#2 - Ketika STOMATA menjadi SOTO MATA

Michael Laurent Salim 26 November 2013

 “Stomata adalah mulut daun anak-anak, tumbuhan juga perlu bernapas seperti kita.”, ujarku di kelas empat dalam salah satu waktu pelajaran IPA hari itu. Kondisi kelas yang langsung berdampingan dengan hutan membuat kami dapat dengan mudah untuk melihat contoh nyata dari tumbuhan tersebut. Kemegahan hutan bumi Papua selalu menjadi tetangga kami di SD YPK Pikpik, Kramomongga. Bentuk jendela yang begitu pongah menganga membuat kami dapat dengan leluasa untuk melemparkan pandangan jauh ke rerimbunan hijau dedaunan di sebelah sana. Rerimbunan pohon yang menjadi lokasi bagi anak-anakku “menyelamatkan diri” jika suster-suster dari puskesmas distrik naik untuk memberikan imunisasi atau sekedar sosialisasi vitamin. Juga lokasi yang menjadi tempat favorit mereka juga untuk mengeluarkan sisa proses makan malam mereka kemarin karena memang di sekolah kami belum tersedia toilet.

Salah satu anak bernama Peros menyeletuk, “Apa Pak sotomata?”. “Bukan.” jawabku geli, “Stomata bukan sotomata” saya mencoba untuk menjelaskan kembali. Namun dengan sederhana dan gayanya yang konyol, sok tahu, namun mengocok perut dia mengatakan, “Ooo sotomata, iya pak”. Seketika itu pula bercampur antara rasa kesal dan geli, saya mendengarnya, karena sesungguhnya gayanya berbicara memang sok tahu dan bergaya layaknya yang paling mengerti. Kadang menyebalkan emang, apalagi ketika harus mengulang berkali-kali di satu kelas kelas empat untuk menyelesaikan soal perkalian dasar atau hanya sekedar memberitahukan macam-macam penampakan alam dari pelajaran IPS. Namun diluar itu semua, justru hal-hal seperti itu juga yang membuatku untuk terus menikmati setiap proses dan kejadian di sekolah ini. Peros dan sotomatanya hanya secuplik pengalaman dan kisah dari lembaran pengalaman lainnya yang boleh terjadi di hari-hari belakang ini.

Lalu haruskah saya marah kepada kekonyolan tersebut atau kepada kesulitan anak-anak untuk menghapal dan menyelesaikan persoalan matematika dasar bahkan untuk kelas besar sekalipun. Idealnya, tentu tidak. Mereka juga tidak mau seperti itu pada dasarnya namun hidup tidak selalu seperti apa yang kita harapkan. Terkadang sebagai seorang guru saya juga menjadi emosi dan kesal, bahkan sampai kelepasan karena sungguh menjadi sabar itu sebuah pembelajaran tersendiri, bahkan bagi mereka yang katanya sudah dibentuk oleh berbagi proses organisasi sekalipun.

Berhenti sejenak, jika mau diruntut kebelakang, adilkah hal tersebut bagi mereka. Bagi mereka yang terkadang hanya memakan ubi (keladi di sini sebutannya) untuk bahan bakar berpikir sepanjang hari. Bagi mereka yang mungkin mengenal susu sebagai minuman mewah yang tersentuh seminggu sekali. Atau bagi mereka yang terkadang harus menjalani hari-hari sekolah tanpa seorang guru pun. Satu ketika ada anak kelas dua yang masuk ke kelasku dan berkata, “Bapak ajar kami juga kah”. Adilkah bagi dia ? Sulit untuk mengatakan dan menjawabnya.

Namun untuk saat ini, sebagai seorang yang katanya guru dengan waktu yang sangat terbatas ini, saya akan berkata, “Maaf.” Maaf untuk setiap ketidakadilan ini, maaf untuk setiap tekanan dan kedisiplinan yang harus kalian terima, dan untuk setiap letupan emosi yang mungkin terlontar tak sengaja dariku. Tapi hal itu masih akan terus terjadi, karena kuyakin setiap kedisplinan dalam hari-hari kita kedepan itu bisa menarik kalian sedikit lebih maju dan memasukan sedikit lebih banyak wawasan serta pengetahuan ke dalam pikiran dan hati kalian. Dan akhirnya membuat kalian tersadar bahwa sesungguhnya setiap dari kalian mempunyai masa depan lebih luas, lebih indah, dan lebih tinggi dari sekedar menebang pohon-pohon rimbun di hutan sana, diluar jendela kelas kita. Jadi mari kita sama-sama berjuang :).


Cerita Lainnya

Lihat Semua