info@indonesiamengajar.org (021) 7221570

Perpustakaan Yang Mati Suri

Melissa Tuanakotta 10 Desember 2011

Rasa iri muncul ketika aku telah melihat perpustakaan yang berada di sekolah Daniel, SD Negeri 04 Indraloka II. Buku tersusun rapih, banyak peralatan praktek untuk mengajar, permainan-permainan untuk mengasah otak, peta dan masih banyak barang-barang lainnya. Murid-murid pun dengan riang menghabiskan waktu istirahat mereka di perpustakaan.

Kenapa aku harus iri? Jelas saja karena sekolahku perpustakaannya terkunci rapat oleh gembok. Ketika aku mengintip dari balik jendela aku melihat segala sesuatu yang berada di perpustakaan SD Negeri 04, tapi dengan keadaan tertutup oleh debu dan berantakan. Tidak ada pemandangan murid-murid masuk ke dalam perpustakaan untuk sekedar bermain atau membaca buku, yang ada mereka hanya bermain di halaman sekolah dan jajan di warung.

Aku segera membuat janji untuk bertemu dengan kepala sekolahku. Tekadku sudah bulat aku akan mengaktifkan kembali perpustakaan sekolahku demi mendapatkan pemandangan yang sama dengan apa yang aku lihat di sekolah Daniel. Aku menjelaskan konsep perpustakaan yang aku punya dan bagaimana caranya mengelola perpustakaan. Sedikit ilmu yang aku dapat di tempat kuliahku dulu, membuatku sedikit paham akan mengelola perpustakaan.

Dulu aku adalah orang yang menganggap perpustakaan itu adalah tempat yang sangat membosankan. Tidak ada pemandangan lain hanyalah tumpukan-tumpukan buku yang berisi tentang materi pendidikan. Tapi anggapan tersebut menguap begitu saja ketika aku sedang merampungkan skripsiku. Hari-hariku dihabiskan di dalam perpustakaan, mencari segala macam bentuk teori yang aku butuhkan.

Kepala sekolah setuju dengan segala usulanku dan menentukan hari ini sebagai hari merenovasi perpustakaan. Aku memacu motorku menuju sekolah induk. Kepala Sekolahku bilang murid-murid akan membantuku untuk membersihkan perpustakaan. Aku sangat bahagia mendengar itu, karena jika murid ikut membersihkan perpustakaan bahkan mengelolanya, mereka akan memiliki perasaan memiliki terhadap perpustakaan tersebut. Lagi-lagi aku pergi dengan segala aura positif yang kupunya.

Tapi apa yang ada dalam pikiranku sangat amat berbanding 180 derajat dengan apa yang aku lihat ketika aku tiba di sekolah induk. Murid-murid yang semustinya membantuku membersihkan perpustakaan, malah membuat keadaan lebih berantakan. Buku-buku berserakan, balok-balok bertebaran, bahkan mereka sedang mengotak-ngatik peralatan praktikum lalu pecah seketika. Aku hanya bisa menghela nafas dan menelan ludah melihat semua ini. Murid-murid yang tidak mengerti alat apa saja yang sedang mereka pegang, dibiarkan begitu saja untuk “membersihkan” perpustakaan tanpa ada pengawasan dari seorang guru pun.

Aku terduduk lemas di ruang guru. Aku tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa, aku hanya bisa duduk lunglai. Tidak lama kepala sekolah pun datang, aku menceritakan apa yang sedang terjadi. Respon yang aku inginkan tidak aku dapatkan, aku berjalan kembali ke ruang perpustakaan itu dan mendapati jumlah anak sudah mulai berkurang.

“Teman-teman, perpustakaan ini mau Ibu bersihkan, jadi tolong yang ada di dalam ruangan ini adalah teman-teman yang mau membantu Ibu saja, jika kalian hanya ingin bermain-main saja boleh main di luar ya,,” kataku dengan nada sedikit tegas.

Sisalah dua anak laki-laki di sana. Mereka membantuku membersihkan kekacauan yang telah dibuat oleh teman-temannya. Tidak lama masuk beberapa murid yang juga ingin membantuku. Lalu distulah kami berada, di dalam ruang perpustakaan yang penuh dengan debu.

Miris, segala bentuk bantuan yang didatangkan oleh pemerintah hanya tersimpan di dalam ruangan ini, ruangan yang sepertinya tidak pernah mendapatkan perhatian sedikitpun. Beberapa barang mulai rusak, hilang, bahkan kardus-kardus yang ada sudah dihiasi oleh gigitan-gigitan dan kotoran tikus si penunggu ruangan. Aku bertanya-tanya dalam hati mengapa masih saja ada yang mengeluh kepadaku terhadap tidak adanya kepedulian pemerintah terhadap pendidikan. Menurutku ini salah satu bukti nyata yang aku temukan. Bantuan yang datang disimpan hingga pada akhirnya hanya menjadi barang tidak berguna.

Murid-murid pun mulai lelah dan mereka meminta ijin untuk pulang. Sekarang sisa aku sendiri, tidak ada satupun penduduk ruang guru yang datang membantu. Dalam hati aku merintih, sebenarnya siapa aku ini. Aku bisa dibilang hanyalah orang luar yang datang menyusup ke dalam sekolah ini. Tetapi mengapa penyusup jauh lebih beraksi? Mungkin ketika penyusup berubah menjadi maling tidak ada satu orang penduduk yang tahu.

Aku angkat satu-satu kerdus berisi bahan ajar itu. Aku pisahkan sesuai dengan mata pelajarannya. Aku tata dengan rapih dan aku bersihkan, walaupun tidak akan pernah bisa bersih seutuhnya. Dalam hati aku bertanya sampai kapan aku bisa membersihkan semua ini jika aku hanya bekerja seorang diri. Saat itu aku berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kemudahan dan kelancaran ketika aku sedang melakukan pekerjaanku ini.

Entah mengapa, berkali-kali ketika aku sedang dihadapkan dengan beberapa cobaan di sini, Tuhan selalu mendengar do’aku dan memberikan jawaban dari segala pintaku. Ketika aku sedang mengangkat kursi, datanglah tiga anak SMP ke dalam perpustakaan. Seperti apa yang telah aku ceritakan sebelumnya, bangunan sekolah indukku ini di siang hari beralih fungsi menjadi gedung sekolah SMP. Kebetulan, anak-anak itu adalah anak-anak Pramuka yang aku beri pelatihan jurnalistik tempo hari.

“Ka, kakak lagi ngapain di sini sendirian?” tanya salah satunya.

“Aku lagi bersihin perpustakaan ini, sayang kalau ga diaktifin banyak barang-barang yang bisa ngebantu murid-murid sekolah untuk belajar,” jawabku.

“Ko kakak sendirian?”

“Mungkin belum ada yang mau bantuin,” jawabku seraya tersenyum.

Tanpa diminta, mereka pun membantuku. Mengangkat kardus, menyapu, mengangkat meja dan kursi, hingga menyusun buku-buku. Mereka pun bertanya-tanya tentang peralatan praktikum yang berada di sana. Kami tertawa bersama dan berbagi cerita. Oh Tuhan, terima kasih Engkau telah mendatangkan mereka kepadaku. Keadaan perpustakaan pun menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku tinggal memikirkan langkah selanjutnya untuk menghidupkan kembali perpustakaan sekolahku. Doakan, semoga semuanya berjalan dengan lancar.


Cerita Lainnya

Lihat Semua