Pengacara dari Kampung

Meiske Demitria Wahyu 20 Januari 2012

Hari Jumat malam saya menerima pesan singkat dari Awe, rekan Pengajar Muda di Tulang Bawang Barat ini. Awe adalah salah seorang yang saya kenal yang percaya betul bahwa kecerdasan itu tidak sekedar kecerdasan kognitif. Sebagai penganut metode belajar kreatif, Awe juga adalah orang yang memiliki sejuta ide cemerlang tentang belajar yang mengasyikkan di luar kelas. Contohnya bisa dibaca di sini. Pesan singkat itu mengundang saya menjadi bintang tamu di acara ‘TV Cita-Cita’. Awe meminta saya untuk menerangkan pada murid-muridnya kelas 4-6 mengenai profesi lama saya sebagai pengacara. Karena pada hari Sabtu itu kebetulan saya tidak memiliki jam mengajar, saya bersedia untuk berbagi pada murid-muridnya Pak Ardi ini, atau demikian dia dikenal di SDN 01 Marga Jaya.

Pada waktu yang sudah disepakati, Awe menjemput saya pagi-pagi melewati rute yang tidak mulus selama kurang lebih setengah jam. Setelah itu ia sibuk menggunting tempel, mewarnai dan menulis sementara saya menumpang menggunakan laptopnya. Beberapa saat kemudian, dengan membawa peralatan tempurnya kami pun menuju SDN 01 Marga Jaya yang tidak seberapa jauh dari rumah Awe. Dengan luwes, Awe alias Pak Ardi mengumpulkan murid-murid kelas 4-6 yang kebetulan sedang tidak ada pelajaran karena gurunya tidak masuk. Di Sekolah Alam buatan murid-murid kelas 6nya, tikar dihamparkan dan murid-murid duduk di bawah pohon asem. Para murid mungkin bertanya-tanya dalam hati, “Mau ngapain lagi nih Pak Ardi ini?”. Beberapa guru saya lihat tampak mengintip dari ruang guru. Antusiasme terasa ditingkahi celoteh-celoteh bocah-bocah ini. Beberapa murid kelas 1, 2 dan 3 malah berusaha bergabung namun akhirnya masuk ke kelasnya masing-masing.

Awe membuka ‘pelajaran’ hari itu. Ternyata hari itu saya mendapat kehormatan hadir pada peluncuran “TV Cita-Cita”. Yang disebut TV disini benar-benar layar datar 40”, yaitu berupa karton putih besar (dan datar :p) yang tengahnya dibolongi dan digambari tombol TV dan diberi merek: TV Cita-Cita, lengkap dengan remote TVnya. Siaran TV Cita-Cita ini akan menyiarkan mengenai berbagai macam profesi yang rencananya akan dikenalkan oleh rekan-rekan Pengajar Muda serta beberapa undangan seperti dokter, polisi dan lainnya. Cara kerja TV ini cukup unik. 2 orang murid Awe memegangi karton di kanan dan kiri sementara saya ‘masuk TV’. Kemudian dengan berbagai pertanyaan atau pemilihan, murid yang beruntung berhak untuk memencet tombol pada remote dan memilih pertanyaan. Pertanyaannya ada 9 sesuai tombol yang ada dan telah disiapkan sebelumnya. Mungkin ke depannya malah pertanyaan ini bisa disusun sendiri oleh para murid. Beberapa pertanyaan tambahan juga diperbolehkan sebagai bonus. Jadi, setelah pertanyaan dipilih oleh si murid, saya wajib menjawab sembari menjelaskan mengenai profesi pengacara.

Pertanyaan pertama yang diberikan pada saya sangat menantang. “Benarkah pengacara itu membela yang jahat?” Wow, awal yang menggigit! Saya merasa disidang oleh sekian puluh pasang mata yang menunggu jawaban saya. Selama saya menjadi pengacara, tidak pernah saya benar-benar memikirkan pertanyaan itu. Apalagi, dulu saya bekerja sebagai corporate lawyer dan bukan pengacara yang beracara di pengadilan. Sebagai corporate lawyer, sebenarnya isu bela membela ini tidak terlalu signifikan menurut saya. Namun saya berusaha memupuk harapan buat mereka di tengah-tengah kebobrokan dunia hukum di Indonesia. Akhirnya saya pun menjawab bahwa di Indonesia, semua orang punya hak untuk dibela. Jadi, kembali tergantung pada kitalah sebagai pengacara untuk memutuskan. Saya cuma berpesan jadilah pengacara yang jujur. Dan berbagai pertanyaan lain meluncur dimana saya bisa mendapat kesempatan untuk berbagi bagaimanakah rajin membaca itu bisa mengantarkan saya menjadi Sarjana Hukum, apa saja kerjanya pengacara, suka duka menjadi pengacara, dan lain sebagainya yang membuat saya menjadi sedikit kangen dengan profesi lama saya.

Ketika saya menjawab pertanyaan mengapa saya melepaskan pekerjaan pengacara ini dan menjadi guru SD, saya juga melihat mereka terkejut saat saya bilang sekolah saya ini dibayari oleh rakyat dan inilah salah satu cara saya ‘membayar kembali’. Mereka seperti tidak menyangka, orang Jakarta seperti saya ini sekolahnya dibayari. Saya melihat harapan di mata mereka untuk terus sekolah ke jenjang yang paling tinggi. Bahkan saya sempat tertawa dalam hati karena ada anak-anak yang tadinya acuh kini menatap sampai melotot. Dari seluruh pertanyaan yang dilemparkan ke saya, ada 1 pertanyaan yang sungguh mengharukan. “Bu, kami ini kan dari kampung. Apa bisa kami menjadi pengacara yang hebat?” Tanpa jeda sedetikpun saya langsung menjawab : “Tentu pasti bisa!” Merekapun tertegun dan menatap saya seakan-akan saya ini cuma bercanda.

Sayapun menegaskan kembali bahwa ada banyak pengacara sukses di Jakarta yang lahir dari kampung-kampung kecil di pelosok Sumatera. Bila mereka ulet berjuang dan istiqomah, maka insya Allah pasti berhasil. Siapa bilang anak di kampung tidak bisa sukses, tegas saya berapi-api. Ada binar-binar di mata muridnya Awe, khususnya di beberapa anak yang memang bercita-cita jadi pengacara. Saat saya tanya kenapa ingin menjadi pengacara, Mita, Kelas 6 menjawab dengan malu-malu : ”Saya kepingin membela orang bu.” Sederhana, namun jawaban yang langka saat ini. Mengapa? Karena saya bisa bilang setidaknya alasan 270 dari 300 Sarjana Hukum di angkatan saya memilih masuk firma hukum salah satunya karena gajinya besar. Menjadi pengacara tidak lagi untuk membela orang seperti kata Mita, tapi supaya kaya.

Pernyataan Mita menjadi bukti harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Kelihatannya dalam pekerjaan saya, Awe dan rekan-rekan Pengajar Muda lainnya saat ini mungkin terlihat mustahil untuk menciptakan generasi penerus bangsa di tengah-tengah segala carut marut yang sudah ada. Namun saya pikir kami ini harus terus menginspirasi mereka apapun yang terjadi.  Yang harus kami lakukan adalah tetap optimis dan bukannya malah terseret pada pesimisme yang akut. Mungkin saat ini kamilah yang menabur inspirasi dan bukan kami yang akan menuai. Tapi kami menaruh harapan pada murid-murid kami. Ya, Negara kita ini masih punya harapan.  

Akhirnya setelah pelajaran ditutup, senyum mengembang di wajah anak-anak itu. Saya senang karena telah membuat murid-muridnya Awe berani bermimpi. Bahwa dunia mereka itu luas, tidak sekedar setelah lulus menikah, nderes karet ataupun jadi montir. Bahwa merekapun punya kesempatan yang sama besarnya seperti anak-anak di kota. Dan bahwa ada orang-orang yang percaya bahwa mereka ini bisa. Itulah yang mereka perlukan, kepercayaan bahwa mereka ini bisa. Dan menjadi salah satu tugas kamilah untuk terus percaya kepada murid-murid kami dan memupuk kepercayaan diri mereka. Malam itu saya berdoa semoga bila Allah mengkehendaki, akan ada pengacara-pengacara yang lahir dari kampung Marga Jaya yang cerdas, jujur dan tidak lupa kacang akan kulitnya. Amin.

*Terima kasih banyak juga untuk Awe yang telah memberikan kesempatan buat saya sebagai bintang tamu di peluncuran perdana “TV Cita-Cita”. Pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya menjadi refleksi buat saya.


Cerita Lainnya

Lihat Semua