Pencarian Pahala (Bagian 1)

Agus Arifin 20 Januari 2012

“Jika kau ingin tahu apa arti kejujuran, maka bertanyalah kepada anak-anak, jika kau menginginkan keceriaan, maka bermainlah bersama mereka dan jika kau ingin tahu apa arti ketaatan, belajarlah pula dari mereka dan kau akan temukan sebuah ketaatan tanpa pamrih”

(Agus aifin, Pengajar Muda III Majene)

 

Jum’at, 7 januari 2012

“Anak-anak bapak yang baik, barang siapa diantara kalian yang rajin sholat berjama’ah di masjid, maka kalian adalah anak-anak yang beruntung. Karena kalian adalah calon-calon penghuni surga. Bapak akan ceritakan kepada kalian tentang keutamaan sholat berjama’ah di masjid yang tidak semua orang mengetahuinya. Keutamaan yang pertama adalah, pahala sholat berjama’ah di masjid 27 kali lipat dibandingkan jika kalian sholat sendirian. Sedangkan keutamaan yang kedua, kalau kalian pergi ke masjid dengan niat untuk sholat berjama’ah dan kalian sudah berwudhu’ dari rumah atau dari sungai, maka setiap langkah kaki kanan kalian dihitung satu pahala dan setiap langkah kaki kiri kalian dihapus satu dosa. Itulah kenapa, para sahabat Rasulullah SAW dulu, meski rumah mereka jauh dari masjid, mereka tetap senang, karena yakin akan mendapatkan banyak pahala dan banyak terhapus dosanya. Nah, keutamaan yang ketiga adalah saat kalian sholat berjamaah, maka Allah memerintahkan malaikat untuk turun dan memeriksa apakah ada diantara kalian yang sholatnya khusyuk (baca: sah). Jika ada satu saja yang sholatnya khusyuk, maka semua yang datang sholat berjamaah saat itu akan dicatat mendapatkan pahala sholat berjamaah. Akan tetapi jika ternyata tidak ada satu pun diantara kalian yang khusyuk sholatnya, maka Malaikat akan memeriksa apakah barisan sholat kalian sudah rapat dan lurus atau belum. Jika sholat kalian tidak khusyuk, tapi barisan kalian rapat dan lurus, maka malaikat akan tetap mencatat pahala sholat sholat berjama’ah kalian. Bagaimana anak-anak...? Enak kan sholat berjamaaaaah...?” tanyaku mencoba membakar semangat merekka. “Enaaaaaaak”..jawab mereka dengan mata berbinar-binar.

           Itulah sepenggal isi ceramahku untuk anak TPA Al-Muhajirin (nama TPA tempatku mengajar) tadi malam. Sudah menjadi agenda rutin bahwa sekali dalam satu minggu, tepatnya  setiap hari Kamis atau terkadang hari Sabtu, aku tak lagi mengajarkan anak-anak mebaca ‘Iqro’ atau menulis arab, melainkan bercerita tentang kisah-kisah dalam islam yang dapat membangun semangat dan akhlak mereka. Tujuannya adalah agar anak-anak tak merasakan kebosanan ketika belajar mengaji, karena sesi cerita inilah yang biasanya sangat ditunggu-tunggu oleh mereka. Jika aku sudah mulai bercerita, biasanya anak-anak akan tenang mendengarkan ceritaku. Mereka akan duduk mematung dengan semua mata tertuju padaku. Sungguh indah bukan? Ya memang indah apalagi jika anak-anak merasa senang dan puas dengan kisah yang kuceritakan.Subhanallah, itulah kenapa, aku harus rajin membaca untuk memperbanyak tabungan kisah-kisah Islami yang kuketahui agar aku tak mati gaya ketika berhadapan dengan mereka. Pada sesi cerita tadi malam, sebenarnya aku bercerita tentang perjuangan seorang pemuda yang taat beribadah untuk mendapatkan maaf dari seorang laki-laki tua pemilik buah Apel. Karena tanpa sadar pemuda itu telah memakan Apel laki-laki tua yang terhanyut di sungai. Aku sengaja mengaitkan cerita itu dengan keutamaan sholat berjamaah, agar semangat dan kesadaran anak-anak untuk sholat berjamaah semakin tinggi baik ketika ada aku atau tidak. Jujur aku sangat khawatir  dengan anak-anak, karena mereka rajin sholat berjamaah ketika ada aku di kampung, namun ketika aku sedang ada urusan di luar dan harus pergi meninggalkan kampung, maka sedikit sekali anak-anak yang sholat atau bahkan tak ada satu pun yang sholat. Lalu bagaimana kalau suatu saat nanti aku harus pergi untuk selamanya dari kampung ini? Ah, aku tak mau memikirkan hal itu, masih ada waktu 10 bulan lagi. Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana caranya menggunakan waktu 10 bulan ini semaksimal mungkin untuk secara perlahan merubah mereka menjadi anak-anak yang manis, sholeh dan sholeha. Semua butuh waktu, butuh kesabaran dan kerja keras memang. Aku siap. 1000% siap untuk mereka.

