Anti-Klise Lodia

Marthella Rivera Roidatua 19 Mei 2014

     Namanya Lodia Isikiwar, biasa dipanggil Linda. ‘Lho, kok?’ pasti muncul di pikiran pembaca sekalian. Tak usah heran, karena di kampungku sudah hal lumrah nama panggilan yang bedanya bak langit dan bumi dengan nama asli. Murid saya kelas I lebih lucu-lucu lagi, ada yang namanya Welmince Siahaya tapi dipanggil ‘Kompo’, kalau bapaknya lagi marah berubah menjadi ‘hansang’ (sejenis ikan yang rupanya sangat jelek). Ada lagi, Asmiralda Isikiwar, adiknya Lodia ini, biasa dipanggil Mici. Karena itulah, setiap kali masuk kelas, saya membiasakan mengabsen para siswa dengan nama lengkap. Oke, kembali ke topik! Jika ditanya apa hal menarik di dunia Pengajar Muda (PM) saat bertugas, jawabannya mungkin berhasil mengirimkan siswa ke Jakarta. PM disarankan untuk update terhadap informasi lomba dan memotivasi anak-anaknya untuk berani mencoba. Maluku Tenggara Barat bisa jadi kabupaten yang paling jarang menggaung, karena selama tiga tahun kehadiran Indonesia Mengajar, baru ada dua nama yang berhasil menginjakkan kaki di ibukota. Sebelumnya, ada Ivon, siswa SDK Lumasebu yang berhasil lolos mengikuti Konferensi Bobo dan Nindy yang berkesempatan disekolahkan di SMP Corjessu, Malang. Nah, Lodia adalah anak Molu Maru pertama yang berhasil lolos seleksi Sabang Merauke, sebuah program pertukaran pelajar (khususnya SMP kelas VII dan VIII) antar-daerah di Indonesia.

         Keterbatasan akses internet di Molu Maru beberapa bulan terakhir ini membuat saya jarang cek email. Namun, tepat sehari sebelum deadline pengiriman formulir anak Sabang Merauke, internet cukup bersahabat. Akhirnya saya memutuskan memanggil beberapa nama siswa yang menjadi rekomendasi guru-guru SMP. Karena printer juga bermasalah, saya mendiktekan data diri dan belasan pertanyaan yang harus mereka jawab. Saya menjelaskan beberapa pertanyaan yang bahasanya msulit mereka cerna lalu mengarahkan mereka untuk menjawab dengan cekatan namun tetap jujur apa adanya. Setelah mereka selesai, tibalah saatnya saya yang bekerja untuk memindahkan coretan mereka ke laptop. Sesekali saya tertawa membaca jawaban-jawaban mereka, tapi ada satu formulir yang benar-benar membuat saya ragu mengetik.

‘Kegiatan waktu luang di luar waktu sekolah yang paling sering saya lakukan adalah kejahatan. Saya sering mengganggu teman, sering membantah kalau disuruh orang tua.’

‘Beda pendapat atau konflik paling berat (dengan teman/keluarga) yang pernah saya hadapi adalah saat saya melawan orang tua saya, karena tidak tahan dimarahi padahal saya tidak salah. Saya sempat merasa diperlakukan seperti anak tiri.’

‘Saya punya teman yang memiliki perbedaan yang cukup besar dengan saya. Perbedaannya adalah dalam ukuran tubuh. Di sekolah, saya biasanya dipanggil si kecil, karena meskipun sudah SMP kelas VIII tapi badan saya pendek dan kurus.’

Jika Anda sekalian jadi saya, pasti juga akan berpikir ulang untuk mengetikkan jawaban anak ini. Di saat anak-anak lain yang menjawab dengan bahasa yang tertata rapi dan terkesan bijak, Lodia muncul dengan segala kepolosannya. Dia berkaca pada apa yang sebenarnya terjadi dan menampilkan dirinya utuh. Tanpa klise. Saya cukup tertegun dengan jawabannya di pertanyaan terakhir:

‘Bila suatu hari di masa depan saya memiliki kewenangan sebagai pejabat di daerah tempat tinggal saya, hal yang akan saya lakukan adalah membenahi administrasi desa, membuat jadwal tegas kepada para Linmas untuk mengawasi anak-anak yang berkeliaran malam dan menonton, serta mengaktifkan guru-guru membagi kelompok belajar malam.’

Itulah kondisi nyata di desa kami. Tidak ada Sekdes, Linmas yang hanya mau bekerja kalau dikasih rokok atau minuman, dan guru-guru yang belum sepenuhnya bekerja dengan hati. Kalau kata orang Jawa, Lodia ‘ndak neko-neko sing jadi pemimpin’.

       Di tengah acara perayaan Hardiknas di kecamatan, seorang guru menyampaikan kepada saya bahwa Kepsek SMP Negeri 1 Molu Maru kemarin mendapat telepon dari Jakarta terkait dengan Lodia yang ikut seleksi. Saya sempat tak percaya, karena setahu saya dari ratusan bahkan ribuan yang mendaftar, hanya 15 siswa dari seluruh Indonesia yang akan diberangkatkan. Apalagi murid rekan saya di Adaut dan Werain, sebuah kecamatan yang besar, juga ikut. Namun, saat saya mendapat sms dari salah satu asessor Sabang Merauke, barulah saya percaya kalau Lodia paling tidak sudah lolos ke tahap wawancara. Saya tak mau berbesar hati dulu, begitupun saya sampaikan kepada Lodia. “Kita hanya bisa berusaha yang terbaik, soal hasil kita doakan saja. Kalau memang rejekimu, pasti Tuhan kasih jalan. Tapi kalau belum, jangan berkecil hati, tetap semangat mencoba di lomba lain.” Lodia pun meng-iya-kan.

        Ketika saya dan teman-teman tengah kumpul tim di Saumlaki, Didit menunjukkan whatsapp dari salah satu assesor Sabang Merauke yang sekilas seperti sinyal bahwa Lodia terpilih. Lagi-lagi saya tak mau mendahului takdir, lebih baik saya menunggu pengumuman yang pasti dulu. Rasa penasaran yang tak terbendung membuat saya nekat meng-sms panitia untuk menanyakan kabar burung itu. ‘Ya, Lodia Isikiwar lolos dan dia sudah dikabari’, kurang lebih balasan itu yang membuat saya sontak loncat kegirangan. Saya tak peduli dengan tatapan aneh teman-teman melihat kelakuan saya. Jelas saya sumringah, karena selama ini Molu Maru yang sering dipandang sebelah mata akhirnya bisa membawa nama MTB sampai Jakarta. Terlepas dari kebanggaan sebagai bonus, saya lebih menghargai keberhasilan ini sebagai motivasi bagi anak-anak di Molu Maru untuk memiliki mimpi yang tinggi dan berani mencoba hal baru.

        Gadis berperawakan hitam manis, rambut panjang, dan senyum lebar ini memang tergolong siswa yang aktif, berani, dan cerdas. Sedari SD, Lodia sering mewakili sekolah untuk berlomba di perayaan hari-hari besar tingkat kecamatan bahkan kabupaten. Namun dua hal yang paling saya suka dari Lodia adalah kecanduannya membaca buku dan keberaniannya mencoba hal-hal baru. Tak repot mempersiapkan anak ini menuju Jakarta, saya cukup memberikan setengah lusin buku yang bisa dilahapnya dalam empat hari dan setiap malam dia ke rumah saya untuk diajari menggunakan laptop.

Ah! Rasanya tak sabar menunggu Lodia berangkat dan menimba pengalaman berharga di Jakarta.

Cerita Lainnya

Lihat Semua