes apalagi menolak. Semua menerima dengan senang. Kecuali jika ada yang kebetulan di hari H sedang tidak di tempat (ada urusan di luar).

Selain itu, sama seperti duek fakat keluarga, masyarakat yang datang pun biasanya memberikan uang, beras atau telur untuk keluarga calon pengantin (tanpa diminta). Nah, kembali ke contoh tujuh juta kebutuhan keluarga pengantin di atas, jika uang yang terkumpul saat duek fakat keluarga belum mencukupi tujuh juta. Maka, tambahan itu diharapkan cukup saat duek fakat umum.

Jika pada akhirnya, dalam duek fakat keluarga dan umum uang tujuh juta belum terkumpul juga, maka pihak keluarga akan memperkecil lagi bentuk acaranya-biasanya jumlah undangan diperkecil dan jenis hidangan dikurangi--sesuai dengan kemampuan yang ada.

Kondisi seperti ini, secara tidak langsung mengajarkan dan membiasakan kesederhanaan. Pihak keluarga tidak perlu bersusah hati apalagi sampai terpaksa menunda acara pernikahan hanya untuk membuat acara pernikahan meriah atau mewah. Lingkungan sekitar pun (kebiasaan masyarakat) mendukung suasana itu. Mungkin karena sudah menjadi adat yang berlaku di Aceh. Ini adalah adat yang mencerminkan demokrasi dan gotong-roroyong yang tinggi.

Di daerah lain, biasanya yang akan memenuhi kebutuhan acara pernikahan adalah keluarga si pengantin perempuan sendiri. Sebut saja di Jawa dan di Sulawesi. Bahkan di Sulawesi misalnya, biaya pernikahan pihak perempuan sebagian besar dibiayai dari uang yang diberikan laki-laki sebagai mahar, yang dalam bahasa Makassar disebut doe’ pa’naik (uang yang dinaikkan oleh laki-laki untuk perempuan). Sehingga pihak keluarga besar atau masyarakat di sekitar perempuan tidak terbebani apalagi sampai harus mendiskusikan dalam forum khusus secara terang-terangan terkait berapa biaya yang dibutuhkan untuk acara pernikahan. Pihak keluarga besar dan masyarakat sekitar pihak perempuan pun tidak merasa bertanggungjawab atau terbebani oleh biaya pernikahan itu.

Namun, bukan berarti pihak keluarga besar atau masyarakat sekitar tidak boleh/tidak ada yang memberikan bantuan ke calon pengantin perempuan. Biasanya tergantung kondisi keluarga pengantin. Jika kekurangan, biasanya keluarga dan masyarakat pun tergerak untuk membantu dalam bentuk uang, beras, kelapa, tenaga, dll. Ada juga yang memang memberikan dalam bentuk hadiah. Namun, Biasanya bantuan itu lebih banyak ke pihak pengantin laki-laki karena sesuai dengan adat yang berlaku di Sulawesi - pihak laki-laki yang memberikan mahar kepada perempuan.

Secara khusus, sebagai orang Sulawesi, bagi saya duek fakat dalam adat orang Aceh patut dicontoh. Karena cermin demokrasi dan gotong-royongnya begitu terlihat. Namun, secara umum, sebagai orang Indonesia, saya bangga dengan keanekaragaman budaya dan adat-istiadat yang ada di Nusantara ini. Semoga ini menjadi salah satu alat perekat bangsa.   

*Penulis adalah Pengajar Muda-Gerakan Indonesia Mengajar

Ditugaskan di SDN 04 Langkahan

Tinggal di desa Rumoh Rayeuk, Langkahan, Aceh Utara


Cerita Lainnya

Lihat Semua