              Siang ini seperti biasa, aku dan anak-anak bersiap pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat Dzuhur berjamaah. Subhanallah, sungguh dzuhur kali ini lebih ramai dari biasanya. Shaf (baca: barisan) laki-laki dan perempuan yang biasanya tak penuh satu shaf, kini penuh dan bahkan lebih. Masjid jadi lebih ramai dibanding biasanya. Selesai sholat, Kulemparkan pandanganku ke arah barisan sholat.  Kusisiri satu per satu wajah ceria mereka. Sungguh ku tak dapat menutupi kebahagiaan yang membuncah dalam dada. Hanya senyum dan ucapan syukur yang mampu terucap. “Alhamdulillah, semoga jumlah ini akan terus bertambah...” fikirku. “Pak Guru...ooo...Pak Guru...!” tiba-tiba suara itu muncul dan sang pemilik suara pun  beringsut mendekatiku sambil berlari penuh semangat. Perni, gadis kecil nan lucu yang masih duduk di bangku kelas tiga itu kini duduk di hadapanku dengan senyumnya yang menyungging lucu.

“Pak Guru,...Aldi he..tadi kodi (saya) lihat dia berputar-putar (baca: berkeliling) sebelum berangkat sholat he..leppek (tidak waras) Aldi pak” ungkapnya penuh semangat, meski dengan bahasa Indonesia yang bercampur dengan bahasa Mandar.

“ Eit...eit Perni ” ucapku sambil menggoyang-goyangkan telunjukku dihadapannya. “ Barusan Perni  bilang teman leppek, macoakah (baguskah) itu Perni?” tanyaku lugas, meski dengan bahasa mandar seadanya alias campur aduk dengan bahasa Indonesia.

“Hehe...a’de (tidak) pak..”jawabnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang kuyakin memang gatal, karena memang setahuku anak ini memiliki banyak kutu. Sering kali saat istirahat di jam sekolah, aku mengisi waktuku untuk mencari kutu beberapa muridku, salah satunya adalah Perni dan sering kutemukan kutu berukuran besar di kepalanya.

“Kalo perni tahu itu tidak bagus, lain kali sama teman berkata yang  baik ya...” ucapku mencoba berpesan kepadanya.

“Iyek pak..” jawabnya tetap dengan senyum khas.

Kupandangi lekat-lekat wajah gadis kecil di hadapanku ini. Kebetulan sekali, kulihat Aldi sedang asyik bermain bersama-teman lainnya di masjid bagian belakang.

“Aldi...Aldi...maeko...maeko, tamakko dinde (kesini...kesini...duduk di sini)” panggilku sambil menggerakkan telapak tangan sebagai tanda bahwa aku memintanya untuk mendekat.  Kulihat anak itu beringsut mendekatiku sambil memegangi kain celana bagian depannya. Jalannya tampak pelan sekali, mirip perempuan habis melahirkan. Maklum, ia baru saja disunat (dikhitan), sehingga luka di ‘anu’ nya belum sembuh betul.

“Iyek..pak...mangaka (kenapa)  pak guru manggil kodi?” tanyanya penasaran.

“Aldi, tadi sebelum berangkat ke masjid, koq Aldi keliling-keliling dulu lewat Kampung Baru, tidak langsung ke masjid? Padahal rumah Aldi kan dekat dengan masjid, hanya 10 meter?” tanyaku yang juga tak kalah penasaran.

“Anu pak...biar kodi dapat pahala banyak pak...kalau jauh jalan ke masjid kan langkahnya banyak juga pak, terus banyak pahalanya paak..dosanya juga banyak dihapuskan paak...biar masuk Surga, kodi tidak mau masuk Neraka pak..takut dicambuk” jawabnya polos.

“Oh...bagus itu Aldi...bagus..bagus...”ucapku sambil mengacungkan kedua jempolku. Tak banyak yang mampu kukatakan. Aku hanya bisa menghela nafas lega. Rasa lelahku tiba-tiba menghilang begitu saja. Tubuhku bagaikan terbang sejenak ke tempat yang begitu indah dan damai. Bahagia, rasanya mendengar jawaban itu. Tak kusangka, dia benar-benar mempraktekkan apa yang kuceritakan tadi malam. Subhanallah, cerdik sekali anak ini. Ah, aku semakin yakin kalau kau dan teman-temanmu memang anak yang baik Aldi. Itulah kenapa, bapak tak akan pernah berhenti untuk menjadi Ayah, guru dan sahabat bagi kalian untuk bersama-sama belajar dan mempraktekkan kebaikan demi kebaikan sebagai bekal kelak ketika kalian telah dewasa. (Arif)

Agus Arifin

Pengajar Muda III

Dusun tati Bajo, Desa Salutambung

Kecamatan ulumanda, kabupaten majene-Sulawesi Barat


Cerita Lainnya

Lihat Semua