Cita-cita harus di Langit

Melly Syandi 8 April 2017

Muhammad Abto Pratama.

Dari sejak awal saya melihatnya, saya bisa langsung menebak, Betapa ingin sekali ia jadi Tentara.

Waktu itu, saya mengajak anak-anak melakukan KBB (Kegiatan Belajar Bermain) di sekolah. Salah satu permainan yang kita mainkan adalah merayap di bawah tali yang diikat di tiang-tiang setinggi 40 cm. Dan Abto, adalah anak yang paling bersemangat saat memainkan permainan ini.

Di sela-sela bermain, ia selalu bertanya kepada saya,

"Bu Guru, nanti latihan Tentaranya lebih parah dari ini toh?"

"Bu Guru, kira-kira apa ya yang bisa saya siapkan untuk bisa jadi Tentara?"

"Siapkan fisik dan mentalmu!" Ucap saya meyakinkan.

"Rajin melakukan latihan fisik seperti lari sore, jaga kesehatan dengan tidak merokok apalagi minum-minuman keras."

Matanya berbinar mendengarkan penjelasan singkat saya. Tapi kemudian, ia diam dan menunduk.

"Sejujurnya saya agak takut-takut Bu Guru."

"Apa yang kamu orang takutkan?"

"Takut kalo bercita-cita terlalu tinggi Bu Guru."

"Memangnya kenapa, Abto?" Saya menunduk ke arahnya. Memastikan bahwa saya mendengarkan jawaban kegelisahannya.

"Tidak ji, Bu Guru. Cuma khawatir saja tidak kesampaian."

"Yakin?" Tanya saya sekali lagi.

"Iye' Bu Guru." Jawabnya dalam.

Saya menarik nafas. Mencoba mencari kata yang tepat agar ia kembali yakin dengan mimpinya.

"Abto, ada yang pernah bilang sama Bu Guru begini, 'Tempat lahir boleh di mana saja, tapi cita-cita harus di langit!'. Dulu Bu Guru juga gitu, takut bercita-cita, takut kalau-kalau tidak kesampaian, tapi ternyata malah sebaliknya. Ketika kita yakin dengan satu hal, yang harus kita lakukan adalah ini, bersungguh-sungguh melakukan yang kita yakini itu!".

Ia menatap saya.

"Kamu jangan khawatirkan tidak akan bisa meraihnya. Selagi kamu orang menjaga kesungguhan untuk menggapainya, yakinlah! Kamu pasti bisa jadi Tentara hebat!".

Ia pun kemudian tersenyum.

"Iye' Bu Guru. Saya ingin sekali beh jadi Tentara Bu Guru."

Sejak saat itu, Abto selalu berupaya menjaga mimpinya. Contoh kecilnya, Ia tidak pernah membiarkan rambutnya panjang lebih dari 2 cm. Alasan lainnya, karena Ia tahu, Bu Gurunya senang sekali melihat muridnya kalau potong rambut panjangnya 2 cm.

Ada satu cerita saat pertama kali saya mengumumkan kepada anak-anak bahwa kita akan melaksanakan upacara, saya melihat Abto gugup. Gugupnya bukan karena Ia tidak mampu, bukan! Melainkan betapa Ia berharap sekali diberi kesempatan untuk terlibat.

Dengan berbagai pertimbangan, untuk upacara perdana, saya menugaskan Abto sebagai pembawa bendera bersama Umi dan Etal, temannya.

Saya bisa rasakan betapa gembiranya Ia ketika saya melatih PBB (Peraturan Baris Berbaris) kepadanya. Setiap sore, Ia selalu menjemput saya ke rumah dan mengajak saya untuk latihan. Dan saya tahu, kesungguhan itu pelan-pelan mulai tumbuh.

Sekarang, Abto sudah ahli dalam hal baris berbaris. Kalau Ia tidak kebagian menjadi petugas upacara, Ia tidak akan segan-segan melatih teman-temannya. Bahkan, saat pembagian tugas, Ia akan langsung berkata, "Bu Guru, nanti biar saya saja pale yang ajarkan diorang membawa bendera."

Hmm, Melihatnya yang sekarang, saya hanya bisa bergumam dalam hati. "Abto, Bu Guru doakan semoga cita-citanya tercapai, Nak!"


Cerita Lainnya

Lihat Semua