Bukan Hukuman, Tapi Medali Emas
Milastri Muzakkar 3 Januari 2012Seorang guru dituntut untuk selalu bisa mengikuti ritme perkembangan anak-anak didiknya. Begitu pun dengan saya--Meski saya merasa tidak pantas disebut sebagai pendidik—tapi karena setiap hari saya berhubungan dengan anak-anak, maka saya menuntut diri sendiri untuk selalu menciptakan metode-metode yang baru dan segar untuk mengatasi segala hal dalam preoses belajar mengajar.
Di dalam kelas, biasanya ada saja satu, dua, atau tiga siswa yang agak susah diatur. Dalam istilah lazimya biasa disebut anak bandel. Tak terkecuali di kelas saya. Meski setiap hari saya selalu mengingatkan untuk selalu disiplin dengan memaparkan beberapa keuntungan displin tapi ada saja anak yang belum mengerti keuntungan disiplin. Membiarkan mereka tetap begitu, tentu bukan cara yang baik. Karenanya, ketegasan menjadi penting. Bukan dengan memukul tentunya, karena saya sangat mengamini bahwa masih banyak cara lain selain kekerasan fisik.
Salah satu bunyi kontrak belajar kami: hukuman bagi yang tidak disiplin adalah hormat bendera di lapangan sekolah sampai pergantian jam pelajaran. Jika tiga kali mendapat hukuman hormat bendera, maka siswa tersebut akan membersihkan WC yang tak terawat, di belakang sekolah-yang hampir semua siswa tidak pernah mau ke WC tersebut. Jadi bisa dibayangkan bagaimana tersiksanya siswa yang harus membersihkan WC.
Tapi hukuman itu ternyata tidak juga membuat jera siswa. Masih ada saja yang mengulang kesalahan yang sama. Harus saya akui, kadang-kdang ada saja tingkah laku siswa yang memancing saya mengeluarkan emosi, yang sebenarnya saya simpan rapat-rapat agar tidak keluar ke permukaan. Syukurlah sampai saat ini ‘makhluk’ yang bernama si emosi itu belum pernah membuatku berang, apalagi sampai melanggar apa yang saya tidak amini (cara-cara kekerasan).
Suatu malam, saya berfikir bagaimana caranya membuat beberapa siswa yang tidak pernah jera ini. Saat itu bertepatan dengan hingar bingar perayaan Sea Games. Salah satu penghargaan bagi pemenang Sea Games adalah Medali Emas. Terispirasi dari situ, saya kemudian mulai menggunting kertas karton berwarna Pink dan Biru untuk dijadikan “Medali Emas”. Di kertas Biru bertuliskan: ‘Hari ini saya siswa terbaik’. Dan dikertas Pink bertuliskan: ‘Hari ini saya siswa yang tidak disiplin’. Kertas itu diberi lubang dan diikat tali rapiah. Jadilan “medali emas” yang siap digantungkan ke siswa yang berhak mendapatkannya. Sebagai pelengkap, sebagian potongan kertas Pink itu saya tuliskan: ‘bangku kami paling rapi hari ini’. Jadi ini disebut dengan kartu kerapihan bangku.
Saat pagi menjelang, saya begitu antusias menuju sekolah. Tak sabar ingin menyaksikan bagaimana reaksi siswa melihat meda liemas dan kartu kerapihan yang saya bawa.
“Siapa yang monton pertandingan bola di acara sea games?” tanyaku sambil membuka pertemuan pagi itu.
“Saya bu, saya senang banget liat bola. Ibu nonton juga?, jawab anak-anak serempak.”
“Biasanya kalau pertadingan itu kan juaranya ada yang dapat medali emas. Nah, ini saya bawakan medali emas,” kataku sambil memperlihatkan gantungan kertas warna Pink dan Biru.
“Mulai hari ini, siapa yang disiplin sejak datang sampai pulang sekolah, maka akan mendapatkan medali emas warna Biru. Dan siapa yang tidak disiplin, akan mendapatkan medali emas warna Pink. Selain itu, ini saya bawakan juga kartu ‘kerapihan bangku’. Bagi siapa yang bangkunya paling rapih, kartu ini akan ditempel di bangkunya,” lanjutku sambil memperlihatkan kartu kerapihan bangku.
“Yee...hehehe...masa itu medali emas bu?, celetuk beberapa siswa laki-laki sambil tersenyum.
“Bagus bu, saya mau medali emas yang biru. Saya pasti akan mendapatkannya,” teriak siswa lainnya.
