Sepertiga Masa
MelisaDwi Anggraeni 21 April 2015Hampir empat bulan sudah masa penempatanku di Aceh Utara. Tak terasa waktu sudah berjalan lumayan jauh. Ya, ini berarti sudah sepertiga masa yang aku miliki di daerah penempatan ini kulalui. Sebelum berangkat ke daerah penempatan aku selalu bertanya pada diri sendiri, ’Setahun? Sanggupkah aku menjalani kegiatan baru di tempat yang baru bersama orang-orang baru selama satu tahun?’ Sangsi rasanya. Kemudian aku teringat seorang kawan berkata, ’Setahun itu lama untuk dibayangkan, tapi sangat sebentar jika dijalani.’ Kurasa ada benarnya kata dari kawanku itu. Dan aku merasakan betul itu sekarang, saat sepertiga waktu itu telah terlewati.
Aku teringat saat pertama kali tiba di desa penempatan. Desa penempatanku memiliki jalan berlubang dan berbatu. Jalannya berlumpur setelah hujan mengguyur, namun saat hujan enggan turun atau musim kemarau datang, jalannya menjadi sangat kering dan penuh debu yang mengepul bagai asap ketika bertemu angin. Desaku terletak hampir ujung dari Kecamatan Paya Bakong. Berbatasan gunung—yang bahkan warga desa pun tak tahu namanya—dan dikelilingi hutan sawit serta area persawahan. Gampong Seuneubok Aceh, itulah nama desaku.
Disinilah pertama kali puluhan pasang mata, menyambutku dengan bermacam pandangan penuh arti saat kedatanganku. Ada pasang mata yang menatapku seakan penuh heran, ’Siapakah orang asing ini?’, meskipun ini bukan kali pertama ada Pengajar Muda yang ditempatkan disana. Ada pula yang menatapku seakan bertanya, ’Inikah ibu guru baru dari Jawa itu?’, dan tak sedikit dari mereka menatap dengan antusias, ramah, namun sedikit malu-malu. Tatapan yang terakhir itu pastilah dari anak-anak. Apapun arti tatapan itu, mereka telah menyambut kedatanganku—orang asing dari Jawa yang akan mengajar disana selama setahun—dengan cara mereka sendiri.
Kini setelah hampir empat bulan kulewati, banyak peristiwa yang telah kulalui dengan orang-orang di desa ini, terutama anak-anak. Belajar, bermain, bersenda gurau, dan yang paling menarik adalah menyaksikan mereka berproses setiap hari. Kepolosan dan keluguan mereka terkadang menjadi salah satu hal yang dapat memancing tawa. Terkadang disaat muncul rasa lelah dan merasa gagal dalam mengajar, ada saja kejadian yang bisa menguapkan energi negatif itu dan mengubahnya menjadi cerita yang menyenangkan.
Ada satu kejadian lucu—setidaknya untukku—yang terjadi sekitar tiga minggu lalu di kelas V. Saat sedang mengajar Bahasa Indonesia, mengenai sinonim dan antonim. Aku mengajak anak-anak bermain tebak kata menggunakan kartu. Cara permainannya, satu anak akan memegang kartu berisi sebuah kata yang harus diceritakan atau digambarkan pemegang kartu dan anak yang lain bertugas menebak kata tersebut.
Berikut kisahnya...
Murid I : Sebuah kata, diawali huruf K, terdiri dari lima huruf.
Murid II : Katak!
Guru : Bisa menemukan kata itu dimana?
Murid I : *sambil berbisik* apa ini, Bu?
Guru : Oke. Kata ini biasa digunakan dalam permainan atau perlombaan.
Murid III : Kertas, Bu?
Guru : Lima huruf ya. Kata ini menggambarkan kondisi yang kurang menyenangkan.
Murid : *berpikir*
Murid IV : Huruf terakhir apa?
Murid I : H!
Guru : Kata ini lawan kata dari menang. Jika dalam permainan atau perlombaan biasanya kalo ada yang menang pasti ada yang tidak. Kita sebut apa yang tidak menang?
Murid III : Kasian, Bu! Kan kasian kalo gak menang, Bu..
Guru : Iya memang kasian sih kalo gak menang ya, neuk... Ha ha ha..
Selugu dan sesederhana itulah pemikiran anak-anakku. Namun, inilah kebahagiaan dan kebanggaan menjadi bagian kisah mereka. Hampir empat bulan, telah terukir banyak kenangan dalam ingatan. Dari kepolosan mereka, aku belajar. Dari kesederhanaan berpikir mereka, aku belajar. Dari sekian hariku bersama mereka, aku belajar.
***
’Salah satu daripada cita-cita yang hendak kusebarkan ialah: Hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya, baik tidak terpaksa baikpun karena terpaksa, haruslah juga segan menyakiti makhluk lain, sedikitpun jangan sampai menyakitinya. Segenap cita-citanya kita hendaknya menjaga sedapat-dapat yang kita usahakan, supaya semasa makhluk itu terhindar dari penderitaan, dan dengan jalan demikian menolong memperbagus hidupnya, dan lagi ada pula suatu kewajiban yang tinggi murni, yaitu "terima kasih" namanya.’ - R.A. Kartini ’Habis Gelap Terbitlah Terang’
Selamat Hari Kartini :)
Cerita Lainnya
Ikut Terlibat
Ikut Iuran Publik
Bermitra dengan Kami
Jadi Pengajar Muda
Pintasan
Korps Pengajar Muda
Cerita Pengajar Muda