#10 - Bapak, maaf saya tidak les, saya bantu mama jaga adik.”

Michael Laurent Salim 8 April 2014

Les sore sudah menjadi jadwal rutin bagiku jika berada di kampung. Awal tiba di kampung, saya masih sering merasa bimbang untuk les sore, berpikir apakah anak-anak akan datang atau tidak. Namun dengan seiringnya waktu pertanyaan itu terjawab, jadwal les sore selalu terisi dengan kehadiran anak yang cukup, cukup membuatku pusing untuk mengatur mereka. Dan jujur saja, sampai saat ini pun saya masih ragu dengan pengelolaan les sore ini, karena bagaimana pun saya bilang mengenai pembagian kelas yang datang di sore itu, namun selalu saja ada anak dari kelas lain yang hadir. Jika mereka sudah muncul di depan kelas, maka sangat berat untuk mengatakan tidak, apalagi guru-guru lain tidak pernah memberikan les sore. Akhirnya, sangat lumrah jika di sore hari, saya memberikan soal untuk kelas satu sampai enam.

Soal? Ya soal, itulah yang selalu saya berikan jika mengadakan les sore. Karena hanya itu pilihan terbaik saya dapatkan untuk menghadapi anak-anak yang hadir dengan kelas yang bervariasi. Tidak mungkin saya memberikan materi baru di sore hari, karena hal itu akan mengorbankan mereka yang sudah datang dari kelas lain. Setidaknya begitulah pembelaan yang muncul, dibalik kelemahan manajemen les sore saya. Terkadang saya menanyakan kepada diri sendiri, apakah pendekatan seperti ini efeketif bagi mereka? Saya tidak bisa menjawabnya. Dan sesungguhnya masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang sering saya lontarkan kepada diri saya sendiri terkait les sore.

Namun di balik berbagai kelemahan dan pertanyaan mengenai les sore. Ternyata les sore ini memiliki seorang penggemar, anak ini bernama Kristian Tigtigweria. Ia merupakan salah satu murid yang paling rajin les sore. Tidak peduli kelas berapa yang saya katakan untuk hadir, ia selalu muncul dengan senyumnya yang polos. Saat ini dia duduk di kelas dua dan sama dengan semua siswa lelaki di kelas dua, ia senang berlarian dan membuat keributan di kelas. Namun, ia juga anak yang akan selalu berlari ke kelasku atau mengintip di depan pintu, kemudian berkata   “Bapak, kitong lagi. Kasih pelajaran kah.” jika guru kelasnya tidak masuk.

Salah satu pengalaman menarik adalah ketika suatu pagi, Kris dengan wajah sedikit muram menghampiri saya dan berkata, “Bapak, maaf saya tidak les, saya bantu mama jaga adik.” Itulah ucapan maaf yang terlontar dari mulut anak berusia 9 tahun. Seorang anak sulung pria yang harus selalu siap menjaga ke empat adiknya. Seorang anak yang tidak pernah menangis dan memprotes ketika jam bermainnya harus hilang untuk sekedar menenangkan tangis adiknya yang berusia dua tahun. Seorang anak yang rela repot membawa adiknya ke sekolah hanya untuk mendapatkan soal di les sore.

Itu cerita tentang Kris dan mungkin masih banyak lagi Kris-Kris lain di penjuru Nusantara ini. Dan ketika mereka tidak mendapatkan pendidikan yang layak, didikan yang cukup, atau gizi yang sempurna di masa kecilnya. Siapakah yang harus disalahkan? Siapakah yang harus yang harus bertanggung jawab? Apakah pemerintah yang tak melihat anak ini ataukah orang tua yang terlalu giat memenuhi rumahnya? Atau kita? Tidak tahu. Saya tidak bisa menjawabnya dan jika mencoba menjawab pun hanya pencaharian kesalahan pihak lain dan pembelaan yang muncul. Namun yang saya tahu pasti dan lihat dengan mata ini adalah sesosok anak lelaki sulung berusia 9 tahun dengan pakaian merah putih lusuh tanpa alas kaki yang tersenyum polos serta binar mata yang nakal dan bertanggung jawab menjaga ke-empat orang adiknya, namun tidak pernah mau melewatkan untuk mengerjakan soal di setiap waktu les sore. Ya, hanya itulah yang saya tahu pasti kebenaranya. Semoga saya dan kita semua tidak kalah jauh semangatnya dengan Kris :).


Cerita Lainnya

Lihat Semua