Mereka pun mulai riuh, ada yang tertawa, tersenyum, lompat-lompat, dan ada juga yang diam tanpa reaksi. Memamg lazimnya, anak-anak selalu senang dan antusias dengan sesuatu yang baru.
“Oke, medali emas dan kartu kerapihan bangku ini akan mulai berlaku hari ini. Jadi, setiap hari sebelum pulang sekolah, Ibu akan umumkan siapa yang berhak mendapatkannya,” jelasku.
Begitulah setiap hari, sebelum pulang sekolah, saya mengalungkan medali emas dan menempelkan kartu kerapihan. Di hari-hari pertama, masih ada siswa yang tidak disiplin sehingga harus memakai medali warna pink sambil hormat bendera. Siswa tersebut, sampai menangis karena merasa malu disaksikan oleh siswa lainnya di lapangan.
“Kenapa menangis?, tanyaku saat menghampirinya di lapangan sekolah.
“ Malu bu dilihat kelas lain,” jawabnya sambil terisak-isak.
“Kenapa malu sama mereka? kalau sama Ibu dan teman-temanmu di kelas tidak malu? Ini yang lucu,” jawabku.
Dua hari setelah kejadian itu, siswa tersebut agak berubah. Saat saya masuk jam pertama, ia terlihat lebih diam, bahkan seringkali duduk rapih sambil melipat tangan. Pada jam istirahat, saya sengaja berkeliling ke kelas-kelas. Siswa tersebut ternyata masih duduk di bangkunya.
“Kok nggak istirahat? Udah makan belum?, tanyaku sambil duduk disampingnya.
Ia hanya senyum-senyum terlihat malu sambil menjawab: “Sudah makan tadi bu!”
Sampai jam terakhir pelajaran, siswa tersebut betul-betul disiplin. Di sela-sela pelajaran, saya beberapa kali tak sengaja melihatnya menegur teman sebangkunya yang sedang ribut.
“Ka’iem ile, be’karu (diam, jangan ribut),” begitu ia menegur temannya dalam bahasa Aceh.
Untuk mengapresiasi dan memotivasi siswa tersebut, hari itu saya menglungkan medali emas biru kepadanya. Ia terlihat sedikit kaget, sambil tersenyum malu-malu.
Setiap hari, siswa selalu penasaran siapa yang mendapatkan medali emas dan kartu kerapihan. Jika mendekati jam pulang sekolah, umumnya siswa akan mengatakan:
“Ayo bu, cepat bagikan siapa yang dapat medali emas. Saya udah tertib dari tadi nih. Hari ini pasti saya yang dapat.”
Biasanya setelah saya menggantungkan medali emas. Kami akan memberikan tepukan buat keduanya, yang akan dipimpin oleh siswa lainnya secara bergantian. Bagi yang mendapatkan medali emas biru akan diberikan “Tepuk Terima Kasih” seperti ini:
Tepuk terima kasih...
Prok, prok, prok trima kasih
Prok, prok, prok, trima kasih
Kamu hebat... (sambil memberi dua jempol)
Sementara bagi yang mendapat medali emas pink akan diberi “Tepuk Huhu...”, seperti ini:
Tepuk Huhu...
Prok, Prok, Prok, huhuhuhuhuhu....(sambil menurunkun kedua jari jempol)
Sampai hari ini, medali emas dan kartu kerapihan bangku ini sangat membantu saya dalam proses belajar-mengajar. Semua siswa akan berusaha untuk disiplin demi mendapatkan medali emas itu. Ketika saya tanya ke beberapa siswa tentang perasaannya ketika memakai medali emas biru, mereka menjawab :
“Senang sekali hatinya bu, saya bangga bisa dapat medali emas seperti di tv hehe... tapi kalau yang pink saya nggak mau bu,” jawabnya.
Beberapa siswa yang biasanya susah diatur, perlahan-lahan berubah. Mereka mulai sedikit disiplin dari biasanya, bahkan beberapa kali mereka juga mengutarakan keinginnnya memakai medali emas biru.
Ini membuktikan bahwa tidak selamanya hukuman membuat orang menyadari, apalagi meninggalkan kesalahannya. Terkadang, apresiasi dan penghargaanlah yang dibutuhkan orang-orang tersebut. Apalagi anak-anak, mereka sangat haus kasih sayang, sentuhan-sentuhan kelembutan, pengakuan, dan penghargaan. Meski itu hanya sekedar tepukan atau potongan kertas.
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda