Jangan Pergi..

Matilda Narulita 12 Juni 2013

Matanya berkaca-kaca menatap carrier merah yang kusembunyikan di belakang punggungku. 

"Isak!" 

Anak-anak berteriak memanggilnya dari tengah lapangan.

Ia menundukkan kepala.

Tangan mungilnya meremas kaos kumal yang basah terkena cipratan lumpur. 

"ISAK!!!"

Teriakan mereka semakin kuat. Nampaknya kesal karena permainan bola terhenti tatkala Isak, striker mungil nan lincah, tiba-tiba meninggalkan lapangan, berlari menujuku. Melihat Isak bergeming, dan bukannya kembali ke lapangan, membuat segerombolan anak yang sudah bermandi keringat itu kesal bukan main. Mereka mendatangi rumahku dengan langkah menyaruk tanah, membuat debu-debu beterbangan sampai ke ruangan tempatku berdiri. 

Sambil sedikit terbatuk, aku menyorongkan kursi ke hadapan Isak.

"Duduk", kataku.

Anak-anak, yang awalnya ingin cepat-cepat memukul Isak, mendadak bingung mendapati Isak duduk dengan muka tertekuk. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tangannya makin kuat meremas ujung kaos. 

Di tengah keheningan yang canggung, Cemo -yang berdiri hanya 3 langkah dariku- perlahan mendekatiku.

"Ibu.." bisiknya, "Isak kenapa menangis?"

Aku menjawab pertanyaannya dengan meletakkan carrier merahku di atas meja.

Dan mereka terkesiap.

.

Dulu, setiap kali aku melakukan perjalanan menuju kecamatan atau kota kabupaten, aku selalu memakai daypack hitam untuk menaruh pakaian. Ukurannya tidak terlalu besar. Cukup untuk 4 hari perjalanan. Setiap kali melihatku menggendong tas hitam itu, anak-anak berlarian ke arahku sambil bertanya dengan riuh, "Ibu su mau pulang Jawa?"

Aku tersenyum simpul. Sengaja mengulur waktu untuk menjawab.

"Ibu! Betul mau pigi Jawa?" tanya mereka tak sabar. Melihat muka panik mereka, dengan dahi yang mengernyit, aku terkekeh.

"Seng*" ujarku sambil menggelengkan kepala, "Ibu cuma mau pi Saumlaki."

Cuma ke Saumlaki, kataku pada mereka. Atau ke Larat, ibukota kecamatan. Yang pasti bukan Jawa.

"Kalau lihat Ibu pakai tas besar warna merah," ujarku sambil membentuk lingkaran besar dengan tanganku, "Nah itu baru Ibu betul-betul mau pulang ke Jawa."

Sejak saat itu, setiap aku memakai tas, mereka berkerumun untuk sekedar mencari tau warnanya. Memastikan yang kupakai bukan tas besar warna merah. Memastikan aku masih tetap tinggal di Lamdesar Barat.

.

"Ibu.." ujar Bobi sambil menyentuh tanganku, membuyarkan lamunanku, "Ibu su mau kasih masuk pakaian di tas itu?"

Aku mengangguk pelan.

"Se.. Semuanya?" tanyanya lagi. Kali ini sambil tercekat. Matanya mulai memerah.

Aku bergeming. Kali ini aku lebih memilih untuk memasukkan pakaian satu-persatu ke dalam carrier daripada menjawab pertanyaannya. Sayup terdengar suara isakan. Semakin banyak pakaian yang kumasukkan, suara isakan pun semakin kencang. Anak-anak yang tadinya bermandi keringat, sekarang bermandi air mata.

Aku sedang berusaha memasukkan seragam batikku ketika tiba-tiba seorang anak menerjangku. Isak, dengan tangannya yang mungil memelukku dari belakang, diikuti tangan-tangan lainnya. Menahanku memasukkan lebih banyak lagi pakaian ke dalam tas. 

Sambil terisak, mereka membenamkan kepalanya dalam-dalam di punggungku, memelukku kuat-kuat. 

"Ibu.." ucap Isak perlahan, "Jangan pergi."


Cerita Lainnya

Lihat Semua